Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahiduz Zaman

Jejak yang Kita Tinggalkan: Warisan atau Sekadar Debu?

Agama | 2025-03-15 05:32:00
Ilustrasi jejak kehidupan manusia. (Sumber: Freepik.com)

Dalam setiap langkah yang kita tempuh, ada jejak yang tertinggal. Entah itu berupa kenangan, dampak sosial, atau bahkan kehancuran. Sayangnya, banyak manusia yang hidup tanpa menyadari bahwa setiap tindakan mereka meninggalkan bekas. Mereka berjalan, berlari, bahkan berbuat seenaknya tanpa memikirkan jejak yang akan mereka tinggalkan. Lalu, apakah kita hanya makhluk fana yang sekadar hadir, ataukah kita ingin dikenang karena manfaat yang kita berikan?

Ajaran agama telah sejak lama menegaskan bahwa manusia harus memiliki peran sosial yang berarti. "Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain." Ini bukan sekadar kutipan indah untuk dikhotbahkan di mimbar, tetapi seharusnya menjadi pedoman hidup. Namun, lihatlah di sekitar kita. Berapa banyak orang yang hidup hanya untuk dirinya sendiri? Berapa banyak yang sekadar mengumpulkan harta tanpa peduli pada lingkungannya? Berapa banyak yang hidup dalam siklus egoisme, tanpa sadar bahwa kematian menanti tanpa izin?

Jejak kaki beberapa hewan. (Sumber: Shutterstock)

Kita hidup dalam era di mana kebermanfaatan sering diukur dengan angka. Orang dianggap hebat karena memiliki jutaan pengikut di media sosial, bukan karena kontribusinya pada sesama. Kita lebih sibuk mengabadikan momen untuk kepentingan pribadi daripada menciptakan dampak yang nyata bagi orang lain. Kapitalisme dan hedonisme telah menggerus makna hidup kita, membuat kita lupa bahwa tujuan utama manusia adalah untuk menjadi berkah bagi sesama.

Namun, lebih parah dari itu, ada juga manusia yang jejaknya justru membawa kehancuran. Mereka yang korup, mereka yang merusak lingkungan, mereka yang memanfaatkan orang lain demi keuntungan pribadi. Bukankah lebih baik tidak meninggalkan jejak sama sekali daripada meninggalkan kehancuran? Apakah mereka tidak sadar bahwa suatu hari, sejarah akan mencatat nama mereka sebagai penghancur, bukan sebagai pembangun?

Ajaran agama juga menekankan bahwa "orang yang beruntung adalah yang perbuatannya hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok lebih baik daripada hari ini." Ini bukan sekadar jargon moral, tetapi sebuah tantangan eksistensial. Setiap hari, kita dihadapkan pada pilihan: apakah kita akan menjadi lebih baik atau tetap stagnan? Ironisnya, banyak manusia yang memilih zona nyaman, terjebak dalam rutinitas tanpa makna, dan membiarkan hidup mereka berlalu begitu saja.

Kita harus skeptis terhadap diri sendiri. Apakah benar kita telah berbuat sesuatu yang berarti? Ataukah kita hanya menjalani hidup dengan autopilot, tanpa refleksi, tanpa perbaikan? Kita sering kali bangga dengan pencapaian kecil tanpa sadar bahwa itu tidak cukup. Kita berpuas diri dengan sedekah sesekali, dengan kebaikan sporadis, padahal seharusnya kebermanfaatan itu menjadi sebuah kebiasaan, bukan momen insidental.

Mari kita lihat contoh nyata. Ada manusia yang namanya abadi dalam sejarah karena jejak manfaatnya: para ilmuwan, ulama, pemikir, dan aktivis yang berjuang untuk peradaban. Mereka tidak sekadar hidup, tetapi mereka menciptakan sesuatu yang terus menginspirasi. Di sisi lain, ada juga nama-nama yang diingat karena kehancuran yang mereka tinggalkan: tiran, penjajah, dan koruptor yang menggerogoti bangsa mereka sendiri.

Jadi, pertanyaannya sederhana: di pihak mana kita ingin berada? Apakah kita ingin meninggalkan jejak yang akan dikenang karena manfaatnya, atau sekadar menjadi nama yang terlupakan dalam sejarah? Jangan sampai kita menjadi manusia yang hanya eksis secara biologis tetapi nihil secara makna.

Jika benar kita mengaku beragama, maka seharusnya kita tidak hanya menjadikan agama sebagai ritual, tetapi sebagai prinsip hidup. Jika kita benar-benar memahami bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain, maka tidak ada alasan untuk hidup dalam keegoisan. Kita tidak perlu menjadi nabi atau pahlawan untuk bermanfaat. Cukup dengan menyadari bahwa setiap tindakan kita memiliki dampak dan memilih untuk menjadikan dampak itu positif.

Mari kita skeptis terhadap kehidupan kita sendiri. Jangan puas dengan sekadar ada. Jangan merasa cukup dengan hanya menjalani. Beranilah bertanya, "Apa jejak yang akan saya tinggalkan?" Karena pada akhirnya, manusia mati tidak membawa apa-apa, kecuali jejak yang pernah ia torehkan. Entah itu warisan yang bermakna, atau sekadar debu yang lenyap tanpa arti.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image