Menyoroti Dominasi Film Horor dalam Perfilman Indonesia Saat Ini
Tontonan | 2025-01-04 15:43:41Sebagai penikmat film, saya rasa banyak dari kita yang mulai merasa bosan dengan dominasi film horor di bioskop Indonesia. Saat ingin menghabiskan waktu luang di bioskop, yang didapat hanyalah helaan napas panjang lantaran film horor-lah yang selalu menghiasi layar lebar. Mulai dari tema religi seperti Makmum (2019), Waktu Maghrib (2022), dan Pemandi Jenazah (2024), hingga film bertema budaya lokal seperti KKN di Desa Penari dan Sewu Dino (2022), semua film ini menguasai layar lebar dengan jumlah penonton yang fantastis. Film-film seperti ini sering kali berkutat pada cerita yang seragam, seperti melakukan ibadah lalu mendadak didatangi setan atau mitos lokal yang kemudian dieksploitasi untuk kepentingan jumpscare. Trailer penuh jumpscare dan klaim "berdasarkan kisah nyata," terus mampu membangkitkan rasa penasaran para penonton. Hal ini juga diperparah dengan fenomena FOMO atau fear of missing out yang menguatkan daya tarik film-film horor ini sehingga membuat genre horor terus mendominasi.
Film horor yang akan saya soroti sekarang adalah film horor thriller kontroversial Vina: Sebelum 7 Hari, yang telah menyita perhatian publik sejak penayangannya. Diangkat dari kisah nyata kasus femisida, film ini ramai dibahas di platform X karena berbagai kontroversi yang menyelimutinya. Meski demikian, data menunjukkan popularitasnya yang luar biasa: pada hari ke-19 penayangan, Vina: Sebelum 7 hari telah meraih 5,5 juta penonton. Angka ini sangat kontras dengan film edukatif Dua Hati Biru, sekuel dari Dua Garis Biru, yang hanya berhasil mengumpulkan 500.308 penonton setelah lebih dari sebulan tayang. Kesenjangan ini menyoroti fenomena bahwa film horor yang meskipun memiliki unsur kontroversial, cenderung lebih mampu menarik perhatian dibandingkan film-film lain yang secara kualitas lebih unggul.
Ada beberapa alasan mengapa genre ini begitu digemari. kata Ariadne Oliver kepada Hercule Poirot dalam A Haunting in Venice, “Scary stories make life less scary.” Cerita horor memberikan pelarian dari ketakutan nyata dalam hidup. Ini juga berkaitan dengan konsep psikologi katarsis, di mana kita melepaskan emosi negatif dengan mengalaminya secara tidak langsung lewat film. Inilah alasan mengapa genre horor terus mendominasi pasar.
Namun, saya rasa industri perfilman Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar cerita horor. Banyak film horor yang tampaknya stagnan, dengan plot yang itu-itu saja. Jika kita hanya mengandalkan film horor, akan terbentuk siklus yang mempersempit peluang bagi genre lain untuk berkembang.
Indonesia pernah memiliki masa kejayaan dengan karya yang lebih beragam. Siapa yang tidak ingat Laskar Pelangi yang mengajarkan pentingnya pendidikan, 5 cm yang menanamkan semangat perjuangan dan persahabatan, atau Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang menyuguhkan drama cinta penuh perjuangan yang tak terlupakan? Film-film ini tidak hanya menyajikan hiburan, tetapi juga menawarkan narasi yang cerdas. Begitu juga dengan Negeri 5 Menara yang memberikan filosofi ikonik man jadda wajada-nya, atau Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar yang menyentuh hati dengan perjuangan melawan keterbatasan finansial. Film-film ini sudah terbukti memberikan dampak yang lebih mendalam pada penontonnya, berbeda dengan banyak film horor yang hanya mengejar sensasi semata.
Namun, seiring berjalannya waktu, film-film sekarang cenderung lebih fokus pada jumlah penonton saja, dengan horor menjadi genre yang paling aman secara komersial. Dominasi film horor yang terus berlanjut mengancam keberagaman dalam perfilman Indonesia. Tentu, dominasi horor ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan emosional yang terpenuhi oleh genre ini. Namun, bukan berarti genre lain harus menyerah begitu saja. Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa, penuh dengan cerita inspiratif, sejarah yang bermakna, dan tradisi lokal yang menarik. Banyak cerita dari buku-buku penulis kondang yang memiliki potensi besar untuk diadaptasi menjadi film, yang bisa menarik perhatian penonton jika diproduksi dengan kualitas yang baik.
Mari kita lebih kritis dalam memilih tontonan. Dengan mendukung film yang lebih mendidik dan kreatif, kita turut mendorong perkembangan perfilman Indonesia ke arah yang lebih beragam dan berkualitas. Tidak hanya dengan cara menikmati, tetapi juga dengan memberi apresiasi terhadap karya-karya yang pantas untuk didukung, kita bisa ikut mengubah tren perfilman yang ada. Dukungan terhadap film-film yang memiliki nilai edukatif dan moral, dapat memberi dampak positif yang luas bagi industri perfilman Indonesia.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.