Rabies: Ancaman Global yang Dapat Dicegah Lewat Edukasi, Vaksinasi, dan Tindakan Cepat
Edukasi | 2025-01-02 12:12:54Oleh: Alin Okdiyanti, Mahasiswa Fakultas Kedokteran, Program Studi Kedokteran Hewan
Rabies merupakan salah satu penyakit zoonosis paling mematikan di dunia. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization atau WHO), penyakit ini masih menyebabkan sekitar 59.000 kematian manusia setiap tahunnya di berbagai negara, terutama di negara berkembang. Meskipun tergolong mematikan, rabies sebenarnya dapat dicegah jika penerapan strategi penanggulangan dilakukan dengan tepat. Strategi penanggulangan tersebut mencakup edukasi masyarakat, vaksinasi hewan peliharaan, serta tindakan cepat setelah gigitan hewan terduga.
Di Indonesia, rabies masih menjadi masalah serius, terutama di daerah yang memiliki cakupan vaksinasi hewan rendah. Contohnya, Bali dan Nusa Tenggara Timur termasuk wilayah endemis rabies yang rutin dilaporkan oleh pemerintah. Selain itu, penambahan kasus di beberapa provinsi lain di Indonesia bagian timur menunjukkan masih perlunya peningkatan kewaspadaan. Pemerintah pun telah mencanangkan target “Indonesia Bebas Rabies 2030,” yang menekankan bahwa seluruh elemen masyarakat, mulai dari pemerintah, akademisi, tenaga kesehatan, hingga komunitas, perlu bersinergi untuk mengendalikan rabies.
Artikel ini akan menjelaskan mengapa rabies begitu berbahaya, bagaimana mekanisme penularannya, gejala klinisnya, serta langkah-langkah pencegahan dan penanganan yang dapat dilakukan. Dengan pemahaman yang tepat, diharapkan setiap individu berkontribusi aktif untuk memutus mata rantai penularan rabies, baik melalui pencegahan primer seperti vaksinasi dan edukasi, maupun pencegahan sekunder dengan tindakan cepat setelah gigitan.
Epidemiologi Rabies di Dunia dan di Indonesia
Rabies termasuk dalam kelompok penyakit Neglected Tropical Diseases (NTDs) yang kerap diabaikan. Padahal, penyakit ini masih mewabah di banyak negara berpenghasilan rendah dan menengah. Berdasarkan data WHO, mayoritas kematian akibat rabies di dunia terjadi di kawasan Asia dan Afrika. Kasus yang relatif tinggi di beberapa negara Asia mencerminkan rendahnya cakupan vaksinasi hewan serta terbatasnya akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan yang memadai.
Di Indonesia, data Kementerian Kesehatan pada tahun 2022 menunjukkan adanya lebih dari 15.000 gigitan hewan penular rabies (GHPR) yang dilaporkan. Sebagian besar gigitan tersebut terjadi akibat anjing liar atau anjing peliharaan yang tidak divaksinasi. Sisanya disebabkan oleh kucing, kera, dan beberapa hewan liar lain seperti kelelawar. Sayangnya, puluhan di antara kasus tersebut berakhir dengan kematian manusia.
Wilayah Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT) sering menjadi pusat perhatian karena tingginya populasi anjing liar, mobilitas manusia yang tinggi, serta terbatasnya upaya vaksinasi. Meskipun pemerintah secara berkala menyelenggarakan program vaksinasi massal, tantangan geografis dan rendahnya kesadaran masyarakat masih menghambat tercapainya cakupan vaksinasi yang optimal. Hal inilah yang membuat target “Indonesia Bebas Rabies 2030” perlu didorong dan dipantau secara serius.
Mekanisme Penularan Rabies dan Alasan Tingkat Fatalitasnya
Rabies disebabkan oleh virus yang menyerang sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang) pada manusia dan hewan berdarah panas. Penularan utama terjadi melalui gigitan hewan yang terinfeksi, meskipun penularan juga dapat berlangsung lewat cakaran atau luka terbuka yang terkena air liur hewan positif rabies. Setelah masuk melalui luka gigitan, virus menyebar melalui jaringan saraf menuju sistem saraf pusat, bukan melalui aliran darah seperti pada banyak penyakit infeksi lainnya.
Begitu virus mencapai otak, gejala akan mulai muncul. Ironisnya, pada tahap ketika gejala klinis rabies sudah terlihat, kemungkinan sembuh hampir tidak ada. Menurut berbagai laporan medis, tingkat fatalitas rabies mendekati 100% setelah gejala berkembang. Karena itulah, pencegahan melalui vaksinasi dan penanganan dini merupakan upaya kunci.
Gejala Rabies pada Manusia
Secara garis besar, manifestasi gejala rabies pada manusia dapat dibagi menjadi beberapa fase:
1. Periode Inkubasi
a. Biasanya berlangsung antara 1 hingga 3 bulan, meskipun dapat lebih singkat (sekitar satu minggu) atau lebih lama (hingga satu tahun).
b. Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain lokasi gigitan (semakin dekat ke otak, semakin cepat gejala muncul), jumlah virus yang masuk, dan kondisi kekebalan tubuh korban.
2. Gejala Prodromal
a. Ditandai dengan demam ringan, sakit kepala, dan rasa lelah yang serupa dengan gejala infeksi virus pada umumnya.
b. Penderita juga sering merasakan sensasi gatal, nyeri, atau kesemutan di area gigitan.
3. Fase Akut (Furious Rabies)
a. Penderita mungkin mengalami gelisah, halusinasi, agresivitas, hingga perubahan perilaku yang ekstrem.
b. Kejang otot, kesulitan menelan, produksi air liur berlebihan, hingga hidrofobia (ketakutan terhadap air) termasuk gejala khas fase ini.
c. Pada beberapa kasus, dapat terjadi bentuk paralytic rabies (disebut juga dumb rabies), di mana kelumpuhan otot mendominasi gejala klinis.
4. Koma dan Kematian
a. Biasanya terjadi dalam hitungan hari setelah fase akut berlangsung.
b. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan fungsi pernapasan akibat kelumpuhan otot pernapasan.
Gejala Rabies pada Hewan
Secara umum, gejala rabies pada hewan dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk:
1. Furious Rabies
a. Hewan menjadi agresif, kadang tidak lagi takut terhadap manusia.
b. Anjing atau kucing bisa menggigit berbagai benda di sekitarnya, termasuk benda mati.
c. Produksi air liur berlebihan (hipersalivasi) sering teramati, disertai kesulitan menelan.
2. Paralytic Rabies
a. Hewan tampak lemah, kehilangankoord inasi gerak, dan cenderung lebih pasif.
b. Kelumpuhan berangsur-angsur terjadi, biasanya dimulai dari kaki belakang, lalu meluas ke seluruh tubuh.
c. Pada akhirnya, hewan akan jatuh koma dan mengalami kematian.
Jika menemui hewan yang menunjukkan gejala-gejala tersebut, segera laporkan ke dinas kesehatan hewan setempat untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.
Upaya Pencegahan dan Pentingnya Vaksinasi Hewan
Langkah utama dalam pencegahan rabies adalah vaksinasi hewan peliharaan secara rutin. WHO menargetkan minimal 70% populasi anjing harus divaksinasi agar tercapai herd immunity (kekebalan kelompok). Akan tetapi, cakupan vaksinasi di banyak wilayah Indonesia masih jauh dari target ini.
Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya cakupan vaksinasi antara lain:
1. Rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya vaksin.
2. Akses terbatas ke puskeswan (pusat kesehatan hewan).
3. Mitos dan stigma tertentu yang membuat sebagian orang ragu terhadap vaksin.
Mengapa Vaksinasi Hewan Sangat Penting?
1. Memutus Rantai Penularan: Memvaksinasi anjing, kucing, dan hewan peliharaan lain menurunkan risiko infeksi dan penularan virus rabies ke manusia.
2. Menjaga Ekosistem: Selain manusia, rabies juga mengancam populasi satwa liar. Dengan menekan angka rabies pada hewan peliharaan, kestabilan ekosistem tetap terjaga.
3. Keamanan Kesehatan Masyarakat: Hewan yang tervaksinasi menghadirkan lingkungan yang lebih aman bagi masyarakat, termasuk di kawasan wisata.
Tindakan Cepat setelah Gigitan Hewan Penular Rabies
Meski vaksinasi dapat mengurangi risiko, gigitan hewan tetap bisa terjadi. Berikut adalah langkah-langkah yang wajib dilakukan:
1. Cuci Luka dengan Air Mengalir dan Sabun
a. Lakukan selama 15 menit.
b. Tindakan sederhana ini mampu menurunkan jumlah virus yang masuk hingga 80%.
2. Gunakan Disinfektan
a. Setelah dicuci bersih, oleskan antiseptik atau disinfektan pada luka.
b. Hal ini membantu mencegah virus berkembang lebih jauh.
3. Cari Pertolongan Medis Segera
a. Datanglah ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan vaksin rabies (post-exposure prophylaxis atau PEP).
b. Kadang diperlukan suntikan imunoglobulin yang disebut Human Rabies Immunoglobulin (HRIG), terutama pada luka gigitan berat atau lokasi yang berisiko tinggi.
4. Observasi Hewan Penggigit
a. Jika memungkinkan, amati perilaku hewan penggigit selama 14 hari.
b. Jika hewan tersebut rabies, gejala biasanya akan muncul dalam periode tersebut, tetapi jangan menunggu gejala ini muncul sebelum menerima PEP.
Studi Kasus: Kematian yang Sebenarnya Bisa Dicegah
Di sebuah desa di Jawa Timur pada tahun 2021, seorang anak laki-laki berusia 10 tahun meninggal dunia akibat gigitan anjing liar. Karena minimnya pengetahuan, keluarga si anak tidak memprioritaskan mencuci luka gigitan dengan sabun dan air mengalir. Mereka pun tidak membawa anak tersebut ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan vaksin PEP. Alih-alih, keluarga memilih metode tradisional dengan ramuan herbal dan menutup luka secara rapat.
Beberapa minggu kemudian, anak tersebut mengalami demam tinggi, gelisah, dan kesulitan menelan. Kala gejala berkembang menjadi kejang dan hidrofobia, penanganan medis sudah terlambat. Kasus ini menambah daftar kematian anak akibat rabies yang seharusnya dapat dihindari melalui edukasi dan vaksinasi yang memadai.
Tantangan Sosial, Budaya, dan Ekonomi dalam Pengendalian Rabies
1. Mitos dan Stigma
Banyak masyarakat pedesaan masih percaya pada pengobatan tradisional dan meremehkan pentingnya vaksin. Terdapat pula anggapan keliru bahwa vaksin dapat melemahkan hewan, sehingga mereka enggan memvaksinasi hewan peliharaan.
2. Akses Fasilitas Kesehatan dan Kondisi Keuangan
Di beberapa wilayah terpencil, fasilitas kesehatan yang menyediakan PEP sulit diakses. Kalaupun tersedia, biaya perjalanan serta harga vaksin menjadi beban bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
3. Populasi Anjing Liar yang Tak Terkontrol
Banyak daerah yang belum memiliki program pengendalian populasi anjing liar secara berkesinambungan. Program sterilisasi dan penampungan hewan juga masih terbatas, sehingga populasi anjing liar cepat berkembang dan berpeluang menyebarkan virus.
4. Komitmen Pemerintah Daerah
Keberhasilan menuju “Bebas Rabies” sangat bergantung pada keseriusan pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggaran dan merumuskan kebijakan. Rendahnya dukungan dari pemangku kepentingan menjadikan program vaksinasi massal dan edukasi masyarakat tidak berjalan maksimal.
Peran Generasi Muda dan Kolaborasi Multisektoral
Kolaborasi antarpemangku kepentingan—pemerintah, akademisi, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil—mutlak diperlukan untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap rabies. Generasi muda, khususnya mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu seperti kedokteran, kedokteran hewan, kesehatan masyarakat, dan ilmu farmasi, memegang peranan besar sebagai agen perubahan.
1. Edukasi Masyarakat
a. Mahasiswa dapat menyusun modul pelatihan dan mengadakan sosialisasi di wilayah terpencil.
b. Memanfaatkan media sosial untuk berbagi informasi akurat mengenai rabies dan betapa pentingnya vaksinasi.
2. Penelitian dan Pengembangan
a. Mengembangkan inovasi untuk pencatatan populasi hewan, sistem pelacakan vaksinasi, serta metode diagnosis rabies yang lebih mudah dan efisien.
b. Meneliti metode vaksinasi oral bagi anjing liar untuk meningkatkan cakupan vaksinasi.
3. Kolaborasi Antarbidang (One Health)
a. Mahasiswa kedokteran hewan dapat bekerja sama dengan rekan-rekan kesehatan manusia dan lingkungan dalam kerangka One Health.
b. Penanganan zoonosis, termasuk rabies, menjadi lebih efektif jika diatasi secara terpadu antara kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan konservasi lingkungan.
Menuju Indonesia Bebas Rabies 2030
Target ambisius “Indonesia Bebas Rabies 2030” menuntut kerja sama dan komitmen semua pihak. Beberapa langkah konkret yang harus dilakukan adalah:
1. Pemerintah
a. Meningkatkan alokasi anggaran untuk program vaksinasi massal.
b. Memperluas akses ke fasilitas kesehatan yang menyediakan PEP hingga ke wilayah terpencil.
c. Menyusun regulasi pengendalian anjing liar melalui sterilisasi, penampungan, dan edukasi pemilik hewan.
d. Mengawasi jalur transportasi hewan antarpulau untuk mencegah penyebaran rabies lintas wilayah.
2. Akademisi
a. Berperan dalam riset dan pengembangan vaksin yang lebih efektif dan terjangkau.
b. Membantu pemerintah merumuskan kebijakan berbasis bukti ilmiah.
3. Masyarakat Umum
a. Memastikan hewan peliharaan rutin divaksinasi.
b. Melapor dan menindaklanjuti kasus gigitan hewan yang berpotensi menularkan rabies.
c. Tidak menyebarkan mitos atau informasi keliru mengenai rabies.
Dengan kolaborasi yang efektif dan edukasi yang berkelanjutan, angka kasus rabies dapat ditekan secara signifikan. Perlindungan terhadap kesehatan manusia dan hewan akan membawa manfaat jangka panjang, tidak hanya dari segi medis tetapi juga ekonomi dan sosial.
Kesimpulan
Rabies adalah salah satu ancaman global yang hingga kini masih merenggut puluhan ribu nyawa setiap tahunnya. Di Indonesia, meski berbagai upaya sudah dilakukan, data menunjukkan bahwa penanganan rabies masih memerlukan peningkatan. Fatalitasnya yang hampir 100% setelah gejala muncul menekankan bahwa pencegahan dan penanganan dini merupakan prioritas.
Melalui edukasi masyarakat, penerapan program vaksinasi hewan peliharaan, serta respon cepat terhadap gigitan hewan, rabies sebenarnya dapat dieliminasi. Semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi, hingga masyarakat luas, memiliki peran dan tanggung jawab. Dengan sinergi yang tepat, target “Indonesia Bebas Rabies 2030” bukanlah hal mustahil untuk dicapai, dan setiap langkah kecil yang kita ambil akan membawa Indonesia semakin dekat untuk terbebas dari rabies.
Daftar Pustaka
Girsang, V. I., Telaumbanua, O., Sinaga, J., & Purba, I. E. (2023). Determinan vaksinasi rabies di Desa Tetehosi Kabupaten Nias. Ahmar Metastasis Health Journal, 2(4), 185–192. https://doi.org/10.53770/amhj.v2i4.155
Eshariyani. (2024). Edukasi bahaya rabies melalui media komunikasi bagi siswa sekolah dasar Desa Tumbang Jalemu Kecamatan Manuhing Kabupaten Gunung Mas. Jurnal Ilmiah Kanderang Tingang, 15(1), 127–133. https://doi.org/10.37304/jikt.v15i1.314
Permatananda, P. A. N. K., Cahyawati, P. N., Aryastuti, A. A. S. A., & Lestarini, A. (2022). Upaya pencegahan rabies di Desa Taman, Bali. ABDISOSHUM: Jurnal Pengabdian Masyarakat Bidang Sosial dan Humaniora, 1(3), 357–363. https://doi.org/10.55123/abdisoshum.v1i3.985
Gholami, A., & Alamdary, A. (2020). The World Rabies Day 2020: Collaborate and vaccinate. Iranian Biomedical Journal, 24(5), 264–268. https://doi.org/10.29252/ibj.24.5.263
Pancar, F. M., Libriani, R., Yamin, Y., Prasanjaya, P. N., Dhian, P., Qurniawati, Q., Rifqiyah, N., Apriliani, A., & Aprilia, T. (2023). Upaya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap vaksinasi rabies hewan kesayangan pada Hari Rabies Sedunia di Kota Kendari menuju Indonesia Bebas Rabies 2030. Jurnal Abdi Masyarakat Indonesia, 3(3), 845–850. https://doi.org/10.54082/jamsi.757
Rismayanti, I. D. A., Sundayana, I. M., Marthasari, N. K. P., Astriani, N. M. D. Y., & Antariksawan, I. W. (2024). Pengabdian masyarakat tentang bahaya rabies melalui media komunikasi informasi dan edukasi pada masyarakat Desa Bungkulan Singaraja, Bali. Jurnal Kreativitas Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM), 7(1), 171–177. https://doi.org/10.33024/jkpm.v7i1.12527
Acharya, K. P., Chand, R., Huettmann, F., & Ghimire, T. R. (2022). Rabies elimination: Is it feasible without considering wildlife? Journal of Tropical Medicine, 2022, 1–6. https://doi.org/10.1155/2022/5942693
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.