Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image FARRAS ABIDAH

Hijab dan Jilbab: Di Antara Kain, Keyakinan, dan Ketaatan

Agama | 2025-05-07 11:15:14

Di setiap simpul kain yang membungkus kepala seorang Muslimah, terselip lebih dari sekadar benang dan warna. Di sana ada cerita tentang keimanan, tentang pencarian identitas, dan tentang bagaimana seorang perempuan menempatkan dirinya di tengah arus zaman yang terus berubah. Hijab dan jilbab, dua kata yang sering disandingkan, sesungguhnya menyimpan cakrawala makna yang lebih luas dari sekadar penampilan luar. Ia adalah bahasa simbolik dari ketundukan, keindahan, dan kemerdekaan dalam bingkai syariat.

Hijab, dalam pengertian umum yang banyak dikenal masyarakat, adalah penutup kepala. Ia sering berupa sehelai kain atau selendang yang menutupi rambut dan leher, menampilkan wajah namun menyembunyikan mahkota alami perempuan. Namun sesungguhnya, hijab bukan hanya benda. Hijab adalah ide, adalah filosofi berpakaian, adalah kesadaran spiritual.

Dalam bahasa Arab, hijab berarti penghalang atau penutup. Maka, ketika seorang perempuan memakai hijab, sesungguhnya ia tengah membuat batas antara dirinya dan dunia luar—bukan untuk memisahkan, tetapi untuk menjaga. Untuk menetapkan garis antara yang boleh dan yang tidak, yang patut dan yang melanggar.

Lebih jauh, hijab bukan hanya penutup kepala. Ia mencakup seluruh tata cara berpakaian seorang Muslimah yang menutup aurat secara menyeluruh dan sesuai syariat. Dalam konteks ini, hijab adalah sistem. Ia bukan hanya soal bentuk pakaian, tetapi juga mencakup sikap, cara berjalan, cara berbicara, dan bagaimana seseorang memperlakukan dirinya di hadapan Allah dan sesama. Hijab adalah simbol dari akhlak dan kehormatan, dari rasa malu yang bukan aib, melainkan cahaya.

Lalu, bagaimana dengan jilbab? Di masyarakat kita, istilah ini kadang digunakan secara bergantian dengan hijab. Namun dalam penjelasan para ulama dan konteks syar’i, jilbab memiliki makna yang lebih spesifik. Jilbab adalah pakaian longgar, labuh, yang dikenakan oleh wanita Muslim untuk menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan tangan. Ia bukan hanya kerudung atau selendang, melainkan juga gamis, abaya, atau baju terusan panjang yang tidak membentuk lekuk tubuh, tidak menerawang, dan tidak menarik perhatian.

Dengan kata lain, jilbab adalah salah satu bentuk dari hijab. Ia adalah jenis hijab yang konkret, yang dikenakan untuk menunaikan perintah Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 59:

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَاجِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَاۤءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ ذٰلِكَ اَدْنٰىٓ اَنْ يُّعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.”

Ayat ini bukan sekadar petunjuk berpakaian, tetapi juga pengingat bahwa berpakaian adalah bagian dari peribadatan. Namun, zaman modern membawa tafsir baru dan sering kali kabur atas istilah-istilah ini. Banyak yang mengira hijab cukup dengan menutup kepala, meskipun pakaian masih ketat dan membentuk tubuh. Tak sedikit yang menyangka jilbab hanyalah soal mode, tanpa memahami bahwa ia lahir dari kesadaran religius, bukan sekadar estetika. Maka kita perlu kembali menyelami makna asli dari hijab dan jilbab, bukan untuk membatasi, melainkan untuk menyucikan niat.

Perempuan Muslim hari ini menghadapi tantangan besar. Di satu sisi, dunia menyerukan kebebasan berekspresi dan menampilkan diri. Di sisi lain, iman mengajak untuk menjaga diri, bukan karena takut, tapi karena mulia. Di antara dua arus ini, hijab dan jilbab menjadi pilihan sadar. Ia bukan paksaan dari luar, tetapi panggilan dari dalam. Ia bukan tekanan budaya, tetapi jawaban atas tuntunan ilahiah.

Hijab dan jilbab bukan untuk menunjukkan siapa yang lebih suci, siapa yang lebih baik, atau siapa yang lebih saleh. Ia adalah bentuk ibadah yang tenang, personal, dan sering kali sunyi. Tapi justru di sanalah keindahannya. Dalam keheningan itu, seorang Muslimah memantapkan hatinya untuk taat, meskipun dunia mungkin tak memahaminya.

Dalam masyarakat yang terus berkembang, kita butuh lebih banyak ruang edukasi, bukan hanya regulasi. Perempuan harus tahu mengapa mereka berhijab, bukan hanya bagaimana. Kita perlu membangun kesadaran, bukan sekadar kebiasaan. Karena hijab sejati tidak lahir dari ketakutan, tapi dari cinta kepada Allah. Dan jilbab bukan sekadar pakaian luar, tetapi perisai dari dalam.

Maka, mari kita berhenti memperdebatkan panjang kain dan model pakaian. Mari kita mulai berbicara tentang esensi: tentang rasa malu yang dirawat, tentang ketaatan yang tumbuh dari pemahaman, dan tentang keyakinan yang tidak bisa digoyahkan oleh opini publik.

Hijab dan jilbab bukan jawaban atas semua persoalan perempuan, tapi keduanya adalah awal yang agung dari perjalanan spiritual. Di setiap lipatan kain itu, ada harapan akan dunia yang lebih bersih, lebih santun, dan lebih memuliakan perempuan sebagai manusia, bukan objek. Dan selama masih ada perempuan yang memilih menutup diri karena cinta, bukan karena takut, maka selama itu pula Islam akan tetap bersinar dalam balutan sederhana, tapi bermakna.

FARRAS ABIDAH_2300027029_ILMU HADIS

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image