Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Study Rizal Lolombulan Kontu

Premanisme Digital: Ketika Kekuasaan Brutal Menjelma di Ruang Maya

Agama | 2025-06-04 20:42:35

Premanisme selalu mencari ruang baru. Ketika jalanan mulai dipasangi CCTV, ketika pasar-pasar mulai ditertibkan, dan ketika kekuatan fisik tak lagi dominan, premanisme pun bermigrasi — masuk ke ruang-ruang digital. Di sinilah lahir satu fenomena baru: “premanisme digital”.

Premanisme digital bukan soal badan besar atau otot kekar. Premanisme digital justru tampil dalam akun-akun anonim, buzzer bayaran, pasukan troll, dan pasukan pembenci (haters) yang bekerja sistematis, brutal, dan terorganisir untuk satu tujuan: menekan, membungkam, dan mengintimidasi siapa pun yang dianggap mengganggu kepentingan tertentu.

Jika di dunia nyata preman datang menagih “uang keamanan”, di dunia digital preman datang dalam bentuk serangan fitnah, doxing, perundungan, bahkan ancaman fisik. Ruang media sosial yang seharusnya jadi arena dialog dan pertukaran gagasan, berubah menjadi arena kekerasan simbolik — siapa kuat dia berkuasa, siapa keras dia menguasai wacana.

Premanisme digital sering kali bukan gerakan liar. Ia sering merupakan bagian dari operasi sistematis — dikelola oleh mesin propaganda, didukung dana besar, dan diarahkan untuk membangun narasi tertentu, menggiring opini publik, bahkan menghapus jejak kebenaran. Dalam konteks ini, buzzer dan pasukan siber adalah wajah baru premanisme yang lebih licik, lebih canggih, tapi sama brutalnya.

Dan bahayanya, premanisme digital bekerja dalam algoritma yang memperkuat polarisasi, memperbesar kebencian, dan mempersempit ruang dialog. Orang takut bersuara. Orang ragu berpikir kritis. Orang memilih diam — bukan karena setuju, tetapi karena takut jadi sasaran berikutnya.

Mazhab Ciputat selalu percaya bahwa kekuasaan tanpa etika, di ruang mana pun, pada akhirnya akan melahirkan kekerasan — baik fisik maupun simbolik. Premanisme digital adalah bukti paling nyata bagaimana teknologi, yang semestinya membebaskan, justru bisa dipakai untuk menindas.

Melawan premanisme digital tidak cukup hanya dengan “bijak bermedia sosial”. Kita butuh literasi digital yang kuat. Kita butuh solidaritas untuk membela mereka yang dibungkam. Dan yang paling penting, kita butuh keberanian untuk terus bersuara — sebab diam di hadapan kekerasan hanya akan memperpanjang umur para preman dunia maya.

Premanisme — di jalanan atau di jagat digital — tetaplah wajah dari kekuasaan yang kehilangan moral.

Dan di sinilah, keberanian berpikir kritis Mazhab Ciputat menemukan relevansinya. (srlk)

* Penulis adalah pemerhati isu-isu sosial politik keagamaan Mazhab Ciputat. Saat ini mengajar di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image