Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Miranda Simbolon

Premanisme dalam Distribusi Bansos

Politik | 2025-05-25 01:55:30
Sumber: Dokumen Pribadi

Di tengah upaya pemerintah menggelontorkan bantuan sosial (bansos) untuk meringankan beban masyarakat, terutama pasca pandemi dan saat tekanan ekonomi menimpa kalangan bawah, ironi justru datang dari bagaimana bansos itu disalurkan. Bukannya menjadi sarana penyelamat rakyat miskin, bansos kini menjadi ladang subur bagi praktik-praktik pungutan liar yang dibungkus oleh premanisme. Lebih dari sekadar aksi kriminal biasa, praktik ini menyiratkan krisis yang lebih dalam dengan kian menyempitnya ruang negara di mata rakyat, dan menguatnya kekuasaan non-negara yang kerap tampil brutal dan represif premanisme.

Laporan lapangan di sejumlah wilayah di Indonesia mengungkap modus yang meresahkan. Di Kabupaten Tangerang, dua pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) ditangkap karena melakukan pungutan liar terhadap keluarga penerima manfaat. Modusnya, mereka meminta kartu ATM para penerima bansos, menarik uang secara sepihak, dan mengembalikan sisa uang yang telah dipotong. Total kerugian mencapai Rp3,5 miliar. Di Jakarta Pusat, seorang Ketua RT di Kelurahan Mangga Dua Selatan diduga mengutip Rp10.000 dari setiap penerima bansos. Pungutan ini dilakukan dengan dalih sumbangan sukarela, namun tanpa dasar hukum yang jelas. Fenomena ini tak bisa dibaca hanya sebagai persoalan sosial-ekonomi atau penyimpangan individu. Ada krisis struktural yang menyertainya. Ketika distribusi bantuan sosial dikuasai oleh aktor informal yang tidak memiliki otoritas hukum, maka secara tidak langsung ruang publik yang seharusnya dikelola dan dilindungi oleh negara telah dikriminalisasi. Negara perlahan tergeser dari posisi sebagai penyedia keadilan dan perlindungan, digantikan oleh aktor-aktor yang mengedepankan kekuasaan informal dan kekerasan simbolik.

Selain itu, premanisme dalam distribusi bansos juga merupakan refleksi dari fenomena delegitimasi negara. Rakyat tak lagi menaruh harapan penuh pada negara untuk melindungi dan melayani. Negara dilihat sekadar sebagai penyedia stempel legalitas, namun fungsi distribusi dan pelaksanaan dijalankan oleh jaringan tidak resmi yang justru lebih dikenal, lebih “berkuasa”, dan lebih ditakuti oleh warga. Di titik ini, yang terjadi bukan sekadar kegagalan negara, tetapi hilangnya kepercayaan bahwa negara hadir untuk rakyat.

Delegitimasi ini diperparah oleh praktik politisasi bansos yang menguat dalam satu dekade terakhir. Bantuan sosial bukan lagi semata-mata alat untuk menyejahterakan, tetapi telah beralih menjadi instrumen politik elektoral. Banyak elite lokal memanfaatkan distribusi bansos sebagai ajang konsolidasi kekuasaan dan pembentukan jaringan patron-klien. Preman-preman lokal atau ormas menjadi “operator” di lapangan, sementara politisi di balik layar menjadikannya modal politik menjelang pemilu. Di sinilah titik paling berbahaya dari kriminalisasi ruang publik, yakni ketika premanisme tidak hanya membajak peran negara, tetapi juga dilegitimasi oleh kepentingan politik jangka pendek.

Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut bahwa sebagian besar pelapor dugaan pelanggaran dalam bansos adalah perempuan dari kelas bawah. Ini menegaskan bahwa korban terbesar dari praktik premanisme adalah kelompok paling rentan yakni, miskin, perempuan, dan minim akses terhadap keadilan hukum. Maka, jika negara terus gagal hadir, yang hancur bukan hanya keadilan sosial, tetapi juga harapan terhadap demokrasi yang substansial.

Upaya penindakan oleh aparat sejauh ini masih bersifat reaktif dan simbolik. Operasi tangkap tangan terhadap pelaku pungli atau pembinaan preman di lokasi wisata hanyalah solusi tambal sulam. Tanpa strategi struktural untuk merebut kembali ruang publik dari aktor informal, tanpa penguatan institusi pengawasan yang independen, dan tanpa keterlibatan aktif masyarakat sipil dalam pelaporan dan advokasi, maka premanisme akan terus bertransformasi bahkan mungkin makin mengakar dan membaur dengan wajah resmi kekuasaan.

Sudah saatnya negara mengambil kembali ruang yang telah dirampas itu. Bukan hanya dengan hukum dan kekuatan aparat, tetapi juga dengan kehadiran nyata dalam pelayanan publik yang bersih, adil, dan transparan. Negara harus merebut kembali kepercayaan masyarakat bahwa bantuan sosial adalah hak, bukan jasa; bahwa negara melindungi, bukan memalak.

Tanpa langkah nyata dan berani, kita berisiko menyaksikan satu per satu ruang hidup kita dikuasai oleh mereka yang beroperasi tanpa mandat, tapi bertindak seolah berwenang. Sebuah kemunduran yang sunyi tapi sistematis dan di balik semua itu, negara perlahan memudar dari benak rakyatnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image