Konflik Rempang: Kapitalisme dalam Balutan Altruisme
Politik | 2024-12-31 23:01:56Marx (dalam Kiely, 2010: 110), dalam teorinya memandang bahwa politik dan kekuasaan sangat erat kaitannya dengan aspek ekonomi, di mana negara sebagai kekuasaan tertinggi digunakan sebagai sarana utama oleh pemilik modal dalam menjalankan praktik kapitalisme, yakni cara produksi di mana satu kelas masyarakat (kelas kapitalis/borjuis) mengeksploitasi kelas lain (kelas pekerja/proletar) untuk memperoleh keuntungan ekonomi sebesar-besarnya. Dalam teorinya, Marx terinspirasi oleh gagasan Hegel tentang ‘dialektik’ yang menjelaskan mengenai perkembangan masyarakat, dimana tesis yang dianggap sebagai kebenaran di satu sisi dihadapkan oleh sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran lain atau antitesis, yang kemudian melahirkan kebenaran tertinggi dari hasil diskursus antara keduanya atau yang disebut sebagai sintesis, dan sintesis tersebut kemudian terinternalisasi oleh masyarakat hingga menjadi tesis kembali, begitu seterusnya hingga pada puncak kebenaran tertinggi atau yang Hegel sebut sebagai ‘ide mutlak’ (dalam Budiardjo, 2022: 140-142). Dari gagasan Hegel tersebut, Marx kemudian mengembangkannya hingga melahirkan suatu pandangan baru yang dinamakan materialisme historis.
Materialisme historis merupakan suatu kondisi di mana perkembangan masyarakat didasarkan pada aspek sejarah, yaitu di mulai dari aspek base (ekonomi) yang meliputi dua unsur, yakni cara berproduksi (alat-alat dan teknik produksi) dan hubungan ekonomi (sistem hak milik, pertukaran dan distribusi barang) yang mempengaruhi aspek superstructure (institusi, politik, hukum, agama, dan kebudayaan) (dalam Budiardjo, 2022: 143). Maka dari itu, dalam pandangannya Marx menyatakan bahwa apabila seseorang ingin melihat bagaimana negara berjalan, maka lihat bagaimana aspek ekonominya (cara produksi) dijalankan.
Mengacu pada teori tersebut, fenomena kapitalisme dalam konflik agraria di Pulau Rempang dapat diamati melalui adanya dinamika politik yang diawali oleh informasi atas peluang ekonomis atas lokasi-lokasi strategis yang dapat dimanfaatkan untuk menambah daya nilai ekonomi tinggi, yakni Pulau Rempang. Pemerintah pusat melalui Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas, Badan Pengusahaan Batam (BP Batam), dan Pemerintah Kota Batam dengan kekuasaan politik yang dimilikinya menggandeng para kapitalis seperti PT Makmur Elok Graha (MEG) (anak perusahaan Artha Graha) dan Xinyi International Investment Limited dalam mengeksploitasi sumber daya yang ada di Pulau Rempang guna memperoleh keuntungan ekonomi dalam jumlah yang besar. Keuntungan tersebut dimulai melalui adanya pembangunan proyek besar bernama ‘Rempang Eco City’ sebagai kawasan industri, perdagangan, hingga pariwisata yang memakan area seluas 165 kilometer persegi. Selain itu, eksploitasi lain juga terlihat melalui adanya proyek pembangunan pusat pengolahan pasir kuarsa dan pasir silika di Rempang oleh Xinyi International Investment Limited dengan total investasi sebesar Rp.43 triliun dan Rp.381 triliun hingga 2080 (Tempo.co, 2024).
Yang menjadi permasalahan adalah terjadinya klaim atas hak kepemilikan tanah, di mana pemerintah dengan argumentasinya menyatakan bahwa lokasi tersebut telah diberikan kepada salah satu perusahaan pada tahun 2001-2002 dalam bentuk HGU (Hak Guna Usaha), namun lokasi tersebut tidak pernah dikunjungi - TESIS.
Sedangkan masyarakat dengan argumentasinya menyatakan bahwa mereka telah hidup secara turun-temurun, bahkan pada masa sebelum kemerdekaan sehingga lokasi tersebut memiliki sejarah historis yang panjang dan nilai kebudayaan yang kuat. Akan tetapi, seolah abai dengan alasan sosiologis dan historis yang ada, pemerintah dengan alasan yuridisnya merekayasa legitimasi manipulatif dengan menetapkan Permenko Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 sebagai upaya pelemahan legitimasi masyarakat secara paksa untuk terus melanjutkan upaya pembangunan proyek tersebut. Dengan kesamaan nasib yang ada, masyarakat menolak dengan melakukan perlawanan kepada pemerintah - ANTITESIS.
Adanya perbedaan atas klaim kebenaran diantara kedua belah pihak telah membuka ruang dialektik anarkis dalam memperebutkan akses sumber daya alam strategis. Warisan nilai dan budaya historis seolah hanya menjadi formalitas amanat konstitusional yang termaktub abadi dalam kitab perundang-undangan. Keuntungan material, sebagai orientasi tertinggi kelompok borjuis justru menahkodai pola pikir pragmatis kapitalis. Dengan dalih kesejahteraan, eksploitasi dan monopoli kekuasaan dibalut dalam narasi developmentalis. Kondisi ini telah memperlihatkan bagaimana penguasa dengan wajah gandanya membungkus citra oportunis ke dalam topeng altruis. Masyarakat, dengan posisi kedaulatannya yang utopis hanya berpangku tangan pada kekuatan sosiologis holistis. Implikasinya, lahirlah konflik humanis oleh aparat bengis dalam kendali tangan kotor otoritarianis.
TNI Polri, dengan prinsip fundamentalisnya ‘kami dengar dan kami patuh’ menjadi alat penguasa dalam menetralkan tendensi sosial politik yang ada. Dengan bermodal instruksi dan senjata, mata terbuka sedang nurani buta. Seolah nasionalis patriotis, luka menyelimuti para guru dan siswa, dengan membawa 43 orang warga sebagai tersangka (Tempo.co, 2024). Tanpa adanya hak yang setara, masyarakat dengan powerless-nya berada dalam kuasa asimetris dengan bermodal mulut sebagai sarana bersuara. Lantas, ke mana sikap bijaksana dalam negeri yang dikatakan kaya akan sumber daya?
Tanah kelahiran sebagai peninggalan historis direbut secara paksa. Nilai kultural, spiritual, dan keanekaragamannya yang telah dibangun dan dipertahankan selama bertahun-tahun lamanya harus diserahkan kepada pemilik modal bertajuk negara. Berdiri dengan keadaan terpaksa, berpindah dalam kondisi duka. Meskipun BP Batam dengan unsur penggantinya memberikan jaminan sosial berupa fasilitas hunian permanen dengan biaya santunan sewa rumah sebesar Rp.1,2 juta per KK dan santunan biaya hidup senilai Rp.1,2 juta per jiwa (Sumatera Bisnis.com, 2024), namun hak asasi lebih dari sekadar keuntungan materi. Terjadinya alienasi di tanah sendiri merupakan bentuk kanibalisme yang hakiki. Kondisi ini telah menggambarkan bagaimana imperialisme terjadi dalam kedok altruisme.
Secara teoretis, terjadinya gejolak sosial politik pada dua entitas di atas menunjukkan bagaimana proses sintesis berusaha ditemukan. Adanya klaim sepihak telah menggambarkan bahwa celah kebenaran masih terjadi secara parsial. Masyarakat dengan aspek sosiologisnya menganggap Pulau Rempang sebagai identitas dan jati diri bangsanya, sedangkan pemerintah (negara) dengan aspek ekonomisnya memandang Pulau Rempang sebagai investasi nasional jangka panjangnya. Terjadinya paradigma distingtif tersebut kemudian melahirkan struktur sosial baru melalui konflik kepentingan.
Masyarakat dengan otoritas hampa tanpa kendali militer yang ada pada akhirnya hanya menjadi sub ordinat dari eksploitasi pembangunan. Berharap adanya keadilan hanyalah bagian dari khayalan belaka. Nihilnya otoritas pembanding menjadikan sikap pasrah sebagai alternatif terakhir. Terlihat, pada perkembangan terakhir setidaknya terdapat 210 KK yang telah beralih kepada hunian permanen di Tanjung Banon, Batam (Sumatera Bisnis.com, 2024). Kondisi ini menunjukkan adanya dominasi hegemoni sosial dan formal oleh negara terhadap kelompok patrimonial di Pulau Rempang. Meskipun masyarakat mulai menemukan penerimaannya, hal ini tentu menjadi tamparan keras bagi para penguasa untuk tetap menjamin adanya kepastian jaminan sosial kepada masyarakat relokasi. Seolah menjadi hutang budi, diserahkannya tanah kelahiran kepada negara merupakan amanah simbolis terhadap kepastian masa depan dan kesejateraan masyarakat secara universal – SINTESIS.
Dari fenomena di atas, terlihat bagaimana proses dialektik berusaha mengungkap aspek sintesis yang ada. Lahir dari sebuah anomali, proses sintesis yang ideal seharusnya mempertemukan dua paradigma secara adil dengan mempertimbangkan aspek sosiologis masyarakat tanpa mengorbankan kebutuhan akan pembangunan. Namun, praktik di lapangan justru menunjukkan fakta paradoks di mana sintesis masih terjadi secara parsial. Konflik ini mencerminkan dilema pembangunan yang sering dihadapi negara-negara berkembang, antara kebutuhan investasi atau kelestarian sosial-budaya. Secara fundamental, seharusnya keduanya berjalan dalam prinsip dualitas pembangunan, bukan dualisme pembangunan. Fenomena ini telah mengungkap bagaimana basis ekonomi (base) memengaruhi mode tata kelola negara (superstructure) dalam pola kekuasaan ekonomi kapitalisme.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.