Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Anidah

Parisida Alarm Kesehatan Mental Remaja

Info Terkini | 2024-12-11 18:48:10

Parisida & Alarm Kesehatan Mental Remaja

Apa yang terjadi pada Sabtu dini hari (30/11/24) lalu di Lebak Bulus, Jakarta mengejutkan banyak pihak. MAS yang baru berusia 14 tahun ditetapkan sebagai anak yang berkonflik dengan hukum, pasca menjadi tersangka pembunuh ayah dan neneknya dengan pisau dapur, serta menikam ibunya hingga kritis.

Kasus parisida atau pembunuhan orang tua/keluarga terdekat tersebut menyisakan banyak pertanyaan. Namun satu pertanyaan yang sesungguhnya lebih penting untuk didalami, adalah apa sesungguhnya yang telah terjadi pada MAS, hingga dia bisa melakukan tindakan tersebut?

Psikolog anak dan keluarga yang turut memeriksa kejiwaan MAS, menemukan sejumlah catatan penting. MAS yang dikenal sebagai pribadi sopan dengan prestasi akademis yang baik, diduga mengalami kelelahan secara fisik akibat pola tidur yang buruk, tekanan akademis, hingga konflik keluarga yang tidak terselesaikan. Kondisi tersebut dapat menciptakan situasi yang berat bagi seorang anak remaja dan memengaruhi kondisi mental dan emosionalnya.

Psikolog juga menilai kemungkinan MAS menghadapi ekspektasi tinggi sebagai anak tunggal. Sehingga kuat dugaan MAH mengalami gangguan mental.

Catatan Kesehatan Mental Remaja

WHO mendefinisikan masa remaja sebagai fase peralihan masa kanak-kanak ke dewasa, dengan rentang usia 10-19 tahun. Pada masa ini mereka akan mengalami pertumbuhan fisik, kognitif, dan psikososial yang cepat. Hal tersebut memengaruhi cara remaja merasa, berpikir, membuat keputusan, dan berinteraksi dengan dunia di sekitarnya.

Adanya perubahan fisik, emosional, dan tekanan sosial, termasuk paparan kekerasan, pelecehan, hingga kemiskinan, dapat membuat remaja rentan terhadap masalah kesehatan mental.

Secara global, WHO memperkirakan 1 dari 7 anak usia remaja mengalami masalah kesehatan mental, namun sebagian besar kondisi tersebut tidak dikenali dan tidak diobati. Dalam konteks Indonesia sebuah survei bertajuk Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) pada 2022, mengungkap 1 dari 3 remaja (setara 15.5 juta remaja) memiliki satu masalah kesehatan mental, dan 1 dari 20 remaja (setara 2.45 juta remaja) memiliki satu gangguan mental. Gangguan cemas merupakan gangguan mental yang paling banyak dialami oleh remaja Indonesia. Meski faktanya belum banyak mengarah pada menyakiti diri sendiri atau orang lain, namun menjadi alarm kondisi remaja kita sedang tidak baik-baik saja.

Masalah kesehatan mental adalah kondisi di mana seseorang terganggu dalam caranya berpikir, merasa, serta berperilaku, namun lebih ringan dibandingkan dengan gangguan mental. Bisa dialami sementara, atau sebagai suatu reaksi akut terhadap tekanan hidup. Seseorang dengan masalah kesehatan mental berisiko mengalami gangguan mental.

Gangguan mental adalah gangguan pikir, perilaku, dan perasaan yang bermanifestasi sebagai beberapa gejala dan/atau perubahan perilaku yang signifikan, dan yang dapat menyebabkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia.

Gangguan mental yang sering dialami remaja mencakup fobia sosial, gangguan cemas menyeluruh, gangguan depresi mayor, gangguan perilaku, gangguan stres pasca-trauma (PTSD), dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD).

Remaja dengan kondisi gangguan mental sangat rentan terhadap pengucilan sosial, diskriminasi, stigma, kesulitan pendidikan, perilaku mengambil risiko, kesehatan fisik yang buruk, hingga pelanggaran hak asasi manusia.

Kapitalisme Pemicu Gangguan Mental

Masalah kesehatan mental khususnya pada remaja tentu disebabkan banyak faktor. Selain faktor pengasuhan orang tua, lingkungan tempat tinggal, hingga kondisi tekanan kehidupan yang sistemik turut mempengaruhinya.

Remaja sebagai bagian dari masyarakat turut mengalami tekanan dalam kehidupan saat ini. Kesulitan lapangan pekerjaan bagi para kepala keluarga turut berpengaruh pada ekonomi keluarga. Di saat yang sama harga bahan pangan senantiasa merangkak naik, membuat tak semua keluarga dapat memenuhi kebutuhan pokoknya dengan layak. Orang tua yang harus berjibaku dengan pekerjaan, tak jarang menyerahkan anak pada “pengasuhan” lingkungan luar. Peran tatanan sosial yang rusak, paparan konten negatif dari media dan internet akhirnya mempengaruhi kesehatan mental mereka.

Remaja dari keluarga prasejahtera menanggung tak hanya tekanan ekonomi namun juga keterbatasan akses terhadap masa depan yang lebih pasti. Remaja yang berkeinginan memutus rantai kemiskinan dengan pendidikan pun harus terhenti karena biaya kuliah yang tinggi. Sementara mengandalkan ijazah SMA saja tak mampu menembus kualifikasi pekerjaan berdasi yang diimpikan. Ujung-ujungnya banyak remaja lulusan SMA yang membanjiri sektor pekerjaan informal, karena tuntutan membantu ekonomi keluarga.

Remaja dari keluarga berada rupanya tak luput dari tekanan sosial dan Pendidikan. Target nilai raport, target medali lomba, pilihan jurusan dan universitas sudah dipatok orang tua, membatasi keinginan dan cita-citanya yang mungkin tak sejalan dengan yang diharapkan ayah bundanya. Tak ada kesempatan berdialog dengan dirinya sendiri karena waktunya telah tersita beragam les tambahan penunjang. Orang tua mematok nilai kebanggaan pada anak dari nilai raport sempurna dan keberhasilannya menembus universitas bergengsi.

Sistem hidup sekuler ala kapitalisme yang diterapkan dunia saat ini, telah mengesampingkan peran agama dalam kehidupan. Agama hanya ada di ruang-ruang tertentu dan terbatas. Akibatnya kehidupan hanya diukur dan ditimbang dari sudut pandang materi. Seberapa banyak uang yang dihasilkan, seberapa tinggi nilai akademik yang dicapai, seberapa up to date fashion dan penampilan yang ditampakkan, itulah yang menjadi indikator kesuksesan sebagai manusia.

Tatkala tak berhasil mencapainya, remaja akan merasa tak berdaya, merasa gagal, dan menarik diri dari lingkungan. Padahal kegagalan tersebut bukan murni dari dirinya sendiri. Ekonomi yang sulit turut membatasi akses kepada Pendidikan yang berkualitas, juga pada fasilitas penunjang lainnya. Tuntutan yang terlalu tinggi juga tak memberikannya kesempatan bernafas untuk sekedar menata kembali fokusnya.

Islam Menjaga Kesehatan Mental

Seperlima dari total penduduk Indonesia adalah remaja (BPS, 2021). Generasi saat ini disebut-sebut sebagai ‘Generasi Emas’ karena pentingnya generasi tersebut terhadap pertumbuhan perekonomian dan posisi Indonesia di kancah global. Namun dengan banyaknya remaja yang mengalami gangguan kesehatan mental, tentu dapat menjadi hambatan.

Kondisi mental yang sehat sangatlah penting di setiap fase kehidupan, mulai dari masa kanak-kanak, remaja, hingga dewasa. Ketika kesehatan mental mengalami gangguan, ia dapat berdampak buruk pada pemikiran, suasana hati, perilaku, serta kemampuan menangani stress dan tekanan.

Fase remaja sangat penting karena pada masa ini merupakan tahap perkembangan manusia yang unik dan formatif. Fase remaja jadi waktu yang penting untuk meletakkan dasar norma, keyakinan, kepercayaan diri, dan lainnya. Jika fase ini berhasil membentuk karakter remaja, maka dia dapat berkontribusi besar untuk turut menyelesaikan permasalahan keumatan. Alih-alih menjadi sumber masalah, remaja dengan karakter yang solid akan mampu menghadirkan inovasi sebagai solusi permasalahan kehidupan dalam berbagai bidang.

Rasul saw telah berhasil membentuk karakter generasi pemuda Islam pertama. Ali bi Abi Tholib, Mush’aib bin Umair, dan lainnya adalah contoh bagaimana Islam menjadi dasar pembentukan karakter remaja. Saat dewasa mereka menjelma menjadi generasi pejuang Tangguh dan penuh inovasi dalam membawa kegemilangan Islam ke berbagai penjuru dunia.

Penjagaan kesehatan mental dalam paradigma Islam terwujud dalam keselarasan fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian dengan diri sendiri, orang lain dan lingkungan secara dinamis berdasarkan tuntunan hukum syara. Tugas penjagaan mental ada di pundak negara sebagaimana kebutuhan kesehatan lainnya. Rasul saw bersabda:

“Seorang imam adalah penggembala dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR al Bukhari).

Kesehatan mental juga berkaitan dengan penyediaan kebutuhan pokok individu, seperti pangan, sandang, papan, hingga pendidikan dan pekerjaan. Tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut akan menimbulkan kecemasan yang bisa berujung pada gangguan mental. Maka jelaslah persoalan gangguan mental pada remaja maupun masyarakat luas erat kaitannya dengan peran negara. Islam menjadi satu-satunya asas bernegara yang mampu memberikan jaminan pada kesehatan mental melalui penerapan seperangkat hukum dan aturan yang sesuai dengan fitrah manusia dan diridhoi Allah swt.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image