Tradisi Kebiasaan Membeli Baju Baru Menjelang Lebaran/Idul Fitri
Sejarah | 2025-04-09 08:28:02
“Lebaran tapi tidak memakai baju baru? Yang benar saja.”
Mayoritas penduduk Indonesia populasinya memeluk agama Islam. Dalam Islam terdapat banyak perayaan salah satunya adalah Idul Fitri atau lebaran. Perayaan Idul Fitri dilaksanakan setelah umat Islam melakukan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Selain puasa, umat Islam juga melakukan salah satu rukun yaitu zakat. Zakat yang dilakukan adalah zakat fitrah yang bisa dibayarkan sejak awal puasa Ramadhan hingga menjelang shalat Idul Fitri. Baru kemudian setelah itu dapat dilaksanakannya perayaan Idul Fitri yang jatuh pada 1 Syawal.
Akhir Ramadhan menjelang hari lebaran, terdapat salah satu fenomena unik yang terjadi dan dialami masyarakat di berbagai penjuru daerah. Dari mulai kota besar hingga perkampungan terlihat berbondong-bondong menuju perbelanjaan untuk membeli baju baru. Lebaran tahun ini banyak masyarakat menyerbu tempat-tempat pusat perbelanjaan seperti mall, pasar dan lain-lain untuk berburu baju baru. Bahkan banyak masyarakat yang rela mengantri, berdesakan untuk masuk dan menyerbu kios dan toko baju.
Banyak trend-trend baju lebaran muncul, seperti pada tahun 2025 ini salah satu baju yang banyak diminati adalah baju dengan warna burgundy, baju brokat, tunik dan lain-lain. Pada tahun-tahun sebelumnya seperti tahun 2023 trend baju lebaran dimenangkan oleh baju berwarna hijau sage, kemudian di tahun 2024 trend baju lebaran dimenangkan baju berbahan shimmer. Setiap tahunya trend baju lebaran memiliki ciri khas masing-masing. Salah satu fenomena unik yang terjadi setiap tahunnya ini menunjukkan bahwa baju baru bukan hanya untuk dipakai namun juga untuk mengekspresikan diri menyambut perayaan Idul Fitri.
Benar saja, tradisi dan kebiasaan membeli baju baru ketika menjelang hari lebaran bukan termasuk fenomena baru namun fenomena ini terjadi sejak zaman dulu. Menurut catatan sejarah, tradisi membeli baju baru sudah ada sejak abad ke-20 tepatnya pada masa kekuasaan Hindia Belanda. Tercatat dalam surat yang ditulis oleh urusan pribumi yakni Snouck Hurgronje terhadap Direktektur Pemerintahan dalam Negeri 20 April 1904. Dalam catatannya ia menjelaskan bahwa cara masyarakat merayakan hari Raya Idul Fitri dengan memasak dan menyuguhkan hidangan khusus, bersilaturahmi dengan sanak saudara, membeli baju baru, bertamu, membagikan uang, dan lain sebagainya.
Namun pada zaman tersebut membeli baju baru hanya dapat dilakukan oleh kalangan kerajaan. Masyarakat pribumi biasanya mereka menjahit baju untuk mereka kenakan. Seiring perkembangan tahun, masyarakat pribumi sudah mulai diberi bak dan kebebasan untuk membeli baju menjelang lebaran. Tercatat pada 30 Desember 1899 dalam Harian De Locomotief yang berisi penggambaran keadaan orang-orang mulai mengenakan pakaian khas Barat. Tradisi ini bukan hanya seseorang memakai sarung namun masyarakat pribumi mengikuti ciri seperti orang Eropa, dengan mengenakan celana sebagai pengganti sarung dan juga mereka bersepatu.
Masuk pada pemerintahan Jepang, tradisi ini sedikit melemah. Produksi tekstil pada masa tersebut banyak untuk memenuhi kepentingan militer. Tidak hanya bahan tekstil saja yang direnggut, bahan pangan juga menipis dan hilang membuat masyarakat pribumi diarahkan untuk kerja paksa dan pakaian mereka juga ikut disita. Selama masa ini, masyarakat pribumi membeli barang dengan menjual pakaian bekas sebagai pengganti uang dalam kegiatan jual-beli. Menjelang lebaran, masyarakat tidak membeli pakaian, mereka ketika hari raya hanya memakai pakaian lama.
Seiring perkembangan zaman, keadaan pada masa tersebut perlahan kembali semula. Dimana ketika Indonesia dinyatakan merdeka masyarakat kembali membeli baju ketika menjelang lebaran, dan kemudian tradisi ini berlangsung hingga sekarang ini.
Selain dari catatan sejarahnya tentang tradisi membeli baju menjelang lebaran, terdapat juga hadist dalam Al-Qur’an yang menjelaskan tentang pakaian baru di hari raya. Dalam hadist al-Bukhārī (194-256 H.) meriwayatkan sebuah hadis dalam Bāb fī al-‘Īdayn wa al-Tajammul fīh di Kitāb al-‘Īdayn dalam Sahīh al-Bukhārī: “Abū al-Yamān meriwayatkan kepada kami, dia berkata, ‘Shu’ayb meriwayatkan kepada kami dari al-Zuhrī, dia berkata, ‘Sālim b. ‘Abd Allāh meriwayatkan kepadaku bahwa ‘Abd Allāh b. ‘Umar berkata, “’Umar mengambil sebuah jubah dari sutra yang dijual di pasar, lalu dia mendatangi Rasulullah kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, belilah jubah ini dan berhiaslah dengannya untuk hari raya dan menyambut tamu!‟ Rasulullah pun bersabda kepadanya, ‘Sesungguhnya ini hanya pakaian orang yang tidak mendapatkan bagian (di hari kiamat).’ ‘Umar pun tinggal sepanjang waktu yang Allah kehendaki. Kemudian Rasulullah mengirim jubah sutra kepadanya. ‘Umar pun menerimanya lalu dia membawanya kepada Rasulullah. Kemudian dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau pernah mengatakan, ‘sesungguhnya ini hanya pakaian orang yang tidak mendapatkan bagian (di hari kiamat),’ dan engkau mengirimkan jubah ini kepadaku. ‘Lalu Rasulullah bersabda kepadanya, ‘Juallah jubah ini atau kamu penuhi kebutuhanmu dengannya!’”. Hadis ini menekankan bahwa pentingnya kesederhanaan dan seseorang ketika berpakaian dan menghindari penggunaan bahan yang mewah.
Fenomena ini juga memunculkan pro dan kontra dalam masyarakat. Muncul sifat dan sikap konsumtif terhadap masyarakat untuk membeli barang baru menjelang lebaran. Sifat dan sikap masyarakat ini dapat menjerumuskan seseorang menjadi serakah. Seharusnya ketika merayakan perayaan Idul Fitri, seseorang harus intropeksi diri, silaturahmi, berbagi satu sama lain. Perayaan ini bukan ajang memamerkan barang baru namun perayaan ini dapat dijadikan sebagai penyucian diri atas segala kesalahan yang diperbuat dengan saling memaafkan. Seperti yang dijelaskan pada hadis sebelumnya mengenai bentuk kesederhanaan yang harus ditekankan ketika seseorang berpakaian.
Selain memunculkan sikap dan sifat konsumtif, pro dan kontra yang terjadi pada fenomena ini juga masih banyak. Memang fenomena ini dapat meningkatkan nilai jual dan angka peningkatan sektor ekonomi, namun sebagian masyarakat juga menganggap membeli baju bentuk menghamburkan uang. Padahal di sisi lain baju yang dibeli dapat digunakan lagi dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain (bukan barang sekali pakai). Ada juga masyarakat beranggapan bahwa tidak memakai dan membeli baju ketika lebaran juga bisa melaksanakan perayaan yang terpenting niat hati ketika menjalankan.
Dapat diambil kesimpulan bahwa membeli baju menjelang lebaran atau perayaan Idul Fitri merupakan salah satu tradisi yang ada sejak abad ke-20. Fenomena ini berkembang mengikuti zaman dan hingga saat ini tradisi kebiasaan membeli baju masih melekat pada diri masyarakat. Banyak trend-trend baju yang muncul atas fenomena ini, seperti di tahun 2025 trend warna burgundy, baju brokat, tunik dan lain-lain. Banyak pro dan kontra yang muncul atas fenomena ini, seperti peningkatan sektor ekonomi, pengekspresian diri, hingga muncul sikap konsumtif dan serakah. Membeli atau tidak membeli baju lebaran memang tidak ada kewajibannya. Namun hal ini mengikuti atas dasar keinginan dan kehendak diri sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
