Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Lembaga Riset dan Inovasi Yayasan As Syaeroji

Toleransi dalam Perspektif Fikih Kontemporer: Fondasi Hidup Damai di Era Multikultural

Eduaksi | 2025-05-09 00:34:13

Toleransi dalam Perspektif Fikih Kontemporer: Fondasi Hidup Damai di Era Multikultural

Agama | 2024-03-11 14:45:00

Oleh: Imron Hamzah, B.Sc., M.H.

Dosen STAI Miftahul Huda Al Azhar Banjar

Di tengah kemajemukan masyarakat global, sikap toleransi menjadi salah satu nilai inti yang sangat dibutuhkan untuk menjaga keharmonisan sosial. Dalam konteks keislaman, toleransi bukanlah konsep asing, melainkan nilai inti yang telah lama hidup dalam tradisi syariah, khususnya dalam kerangka fikih muamalah dan maqasid syariah. Dalam pandangan fikih kontemporer, toleransi bukan hanya sebatas sikap etis, tetapi juga bagian dari tujuan hukum Islam yang lebih besar, yaitu menjaga kemaslahatan dan mencegah kerusakan (jalb al-mashalih wa dar’ al-mafasid).

Sebagai bagian dari ilmu syariah, toleransi tidak hanya berdimensi sosial, tetapi juga berdimensi hukum. Dalam fikih klasik, para ulama telah membahas konsep ta’ayush (hidup berdampingan) dengan non-Muslim, interaksi antar mazhab, serta perbedaan ijtihad dalam hukum. Semua ini menunjukkan bahwa pluralitas adalah keniscayaan yang diakomodasi dalam Islam dengan bijak. Fikih kontemporer, sebagai pengembangan dari fikih klasik, berperan penting dalam merekonstruksi kembali konsep toleransi agar kontekstual dengan tantangan zaman.

Salah satu prinsip penting dalam maqasid syariah adalah hifz al-‘aql (menjaga akal) dan hifz al-‘irdh (menjaga kehormatan). Kedua prinsip ini tidak akan tegak jika masyarakat dipenuhi oleh ujaran kebencian, diskriminasi, atau persekusi atas nama agama. Dengan demikian, membangun sikap toleransi sejatinya merupakan bagian dari pengamalan maqasid yang otentik.

Fikih kontemporer mengajarkan bahwa perbedaan pandangan, baik dalam agama, sosial, maupun politik, tidak seharusnya menjadi sumber permusuhan. Dalam Islam, ikhtilaf (perbedaan pendapat) adalah rahmat, bukan malapetaka. Oleh karena itu, dalam kehidupan bermasyarakat yang multikultural seperti Indonesia, toleransi adalah bentuk pengamalan ajaran fikih yang hidup dan membumi.

Dalam konteks negara bangsa, toleransi memiliki dimensi konstitusional. Islam mengakui eksistensi negara dan peraturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban semua warga negara secara adil. Fikih kontemporer mendorong umat Islam untuk aktif menjadi bagian dari sistem, bukan menjadi oposan atas nama puritanisme agama. Maka dari itu, menghormati keyakinan orang lain, menjaga perdamaian, dan mencegah konflik horizontal adalah bagian dari maslahah 'ammah (kemaslahatan umum) yang menjadi inti ajaran Islam.

Penting juga untuk dicatat bahwa fikih toleransi tidak berhenti pada tataran normatif, tetapi juga menuntut aktualisasi dalam kebijakan, pendidikan, dan dakwah. Para pendidik dan pemuka agama harus menanamkan nilai-nilai toleransi dalam narasi dakwahnya. Pendekatan yang eksklusif dan fanatik tidak lagi relevan di tengah dunia yang saling terkoneksi.

Sebagai ilustrasi, banyak kasus intoleransi di masyarakat terjadi bukan karena kebencian yang mendalam, tetapi karena kurangnya pemahaman lintas agama dan budaya. Di sinilah fikih kontemporer berperan sebagai jembatan—menghubungkan prinsip-prinsip syariah dengan realitas sosial, bukan memisahkannya. Inklusivitas, keterbukaan dialog, dan saling menghargai adalah bentuk nyata dari fikih yang dinamis dan solutif.

Dalam sistem hukum Islam modern, toleransi tidak dapat dipisahkan dari nilai keadilan (‘adl) dan kemanusiaan (insaniyah). Dua nilai inilah yang seharusnya menjadi fondasi dalam membangun relasi antarumat beragama dan antarwarga negara. Sebab, pada akhirnya, syariah bukan hanya bicara halal dan haram, tetapi juga tentang bagaimana manusia hidup berdampingan secara damai dalam keadilan dan kasih sayang.

Maka, tugas kita hari ini bukan hanya menjaga toleransi, tetapi menjadikannya bagian integral dari kesalehan sosial yang Islami. Di era yang penuh gejolak dan polarisasi identitas, toleransi dalam perspektif fikih kontemporer adalah jawaban yang relevan dan mendesak. Ia bukan tanda kelemahan iman, melainkan kebesaran jiwa yang dilandasi pemahaman mendalam atas prinsip-prinsip syariah yang rahmatan lil ‘alamin.

---

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image