Fenomena Celebrity Worship di Era Modern
Eduaksi | 2025-01-09 22:38:47Di era digital ini, keterlibatan masyarakat dengan dunia selebriti telah melampaui sekadar hiburan. Celebrity worship, atau pemujaan terhadap selebriti, menjadi fenomena yang semakin kuat, dipicu oleh perkembangan media sosial. Fenomena ini tidak hanya memengaruhi pola pikir, tetapi juga membentuk identitas sosial masyarakat modern. Seperti yang dijelaskan oleh Yulianto (2023), celebrity worship sering kali berkaitan dengan fenomena flexing dan fear of missing out (FoMO), di mana penggemar merasa terdorong untuk meniru gaya hidup selebriti guna menunjukkan status sosial mereka.
Celebrity worship mencakup berbagai dimensi, termasuk keterikatan emosional, imitasi gaya hidup, dan pengaruh terhadap keputusan personal. Yulianto (2023) menggambarkan fenomena ini sebagai bentuk hubungan penggemar yang sering kali melibatkan perilaku konsumtif, seperti membeli produk atau layanan yang dikaitkan dengan selebriti favorit. Media sosial memainkan peran besar dalam memperkuat fenomena ini, memungkinkan penggemar untuk merasa lebih dekat dengan idola mereka. Dalam konteks ini, perilaku flexing di media sosial sering kali muncul sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa seseorang "terhubung" dengan gaya hidup selebriti. Hal ini tidak hanya berdampak pada perilaku individual, tetapi juga menciptakan norma sosial baru di kalangan masyarakat urban. Dimensi keterikatan emosional pada celebrity worship tidak dapat dianggap remeh. Bagi sebagian penggemar, selebriti bukan hanya sosok hiburan, melainkan juga inspirasi yang membantu mereka menghadapi tantangan hidup. Sebagai contoh, selebriti yang secara terbuka berbicara tentang perjuangan mereka dalam kesehatan mental dapat memberikan pengaruh positif kepada penggemar yang menghadapi masalah serupa. Namun, di sisi lain, keterikatan yang terlalu dalam dapat mengarah pada perilaku obsesif yang merugikan, seperti menghabiskan uang dalam jumlah besar untuk mengikuti kegiatan atau acara yang melibatkan idola mereka.
Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa gender dan usia memiliki pengaruh yang signifikan dalam menentukan dampak celebrity worship. Isril dan Yulianto (2024) menemukan bahwa penggemar muda, khususnya penggemar K-pop, lebih rentan terhadap dampak positif maupun negatif dari fenomena ini. Misalnya, penggemar perempuan cenderung menunjukkan keterikatan emosional yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini sering kali disebabkan oleh cara selebriti K-pop dipromosikan, dengan pendekatan yang sangat personal dan emosional, seperti melalui pesan langsung kepada penggemar atau konten eksklusif di media sosial. Namun, efeknya tidak selalu buruk; keterlibatan dengan selebriti juga dapat meningkatkan subjective well-being jika dikelola dengan baik. Penggemar yang mampu menyeimbangkan keterlibatan mereka dengan idola sering kali melaporkan perasaan bahagia dan termotivasi dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, tidak semua dampak dari celebrity worship bersifat positif. Moderasi usia dan gender juga menunjukkan bahwa kelompok tertentu lebih berisiko mengalami tekanan sosial atau kecemasan akibat fenomena ini. Sebagai contoh, remaja yang sangat terlibat dalam dunia selebriti mungkin merasa tertekan untuk memenuhi standar yang tidak realistis, baik dari segi penampilan maupun gaya hidup. Hal ini sering kali diperparah oleh eksposur yang terus-menerus terhadap konten yang menunjukkan kesempurnaan hidup selebriti. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat memicu masalah kesehatan mental, seperti rasa rendah diri atau kecemasan sosial. Oleh karena itu, penting bagi individu untuk memahami batasan antara kekaguman yang sehat dan keterlibatan berlebihan. Dalam konteks budaya populer, celebrity worship juga sering kali dikaitkan dengan FoMO, yang dapat mendorong perilaku impulsif dan konsumtif. Sebagai contoh, banyak penggemar yang rela menghabiskan waktu dan uang untuk membeli tiket konser atau merchandise eksklusif hanya untuk merasa menjadi bagian dari komunitas penggemar. Yulianto (2023) menyoroti bahwa fenomena ini semakin diperkuat oleh media sosial, yang memberikan ruang bagi penggemar untuk membandingkan pengalaman mereka dengan orang lain. Akibatnya, FoMO dapat menciptakan siklus konsumsi yang sulit dihentikan, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda.
Di sisi lain, celebrity worship juga memiliki potensi untuk membawa dampak positif jika dikelola dengan bijaksana. Banyak selebriti yang menggunakan platform mereka untuk menyuarakan isu-isu sosial, seperti kesetaraan gender, keberlanjutan lingkungan, atau kesehatan mental. Kampanye semacam ini dapat menginspirasi penggemar untuk terlibat dalam aktivitas sosial yang bermanfaat. Selain itu, selebriti yang memiliki cerita inspiratif sering kali menjadi motivasi bagi penggemar untuk mencapai tujuan pribadi mereka. Dengan demikian, celebrity worship tidak selalu bersifat merugikan, selama penggemar mampu menjaga keseimbangan dan tidak kehilangan identitas pribadi mereka. Refleksi atas fenomena ini menunjukkan bahwa kesadaran akan dampak celebrity worship menjadi sangat penting. Dengan pemahaman yang lebih baik, masyarakat dapat menavigasi pengaruh selebriti secara bijaksana tanpa kehilangan identitas pribadi mereka. Seperti yang diungkapkan oleh Yulianto (2023) dan Isril & Yulianto (2024), solusi yang sehat adalah mengelola keterlibatan dengan selebriti secara proporsional, sehingga fenomena ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan tanpa menimbulkan dampak negatif yang signifikan. Kesadaran ini tidak hanya relevan bagi individu, tetapi juga penting untuk diterapkan dalam pendidikan, media, dan kebijakan sosial guna mendorong masyarakat yang lebih kritis dan berdaya dalam menghadapi pengaruh budaya populer.
Pada akhirnya, celebrity worship adalah cerminan dari hubungan manusia dengan budaya populer dan media modern. Sebagai konsumen budaya, penting bagi kita untuk selalu bersikap reflektif terhadap fenomena ini. Dengan mengembangkan pemahaman yang lebih dalam, masyarakat dapat memanfaatkan celebrity worship sebagai alat untuk inspirasi dan motivasi, tanpa terjebak dalam ekspektasi yang tidak realistis atau tekanan sosial yang berlebihan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.