Catcalling: Ancaman Keamanan yang Tersembunyi
Edukasi | 2024-12-20 17:50:23
Oleh: Febiola Arizka Nanda Wibowo
Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang
Pelecehan seksual merupakan perilaku tidak senonoh dan melanggar hukum yang dilakukan dengan memaksakan unsur seksual kepada seseorang tanpa persetujuannya. Di Indonesia sendiri isu catcalling belum mendapatkan perhatian yang cukup dari masyarakat maupun penegak hukum. Kata catcalling sendiri mungkin masih terdengar asing di telinga masyarakat Indonesia. Padahal yang kita ketahui catcalling termasuk kedalam pelecehan verbal yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang merendahkan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia, terutama hak rasa aman dan bebas dari kekerasan. Arti dari kata catcalling adalah pelecehan seksual yang dilakukan di ruang publik dan dapat berupa verbal dan non-verbal, dikatakan verbal seperti memberi siulan atau kata-kata yang mengomentari ketidakpantasan atau senonoh kepada korban, serta non-verbal seperti gestur yang seolah memberikan penilaian terhadap penampilan korban. Adanya interaksi yang terjadi memunculkan simbol-simbol maupun isyarat yang merendahkan korban. Simbol-simbol ini bertujuan untuk menggoda atau mengganggu, dan merendahkan korban. Ini menciptakan pola komunikasi tidak seimbang dan penuh makna negatif. Panggilan manja seperti “cantik”, “sayang”, “seksi”, “sendirian ya? Mau ditemenin?” dan sejenisnya seringkali digunakan sebagai alat untuk melecehkan dan merasa memiliki atas kehadiran perempuan di ruang publik. Perilaku ini seringkali dianggap normal atau bahkan sebagai bentuk pujian sehingga menyulitkan korban untuk mendapatkan perlindungan atau keadilan.
Menurut data Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik pada 2019, sebanyak 64% dari 38.755 perempuan dan 11% dari 28.403 laki-laki. Dari data tersebut, sebanyak 60% mengaku pelecehan yang didapat berupa verbal atau ucapan, 24% mengalami sentuhan dan 15% melalui visual seperti tatapan atau main mata (Farisa,2019). Dilansir dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2020, terdapat 29.911 kasus kekerasan seksual di Indonesia sepanjang 2020 (Komnas Perempuan, 2021). Mengutip dari Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Andy, menyatakan sebanyak 34.682 perempuan menjadi korban tindak kekerasan sepanjang 2024. Hal ini disampaikannya dalam konferensi pers laporan sinergi data kekerasan terhadap perempuan yang melibatkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Komnas Perempuan, dan Forum Pengadaan Layanan (FPL). "Jumlah kekerasan terhadap perempuan yang tercatat pada sistem data tiga lembaga sepanjang 2023 mencapai 34.682 korban," ungkap Andy dalam pidato pembuka, Senin (12/8/2024). Dari data tahun 2020 sampai 2024 diketahui bahwa ada lonjakan kasus kekerasan pelecehan yang terjadi khususnya pada kaum perempuan itu semakin tinggi, walaupun pada tahun 2019 mengalami penurunan.
Dikutip dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, data yang tersaji kasus catcalling di Indonesia sendiri per tanggal 1 Januari 2024 mencapai angka 24.176 dengan korban terbanyak yaitu perempuan sebanyak 20.940 dan disusul korban laki-laki sebanyak 5.331, ini termasuk ke dalam hasil data tindak kekerasan sepanjang tahun 2024. Ini artinya penyebaran kasus catcalling di Indonesia tidak bisa diremehkan dan disepelekan. Pelecehan seksual secara verbal menjadi bentuk pelecehan yang sering dialami oleh masyarakat. Pelecehan seksual ini seringkali terjadi di ranah publik artinya kasus terjadi dimana korban dan pelaku tidak memiliki hubungan kerabat maupun saling mengenal satu sama lain, ini artinya pelaku kekerasan pelecehan secara verbal menganggap tindakannya hanya sekedar candaan tanpa mereka tahu dampak buruk yang ditimbulkan bagi korban. Catcalling sebagai salah satu tindakan yang bertentangan dengan kesusilaan yang seringkali luput dari perhatian, karena seringkali dilakukan secara spontan. Banyak masyarakat di Indonesia yang mungkin tidak menyadari bahwa mereka bisa menjadi korban atau pelaku karena kurangnya pemahaman tentang isu ini. Maraknya catcalling berdampak negatif bagi korban, tetapi banyak yang memilih diam karena takut. Kurangnya keberanian untuk membantu dan ketegasan maupun kejelasan dari penegakan hukum ini semakin memperparah situasi yang berdampak pada psikologis korban.
Berbagai dampak psikologis dapat ditimbulkan pelaku bagi korban catcalling seperti merasa tidak aman, tidak percaya diri, cemas dan bahkan mengakibatkan trauma bagi korban. Kecemasan sosial dapat muncul dari berbagai faktor, salah satunya adalah catcalling, meski sering dianggap sebagai pujian dengan kata-kata seperti cantik, manis, atau seksi catcalling sebenarnya dapat mengganggu dan menjadi bentuk pelecehan verbal akibat kurangnya pemahaman masyarakat. Catcalling juga dapat berdampak pada setiap aspek kesehatan seseorang. Dari mental, seksual, fisik, sosial, hingga pekerjaan.
Jenis pelecehan seksual ini dapat merugikan kesehatan mental korban dalam jangka pendek maupun panjang. Dalam jangka pendek, korban mungkin merasa marah, kesal, malu, terancam, dan takut bahwa situasi yang dialaminya akan terjadi kembali. Selain itu, mengalami pelecehan catcalling berhubungan dengan objektifikasi diri bagi perempuan. Objektifikasi diri dapat membuat wanita merasa malu dan cemas akan penampilannya. Selain itu, objektifikasi diri terkait dengan hasil kesehatan mental yang buruk termasuk gejala depresi dan gangguan makan. Bahkan, catcalling dikaitkan dengan penurunan produktivitas, terutama jika pelecehan terjadi di tempat kerja. Memiliki tingkat objektifikasi diri yang tinggi dapat berdampak serius pada rasa percaya diri seseorang terhadap seksualitas mereka yang dapat menyebabkan kesehatan seksual yang buruk.
Upaya dalam mencegah penyebaran kasus catcalling memerlukan pendekatan yang komprehensif artinya pendekatan menyeluruh dari berbagai aspek dan perlu melibatkan berbagai pihak. Menurut saya, pencegahan terjadinya kekerasan terhadap perempuan tidak hanya menjadi tugas instansi kepemerintahan saja tetapi ini tanggungjawab semua lapisan masyarakat dan organisasi masyarakat lainnya. Semua pihak perlu berperan aktif untuk melindungi sesama dan mencegah kekerasan ini agar tidak secara liar berkembang di lingkungan sosial. Selain itu, cara mengatasi terjadinya catcalling tidak bisa secara langsung, pendekatan atau sosialisasi bertahap juga diperlukan agar masyarakat juga mengerti dan memahami apa itu catcalling, bagaimana bentuk, dampak dan bagaimana cara mengantisipasinya. Jika tidak berhati-hati dalam berperilaku dan bertindak siapapun bisa menjadi korban bahkan pelaku kekerasan seksual baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Dalam pandangan hukum kekerasan seksual ini sudah diatur dalam Perundang-Undangan. Pada Pasal 281 KUHP menyatakan “siapa pun yang dengan sengaja melanggar kesusilaan di muka umum atau di depan orang lain yang tidak menghendakinya, dapat diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda”. Juga pada Pasal 315 dimana Pasal ini mengatur tentang penghinaan, yang dapat diterapkan pada tindakan catcalling yang bersifat merendahkan martabat seseorang. Dalam konteks ini, catcalling bisa dianggap sebagai penghinaan yang dilakukan secara verbal. Selain itu catcalling juga termasuk tindakan yang melawan hukum sebagaimana Pasal 30 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur tentang hak rasa aman dan kenyamanan bagi orang lain. Peraturan ini dibuat guna melindungi koban dari bahaya catcalling atau pelecehan seksual agar kejadian serupa tidak terulang dan pelaku mendapat hukuman yang setimpal dengan apa yang di perbuat.
Email: oohfebiola@gmail.com
Telepon: 0881026201827
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
