
Menyoal Kepentingan Bisnis Batubara dalam Danantara
Politik | 2025-03-18 14:46:45Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) baru saja diluncurkan Presiden Prabowo Subianto. Tapi tampaknya, pengelola investasi itu tengah menapak jalan gelap dalam bisnis investasinya. Bagaimana tidak, saat rapat terbatas bersama Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional di Istana Merdeka pada awal Maret, Presiden Prabowo Subianto memberikan instruksi untuk memulai kembali proyek gasifikasi batubara menjadi dimethyl ether (DME) melalui modal Danantara.

Padahal saat peluncuran Danantara, Presiden Prabowo mengungkapkan bahwa investasi Danantara senilai US$ 20 miliar akan dialokasikan untuk puluhan proyek strategis nasional, salah satunya untuk pengembangan energi terbarukan. Pengembangan energi terbarukan adalah upaya mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK), penyebab krisis iklim, dari sektor energi.
Ungkapan Prabowo Subianto yang akan mengarahkan pendanaan Danantara untuk energi terbarukan sebenarnya bisa menjadi sebuah kabar baik di tengah melemahnya komitmen iklim Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump. Dengan adanya Danantara, pembiayaan transisi energi di Indonesia bisa saja tidak lagi bergantung utang luar negeri seperti dalam skema JETP (Just Energy Transtion Partnership). Namun, kini justru Prabowo Subianto sendiri yang mengubah kabar baik itu menjadi kabar buruk.
Dari sisi perubahan iklim, gasifikasi batubara tetap saja menghasilkan emisi GRK yang mencemari atmosfir. Kajian organisasi lingkungan hidup Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat (AEER) mengungkapkan bahwa proyek DME mengahasilkan emisi GRK yang lebih besar daripada LPG. Emisi GRK itu dihasilkan itu terjadi sejak dari hilir, proses ekstraksi batubara sebagai bahan baku, hingga di hilirnya, proses produksi DME.
Perhitungan AEER mengungkapkan bahwa proyek pembuatan DME dengan kapasitas sebesar 1,4 juta ton per tahun akan membutuhkan sekitar 6 juta ton batubara. Proses itu akan menghasilkan emisi GRK sebesar 4,26 juta ton CO2 ekivalen per tahun. Dengan kata lain, emisi GRK yang dihasilkan dari produksi DME lima kali lebih besar dari produksi LPG dengan jumlah sama, yaitu 824.000 ton CO2 ekivalen per tahun.
Melalui pendanaan dari Danantara, pemerintah Indonesia berencana untuk memulai kembali proyek gasifikasi batubara di tiga lokasi di Sumatera dan Kalimantan. Padahal, hasil pemantauan dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur seperti yang diuraikan Fachri Aziz, dalam sebuah diskusi tentang Underground Coal Gasification (UCG), mengungkapkan bahwa proyek gasifikasi batubara yang dilakukan di Kutai, Kalimantan Timur menyebabkan terjadinya pencemaran udara, menurunnya jumlah luasan hutan dan penggusuran paksa terhadap masyarakat sekitar.
Praktik UCG juga pernah berjalan Australia. Namun, praktik UCG di Queensland, Australia, menyebabkan pencemaran tanah yang masif. Sekitar 300 km2 lahan tercemar oleh zat berbahaya yang bocor dari proses UCG. Kerusakan yang masif tersebut membuat pemerintah negara bagian Queensland akhirnya melarang praktek UCG.
Pertanyaannya kemudian adalah kenapa pemerintah melalui Danantara mengabaikan persoalan lingkungan hidup dan iklim? Jika pertanyaan itu ditujukan kepada pemerintah, hampir dapat dipastikan jawabannya adalah karena Indonesia penghasil batubara.
Data dari Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa cadangan batubara di Indonesia sangat melimpah. Menurut data itu, cadangan batubara Indonesia diperkirakan mencapai 91 miliar ton. Bila tingkat produksi berkisar 200-300 juta ton pertahun, maka umur tambang akan dapat mencapai 100 tahun.
Bukan hanya penghasil batubara, Indonesia juga pengekspor batubara. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan ekspor batubara Indonesia pada tahun 2022 saja mencapai 360 juta ton batubara.
Pemerintah tentu akan berdalih bahwa cadangan batubara dan nilai ekspornya yang cukup besar akan mendatangkan uang bagi Indonesia. Tampaknya, pemerintah silau dengan keutungan ekonomi jangka pendek itu sehingga melupakan bahwa dampak buruk batubara bagi lingkungan hidup sangat berbahaya. Pemerintah juga lupa bahwa kini negara-negara di dunia mulai meninggalkan batubara.
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tentang Perubahan Iklim (COP26) di Glasgow tahun 2021 silam, 190 negara dan organisasi telah sepakat meninggalkan batubara. Laporan Greenpeace juga menyebutkan bahwa tiga negara anggota G7, dan 8 negara Uni Eropa telah memutuskan untuk menghapus batubara. Laporan itu juga menyebutkan bahwa ada 1.675 perusahaan yang semula memiliki atau mengembangkan kapasitas pembangkit listrik batubara sejak tahun 2010, namun di 2017, lebih dari seperempatnya telah sepenuhnya meninggalkan bisnis pembangkit listrik batubara.
Dapat dikatakan, pendanaan Danantara untuk hilirisasi batubara bertujuan untuk menyelamatkan industri batubara, bukan untuk kepentingan mayoritas masyarakat Indonesia. Bukan kali ini saja pemerintah berupaya menyelamatkan bisnis batubara. Sebelumnya pemerintah juga menyelamatkan industri batubara dengan membagi-bagi konsesi tambang batubara kepada organisasi massa (ormas) Islam.
Dalih pemerintah saat membagi-bagi konsesi tambang bekas batubara kepada ormas Islam adalah pemerataan ekonomi. Namun, sulit untuk tidak mengatakan bahwa tujuan sebenarnya adalah untuk membentengi industri batubara dari kritik masyarakat, yang mulai memiliki kesadaran lingkungan hidup, terkait daya rusak batubara terhadap alam.
Melihat daya rusak dan adanya kencenderungan dari negara-negara di dunia meninggalkan batubara, publik mulai meragukan komitmen iklim dan juga kerakyatan dari pemerintah. Keraguan publik atas komitmen pemerintah itu semakin menemukan relevansinya ketika melihat ulang rekam jejak Presiden Prabowo Subianto yang relatif dekat dengan industri tambang batubara.
Menurut catatan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), seperti ditulis di laman situs webnya, berdasarkan akta perusahaan, Prabowo pernah menjadi pemegang saham beberapa perusahaan batubara. Dalam Pilpres 2024, Prabowo juga mendapatkan dukungan dari salah satu petinggi perusahaan batubara terbesar di Indonesia. Di jajaran tim suksesnya di Pilpres 2024 juga ada mantan pengusaha migas dan batubara legendaris di Indonesia.
Publik harus bersuara untuk mencegah Danantara mendanai hilirisasi batubara. Kini publik tidak bisa berharap kepada DPR, yang kini hanya bisa berkata setuju di hadapan Presiden Prabowo Subianto, seperti DPR era Orde Baru yang selalu setuju terhadap semua gagasan Soeharto. Jika publik diam, keselamatan mayoritas warga akan dipertaruhkan untuk memenuhi kepentingan segelintir orang super kaya, yang kebetulan dekat atau berada di pusat kekuasaan politik.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.