Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Valerina Marischa Usmarasima

Catcalling: Sanjungan atau Cemoohan?

Eduaksi | 2024-11-27 22:31:47

“Suit, suit! Cantik, mau kemana?”Pernahkah Anda mendengar siulan atau komentar seperti ini saat berjalan di jalanan? Atau lebih buruk lagi, menjadi targetnya? Siulan, candaan penuh goda, dan lelucon seksis yang kerap terdengar di ruang-ruang publik, bagi sebagian perempuan, adalah badai yang harus diterpa hampir setiap harinya.

Bayangkan bagaimana perasaan seorang perempuan yang berjalan seorang diri di malam hari lalu tiba-tiba menerima lontaran kata-kata yang mengganggu dari sekumpulan pria asing. Perasaan takut, cemas, dan tak nyaman langsung melanda. Fenomena ini dikenal sebagai *catcalling*, sebuah bentuk pelecehan verbal yang sering kali dianggap remeh namun memiliki dampak mendalam bagi para korbannya, terutama perempuan.

Zaman yang maju tidak serta-merta membawa rakyat ikut bergerak ke depan. Bagaimana tidak, jika sampai di penghujung 2024 ini masih juga dijumpai catcalling di lingkungan sekitar kita. Dari jalanan kota hingga gang-gang kecil, bentuk pelecehan verbal ini masih belum dikenali masyarakat sebagai sesuatu yang salah, menyebabkan justifikasi dengan dalih canda dan pujian sayang dari pelaku.

Pada kenyataannya, komentar yang dilontarkan biasanya bernuansa seksual dan seksis, sehingga merendahkan harga diri orang lain. Kerap kali, pelaku catcalling adalah laki-laki dan korbannya adalah perempuan. Pelecehan verbal ini, meskipun tampak sederhana, mencerminkan akar masalah yang jauh lebih dalam: ketimpangan gender dan budaya patriarki yang masih mengakar.

Sayangnya, banyak masyarakat yang tidak menganggap catcalling sebagai tindakan salah. Sebaliknya, pelaku sering membenarkan tindakan mereka dengan dalih “hanya bercanda” atau “memuji kecantikan.” Padahal, komentar-komentar ini sering kali bernuansa seksual dan merendahkan harga diri perempuan.

Secara umum, pelaku catcalling adalah laki-laki, sementara korban yang paling sering mengalami adalah perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa catcalling bukan hanya soal candaan, melainkan bentuk dominasi dan objektifikasi perempuan.Sulit untuk mengetahui angka pasti kejadian catcalling di Indonesia, karena banyak korban yang memilih diam dan tidak melaporkan pengalaman mereka.

Pelecehan seperti ini sering dianggap “tidak serius” dan bahkan sulit untuk dilaporkan sebagai pelanggaran hukum. Saat ini, belum ada aturan yang secara spesifik mengatur pidana untuk pelaku catcalling di Indonesia. Ketidakjelasan regulasi ini membuat pelaku semakin bebas melakukannya tanpa takut akan konsekuensi hukum.

Di sisi lain, kurangnya edukasi dan sosialisasi tentang pelecehan verbal juga memperparah masalah ini. Banyak orang tidak sadar bahwa tindakan mereka melukai orang lain secara psikologis. Tak jarang pula, korban malah disalahkan karena dianggap “terlalu sensitif” atau “memancing perhatian” melalui pakaian atau perilaku mereka.Meskipun sering dianggap ringan, catcalling memiliki dampak psikologis yang serius bagi korban.

Perempuan yang menjadi target catcalling sering merasa tak nyaman, cemas, dan takut. Rasa aman yang seharusnya mereka miliki di ruang publik menjadi terkikis. Bahkan, dalam jangka panjang, catcalling dapat menyebabkan korban merasa trauma dan enggan beraktivitas di luar rumah, terutama sendirian. Ini menunjukkan catcalling bukan hanya sekadar kata-kata, tetapi bentuk pelecehan yang dapat menghancurkan rasa percaya diri dan kesejahteraan mental seseorang.Menghentikan catcalling membutuhkan langkah bersama dari seluruh lapisan masyarakat.

Pertama, kesadaran publik harus ditingkatkan melalui edukasi dan kampanye yang menegaskan bahwa catcalling adalah bentuk pelecehan, bukan candaan. Selain itu, pemerintah perlu mengatur hukum yang lebih spesifik untuk menindak pelaku catcalling dan memberikan perlindungan bagi korban. Namun, langkah kecil bisa dimulai dari diri sendiri. Hentikan normalisasi lelucon yang berbau seksis.

Jika Anda melihat seseorang menjadi korban catcalling, beranikan diri untuk mendukung korban dan menunjukkan bahwa perilaku tersebut tidak dapat diterima. Jangan lupa untuk mendidik anak-anak, saudara, dan teman Anda bahwa menghormati orang lain adalah kewajiban, tanpa memandang gender atau penampilan.Catcalling mungkin terlihat remeh di permukaan, tapi dampaknya sangat nyata dan menyakitkan. Kini saatnya kita, sebagai masyarakat, berhenti menutup mata terhadap pelecehan verbal ini. Ruang publik harus menjadi tempat yang aman bagi semua orang, terutama perempuan, tanpa terkecuali. Jangan biarkan lelucon yang tidak lucu ini terus menghantui langkah mereka yang hanya ingin hidup dengan rasa aman.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image