Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Taqiyuddin

Tips Mengambil Manfaat dari Komentar Netizen

Edukasi | 2025-02-06 14:50:33

Komentar = Manfaat?

Komentar dalam media sosial seringkali merepresentasikan kepuasan dari pemirsanya. Dalam hal ini, termasuk juga ketidakpuasan dalam berbagai bentuknya. Dunia pendidikan saat ini, khususnya instansi pendidikan, juga mulai marak mengelola media sosial. Dari perguruan tinggi, hingga sekolah dasar dan bahkan taman kanak-kanak juga memiliki media sosial. Cek saja konten anak TK ini sudah mencapai 64 juta penonton:

Secara umum, pengelola media sosial hanya mengejar banyaknya konten untuk mendongkrak performa serta menarik subscriber, follower, serta jumlah view. Seringkali, pengelola media menggunakan strategi clickbait atau lainnya. Bahkan, berbagai konten kreator menggunakan sarana seperti prank serta lainnya. Apakah hal tersebut benar-benar bermasalah secara sosial?

Saya rasa, bagi yang berprofesi sebagai peneliti mungkin bisa mengambil manfaat. Bahkan sebagai orang awam pun, kita juga turut dapat mengambil manfaat dari adanya komentar di media sosial. Bisa dari sisi memahami aspek sosiologis, antropologis, serta studi media baru.

Foto ini di-generate dengan AI dalam aplikasi Canva

Komentar = Memahami 'Bagaimana Masyarakat Kita'

Media Sosial di Indonesia, juga bisa dibagi berdasakan hal-hal yang identik dengan penggunanya. Sebagian mengklasifikasi bahwa Facebook termasuk media yang digunakan oleh 'orang tua' baik generasi milenial maupun lebih tua atau lebih muda sedikit. Instagram memiliki peserta dari anak muda puluhan tahun, atau keluarga muda. Jikapun ada orang tua, atau tokoh politik serta lainnya, terkadang dikelola oleh tim kreatifnya. Facebook dan Instagram sebenarnya 'satu atap' di bawah Meta Grup milik Mark.

TikTok? ini adalah lapangan anak-anak yang sangat muda. Gen Z utamanya. Algoritma TikTok memang cukup berbeda dengan kedua di atas (Fb dan Instagram). Khas dengan konten-konten pendek tentang gaya hidup serta berbagai hal yang akan viral dengan mudah. Media asal Cina tersebut memang dibuat dengan pendekatan berbeda dari kedua di atas. Bahkan, di tingkat media untuk chatting seperti WA dan Telegram, Cina memiliki Wechat dengan berbagai fitur pula.

Jenis-jenis komentar dan konten, tentu anda sudah tahu sendiri. Adapun sisi visual dari Intagram fokus pada foto dan video dengan tampilan estetis. Dengan fitur utama Feed, Stories, Reels, dan IG Live; gaya konten yang sering terlihat adalah estetis, informatif, serta caption yang menarik. Audiensnya kebanyakan anak muda serta profesional yang kreatif. IG ini cukup cocok untuk brand building, marketing oleh influencer, serta bisnis virtual.

YouTube juga dapat dikategorikan sebagai media. Ia bisa memposting video panjang atau pendek (Shorts) dengan durasi detik dan kurang dari 2 menit. Fiturnya juga menyediakan Live Streaming bagi konten kreator, bisnis, gamer, maupun pengguna Zoom atau lainnya. YouTube menawarkan pendapatan (monetisasi) bagi kreator untuk menghasilkan uang melalui iklan, membership, serta lainnya. Algoritmanya berdasarkan minat audiens, histori pencarian, dan engagement (channel yang diikuti). Gaya kontennya berupa kisaran tutorial, dokumenter, podcast, serta diskusi yang serius. Terdapat pula genre hiburan seperti vlog, reaksi, atau video yang viral maupun live streaming game (walkthrough). Yang cukup banyak adalah ulasan produk (review), promosi, atau pemasaran. Belum lagi video musik, cover, serta cuplikan film - bahkan film itu sendiri. Audiensnya sangat beragam. Bahkan terdapat fitur pembatasan konten untuk anak-anak dan dewasa. Jangkauannya bisa internasional karena menyediakan substitle otomatis. Karena ia 'satu atap' dengan Google, maka video di YouTube bisa dicari melalui Google.

Facebook memiliki segmentasi yang agak berbeda. Media ini cenderung handal untuk teks panjang, campuran gambar dan video, maupun artikel dan grup diskusi. Fitur utama mereka adalah Feed, Grup, Marketplace, Live dan Stories. Gaya kontennya terlihat lebih 'santai' - cukup relavan dengan penggunanya yang agak cukup umur. Media ini cocok untuk diskusi komunitas, berita, serta pemasaran bisnis.

Sedangkan TikTok, didominasi oleh konten dengan durasi singkat (15 detik - 9/10 menit) disertai dengan efek dan musik viral - atau kreasi yang bebas. Fitur utamanya mencakup Live, FYP (For Your Page), Duet, dan juga Stitch. Genre kontennya sangat 'spontan', menghibur, tren viral, serta sebagian mulai edukatif - tentunya sebagian masih sebaliknya.

Ada lagi media bernama Quora. Identik dengan Q&A (Question and Asking), media ini cukup berbasis dengan pengetahuan yang spesifik. Pengguna bisa bertanya dan menjawab pertanyaan yang 'mengapung' di platform tersebut. Fitur utamanya adalah Q&A, Voting Jawaban, serta Spaces untuk grup diskusi. Gaya kontennya cenderung akademik, informatif, opini, bahkan akhir-akhir ini banyak yang 'curhat'. Uniknya, Quora memiliki fitur 'anonim' bagi yang menginginkan tanya jawab tanpa diketahui identitasnya. Audiensnya biasanya adalah profesional, akademisi, serta penggemar diskusi. Media ini cocok untuk membangun otoritas dalam bidang ilmu atau apapun, serta berbagai wawasan dan networking berbasis kepakaran maupun hobi.

Secara segmentatif, kita bisa membagi komentar dan viewer/follower dari sisi familiar atau tidaknya seorang yang berkomentar di kolom tersebut. Berkomentar tentunya mencerminkan banyak hal; seperti keingintahuan maupun lainnya. Yang jamak terjadi, tentunya komentar oleh 'orang dekat' - katakanlah jika ada akun institusi pendidikan, maka mereka adalah alumni maupun santri itu sendiri. Termasuk mereka menyaksikan postingan meski tidak aktif berkomentar.

Komentar = Masyarakat yang Penuh Kuriositas

Penelitian tentang komentar dalam postingan media sosial sejatinya telah banyak dilakukan. Dari analisis regresi misalnya, keputusan komentator dalam menulis komentar seringkali dilatarbelakangi akan keingintahuan, atau konfirmasi suatu kejanggalan maupun kebenaran faktanya. Seringkali, orang berkomentar karena gambar yang kurang jelas atau blur. Terdapat pula komentar yang cenderung dituliskan secara pendek seolah merupakan bot namun sedianya ia adalah komentar dari user yang nyata. Studi yang cukup mutakhir terkait perilaku tersebut, telah dikaji oleh Bridgland dkk.

Komentar dengan genre ‘ingin tahu’ juga terjadi pada berbagai konten seni budaya. Salah satu temuan dari Xin Kang et. al. menunjukkan bahwa keingintahuan yang seringkali bercampur dengan kekaguman menjadi motif dari penulisan komentar dalam platform instagram maupun media sosial lainnya. Dalam hal ini, tentu bahasa yang digunakan sangat beragam. Karena tidak seluruhnya bertanya dengan cara yang standar. Justru dari sini, sebaran komentar dengan berbagai variasinya menjadikan penelitian tentang hal tersebut menjadi penting untuk dilanjutkan di masa mendatang. Di antaranya tentu terkait seberapa jauh konten dapat mempengaruhi perilaku pengguna media sosial tersebut.

Berbagai komentar dapat dipahami dengan berbagai perspektif pula. Dalam Yield Shift Theory, asumsi dasar yang ditetapkan adalah tingkat kepuasan dari komentar dapat dibagi menjadi 10 jenis. Jika boleh diringkas lagi, sekurangnya dapat difokuskan dalam 4 hal berikut: a) Pencapaian Tujuan (Goal Attainment), b) Nostalgia, c) Penurunan minat (Attenuation effect), dan d) Diferensial.

Satu jenis komentar yang identik dengan masyarakat religius di Indonesia adalah ‘doa’ yang dipanjatkan. Serta kalimat-kalimat yang mengindikasikan bahwa terjadinya hal tersebut adalah bagian dari Kuasa Tuhan. Bagian ini nampaknya perlu dilihat secara detail dari varian maupun perkembangan bahkan juga modus terkait tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan hal tersebut, yakni melalui identifikasi dan analisis semiotik serta lainnya.

Selain itu, media sosial yang terintegrasi dengan teknologi seperti AI juga mengharuskan profesional hubungan masyarakat memanfaatkan berbagai sumber media secara strategis. Selain itu, pemahaman budaya lokal sangat penting untuk membangun hubungan positif di negara non-Barat, seperti Cina dan Korea. Secara teoritis, studi ini mengidentifikasi trend dalam hubungan masyarakat, seperti perkembangan media sosial, AI, berita palsu, dan influencer, serta menyarankan arah penelitian masa depan. Secara praktis, studi ini memberikan panduan bagi profesional untuk manajemen hubungan masyarakat dan penggunaan media sosial.

Konlusi?

Kesimpulannya, komentar di media sosial dapat dijadikan bahan refleksi mendalam bagi kita semuanya. Media sosial adalah masyarakat yang sangat heterogen. Juga tempat mencari peruntungan duniawi dalam berbagai bentuk dan caranya. Media Sosial adalah 'refleksi' bagaimana kita dan masyarakat kita. Meski terdapat konten yang 'tidak waras', tetapi komentar 'waras' masih muncul kapanpun dan di kolom komentar manapun. Bahkan di berbagai media, konten edukatif seolah-olah 'bersaing' dengan konten junk dan cenderung mengandalkan hal-hal bersifat 'mistis', 'menjurus ke aktivitas seksual', maupun canda tawa yang keterlaluan.

Referensi Tambahan:

Kang, Xin, Wenyin Chen, and Jian Kang. "Art in the age of social media: Interaction behavior analysis of Instagram art accounts." Informatics. Vol. 6. No. 4. MDPI, 2019.

Wang, Yuan, Yang Cheng, and Jie Sun. "When public relations meets social media: A systematic review of social media related public relations research from 2006 to 2020." Public Relations Review 47.4 (2021): 102081.

Bridgland, Victoria ME, Benjamin W. Bellet, and Melanie KT Takarangi. "Curiosity disturbed the cat: Instagram’s sensitive-content screens do not deter vulnerable users from viewing distressing content." Clinical psychological science 11.2 (2023): 290-307.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image