Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ariefdhianty Vibie

Data Kemiskinan BPS vs Bank Dunia, Penting Hapuskan Kemiskinan Sampai Akar

Politik | 2025-05-08 11:52:23
Potret kemiskinan di Indonesia (sumber foto: Republika)

Tulisan oleh Ariefdhianty Vibie (Muslimah Pegiat Literasi, Bandung)

Bank Dunia (World Bank) melaporkan 60,3% atau sekitar 171,91 juta penduduk Indonesia masuk dalam kategori miskin. Jumlah ini tercatat mengalami penurunan dari 61,8% pada 2023, dan 62,6% pada 2022 lalu. Penduduk Indonesia yang memiliki pengeluaran kurang dari USD 6,85 atau sekitar Rp113.777 per hari (kurs Rp16.606) tergolong sebagai kelompok miskin di negara berpendapatan menengah atas.

Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan per September 2024 hanya 24,06 juta orang atau 8,57 persen. Angka ini jauh di bawah proyeksi Bank Dunia karena perbedaan standar pengukuran (liputan6, 30/04/2025)

Apalagi memang baru-baru ini status Indonesia yang naik kelas (UMIC atau negara berpendapatan menengah ke atas), sehingga perhitungan standar kemiskinan pun berbeda dari yang sebelumnya.

Baik data dari Bank Dunia maupun versi BPS, masyarakat seharusnya tak perlu saling melempar mana yang lebih akurat. Angka-angka dan standar ini bahkan bisa dimanipulasi demi kepentingan dan pencitraan politik negara.

Kita hanya perlu melihat realita yang sebenarnya di lapangan. Terpampang nyata bahwa negeri ini masih dibayangi kemiskinan, bahkan hingga tahap kemiskinan ekstrem, yaitu saat ada masyarakat yang tak mampu memenuhi kebutuhan paling mendasar (sandang, pangan, dan papan juga akses menuju pendidikan, kebersihan, dan informasi). Saat ini, menurut Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat, jumlah kemiskinan ekstrem masih tercatat sebesar 3,1 juta jiwa atau sebanyak 790.000 kepala keluarga (kontan, 05/02/2025).

Negeri ini seharusnya berbenah. Realita di lapangan menunjukkan kemiskinan yang sebenarnya. RIbuan karyawan di-PHK massal, maraknya pinjaman online dan judi online, lalu tingginya angka kriminalitas, adalah bukti jika negeri ini dikungkung oleh kemiskinan. Belum lagi dengan tingginya harga kebutuhan, pajak mencekik, serta iuran-iuran yang membebani tak sebanding dengan pendapatan masyarakat yang stagnan. Walhasil banyak masyarakat yang rentan untuk turun kelas. Inilah kemiskinan sistemik, alias kemiskinan terstruktur yang diciptakan oleh sistem kapitalisme.

Sungguh, sistem kapitalisme telah meniscayakan distribusi kekayaan pada kalangan mereka saja, yaitu para kapitalis (termasuk oligarki) dan penguasa. Sehingga peredaran harta kekayaan negara hanya terkonsentrasi pada segelintir orang saja, tidak merata. Kita bisa melihat, kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah justru dikuasai oleh para oligarki. Itu karena kapitalisme telah melegalkan sesuatu yang milik umum, menjadi milik individu. Sehingga keuntungan dari pengelolaan kekayaan umum yang seharusnya dikembalikan kepada rakyat, justru masuk ke kantong individu oligarki.

Dalam aturan kapitalisme, kesejahteraan bagi masyarakat hanyalah fatamorgana dan ilusi. Kesejahteraan hanya bisa dirasakan oleh mereka yang memiliki kuasa dan modal, lagi-lagi merekalah oligarki. Lalu dalam setiap perhelatan lima tahun sekali, mereka juga yang kemudian dipilih oleh rakyat, tentunya setelah berhasil memerankan politik pencitraan.

Padahal jika dikelola dengan amanah, hasil dari pengelolaan sumber daya alam yang terkandung di bumi pertiwi ini mampu mengentaskan kemiskinan, menyekolahkan generasi tanpa biaya mahal, juga mampu membiayai akses kesehatan tanpa iuran yang membebani. Negara juga bisa membuka lapangan pekerjaan yang luas bagi rakyatnya, sehingga kebutuhan primer, sekunder, bahkan tertier pun bisa dipenuhi. Negara juga tidak perlu membebani pundak masyarakat dengan pajak-pajak yang mencekik, meski tetap dapat memberikan fasilitas dan infrastruktur yang memadai.

Hal semacam ini ternyata hanya diatur dalam Islam. Penerapan Islam kaffah dalam bernegara justru akan mampu menghapuskan kemiskinan sampai ke akar. Bahkan, jika kita membaca sejarah, pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, tidak ada satu pun masyarakatnya yang berstatus sebagai penerima zakat. Begitulah ketika sistem Islam diterapkan.

Entah sampai kapan masyarakat akan sadar, bahwa sejatinya kapitalisme dan demokrasi tidak akan mampu menghapus kemiskinan sampai akar. Sudah saatnya kita mengembalikan kepada hak-Nya, bahwa dunia ini haruslah diatur oleh aturan dari langit, yaitu aturan Allah SWT. Bukan hanya kesejahteraan, melainkan keberkahan pun didapat.

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (TQS. Al-Araf ayat 96).

Wallahu’alam bisshawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image