Apakah Nabi Hanya Berjumlah 25?
Agama | 2024-12-12 16:45:52Nabi yang wajib diketahui dan diyakini oleh orang Islam berjumlah 25 Nabi. Namun, walaupun Nabi yang wajib diketahui hanya 25, tetapi jumlah seluruh nabi yang ada sepanjang masa lebih dari itu. Dalam kitab Qatru al-Ghaits karya Syekh Nawawi al-Banteni disebutkan bahwa jumlah seluruh nabi adalah 124.000 termasuk nabi yang akan dibahas dalam artikel ini.
Para ahli sejarah, seperti Wahb bin Munabbih (seorang pemuka tabi'in dan ahli sejarah) dan ad-Dhahak, menyebutkan bahwa Nabi Jirjis hidup pada masa fatrah antara Nabi Isa bin Maryam dan Nabi Muhammad ﷺ.
Beliau merupakan salah satu murid hawariyun (pengikut Nabi Isa) dan tinggal di Mosul, Irak. Hal ini didasarkan pada sebuah bangunan masjid bersejarah yang dibangun pada abad ke-14 di Mosul, yang sengaja didirikan untuk menghormati Nabi Jirjis. Namun, masjid tersebut dihancurkan oleh ISIS dalam suatu serangan pada Juni 2014.
Nabi Jirjis terkenal dengan kesalehan dan kedermawanannya, tetapi beliau harus merahasiakan dan menyimpan keimanannya karena daerah tempat tinggal beliau dikuasai oleh raja kafir yang menyuruh rakyatnya untuk keluar dari agama Nabi Ibrahim dan menyembah berhala.
Mosul (tempat tinggal Nabi Jirjis) saat itu dipimpin oleh raja tiran dan diktator yang bernama Dadzanah. Dalam riwayat lain, namanya Dadziyanah. Dia menguasai berbagai daerah dari Syam hingga Mesir. Dia adalah penyembah berhala dan memaksa seluruh rakyatnya untuk menyembah berhala dan keluar dari agama Nabi Ibrahim.
Bagi mereka yang enggan melakukan perintahnya akan disiksa dengan berbagai macam siksaan seperti dimasukkan ke dalam kobaran api yang besar, dikelupas dagingnya, dan dilubangi kepalanya kemudian dituangi kuningan yang meleleh.
Mengetahui hal itu, Nabi Jirjis geram dan tak tahan untuk menghentikan aksi Dadzanah. Beliau berangkat ke istana untuk menemui langsung sang raja. Sesampainya di sana, beliau melihat sang raja duduk di atas singgasana ditemani oleh dua perdana menteri yang ada di sebelah kanan dan kiri raja, yang kanan bernama Thoraglita dan Majlantis di sebelah kiri.
Di antara protokol tetap raja, ketika ada orang duduk di hadapannya, Dazdanah akan memaksa orang itu untuk keluar dari agama Nabi Ibrahim, memerintahkan untuk bersujud kepada berhalanya yang bernama Avalon, dan menyiksa orang yang berani menentang perintah itu.
Ketika Nabi Jirjis berada di hadapan raja, beliau langsung menolak mentah-mentah perintahnya dan mengatakan:
“Wahai raja, dengarkanlah aku! Aku akan menasihatimu. Jangan marah sebelum engkau mamahami ucapanku. Setelah itu, terserah engkau. Lakukanlah apa pun yang engkau inginkan.”
Sang raja diam dan mau untuk mendengarkan nasihat Nabi Jirjis. Lalu Nabi Jirjis melanjutkan perkataannya:
“Ketahuilah bahwa engkau adalah seorang hamba yang dimiliki. Engkau memiliki Tuhan yang menciptakan langit dan bumi serta isinya. Dia menciptakanmu dan memberimu rezeki. Begitu juga semua mahkluk. Patung yang engkau buat dan berdirikan itu, lalu kau anggap sebagai Tuhan, itu bukan Tuhan melainkan hanya batu yang dipahat. Dia tidak bisa mendengar, melihat, dan tidak bisa memberi manfaat kepadamu, bahkan kepada dirinya sendiri karena batu tidak bisa melakukan apa apa. Terimalah nasihatku. Buang berhala itu. Sembahlah Tuhan yang menciptakanmu. Sesungguhnya Allah ﷻ ﷻ Maha Penolong.”
Mendengar hal itu sang raja marah dan berkata: “Memangnya siapa engkau? Berani sekali engkau menghina Tuhanku!”
Nabi Jirjis menjawab:
“Aku adalah salah satu hamba Allah ﷻ, Dialah yang menciptakanku dari tanah dan akan mengembalikanku ke tanah dan dialah yang memberiku rezeki. Tujuan sebenarnya aku datang ke sini adalah untuk mencari perlindungan kepadamu dari orang-orang yang zalim. Akan tetapi, setelah aku mendatangimu, aku melihatmu menyembah selain Allah ﷻ, menyiksa orang-orang yang tidak bersalah, dan engkau menjauhkan mereka dari agama Allah ﷻ. Ingat, engkau akan mati, kemudian engkau dihidupkan lagi oleh Allah ﷻ untuk dihisab dan diberi balasan.”
Raja Dazdanah murka:
“Engkau harus dihukum, karena telah menghina agamaku dan menentang perintahku. Tetapi, aku tidak akan menghukummu sekarang. Aku akan memberimu kesempatan untuk memikirkan tawaranku dan aku akan memberimu nasihat sebagaimana engkau memberiku nasihat. Mari, ikutilah aku! Aku akan mengajakmu berkeliling istanaku ini. Engkau akan melihat kemegahan, keindahan, dan kebahagiaan di dalam istana ini.”
Akhirnya sang raja berdiri dari singgasana dan berjalan bersama Nabi Jirjis menuju tempat berhala yang ada di dalam istana. Di tengah perjalanan, sang raja berkata kepada Nabi Jirjis:
“Menurutku engkau tertipu oleh Tuhanmu. Engkau menyembah Tuhan yang Maha Agung. Namun, aku tidak melihat perubahan apap un dalam dirimu. Seandainya Tuhanmu sebagaimana yang engkau katakan, sudah pasti engkau adalah manusia yang paling agung dan hartamu paling banyak. Tetapi, aku melihatmu hina.”
Mendengar pernyataan sang raja, Nabi Jirjis membantahnya:
“Sebenarnya, engkaulah yang paling hina di muka bumi ini. Segala nikmat dan kesenangan duniawi akan sirna, sedangkan nikmat akhirat yang Allah ﷻ anugerahkan kepadaku akan kekal. Di sisi Tuhanku, aku tidaklah hina meskipun tidak menampakkan kekayaan seperti yang engkau lakukan. Ini adalah bentuk ketawadukan kepada Allah ﷻ. Engkau dan berhalamu adalah dua hal yang hina. Tidak bisa menciptakan, tidak bisa memberi rezeki, tidak berbahaya, dan tidak bermanfaat. Sedangkan Tuhanku Maha Kuasa dan Maha Bijaksana. Segala sesuatu berada dalam kekuasaan-Nya.”
Setelah perdebatan yang panas, sang raja kewalahan dan tidak mampu melanjutkan argumennya. Akhirnya, ia mengeluarkan ancaman terakhirnya:
“Engkau telah mengungkapkan banyak hal yang tidak aku ketahui dan waktumu telah habis. Engkau telah berbicara seenaknya di hadapanku. Sekarang, pilihlah salah satu dari dua pilihan ini: sujudlah kepada Avalon (berhala sang raja) atau disiksa.”
Nabi Jirjis menjawab:
“Jika Avalon adalah yang mengatur langit dan bumi, mengendalikan matahari, bulan, dan bintang, mengubah waktu malam menjadi siang dan siang menjadi malam, yang memperkokoh gunung, mengalirkan sungai, menumbuhkan pohon dan buah-buahannya, dan mengatur rezeki, maka sungguh aku akan bersujud dan memuliakannya.”
Mendengar respons Nabi Jirjis, sang raja sangat marah dan langsung memerintahkan para prajuritnya untuk segera membawa kayu. Nabi Jirjis diangkat secara paksa dan diikat di atas tumpukan kayu, lalu ia disiksa dengan sisir besi yang merobek kulit, daging, dan bahkan tulangnya. Darah mengalir deras dari tubuhnya, hingga otaknya mulai terlihat. Namun, meskipun disiksa sedemikian rupa, Nabi Jirjis tidak wafat.
Ketika mengetahui bahwa Nabi Jirjis masih hidup, sang raja meningkatkan siksaan. Ia memerintahkan prajuritnya untuk membawa paku besi yang dipanaskan. Paku-paku tersebut dihantamkan ke kepala Nabi Jirjis, sehingga darah banyak mengalir dari otaknya. Namun, sekali lagi, siksaan itu tidak membuat Nabi Jirjis wafat.
Sang raja semakin geram dan memerintahkan untuk membuat kolam dari tembaga, kemudian menyalakan api di bawahnya hingga api berkobar tinggi. Nabi Jirjis dilemparkan ke dalam kolam tersebut, lalu kolam ditutup dan dibiarkan dalam waktu yang sangat lama. Namun, hal yang tidak terduga terjadi, Nabi Jirjis tidak hanya selamat, tetapi juga tidak merasakan sakit atau terluka sedikit pun. Sang raja tercengang dan mulai merasa lelah setelah mencoba berbagai bentuk siksaan yang tidak berdampak apapun. Dalam kebingungan dan keputusasaannya, ia akhirnya bertanya:
“Bagaimana mungkin engkau tidak merasakan sakit secuil pun?”
Nabi Jirjis menjawab:
“Aku sudah memberitahumu bahwa aku mempunyai Tuhan yang Maha segalanya. Tuhanku menghilangkan rasa sakit dari siksaanmu, agar hal itu menjadi pelajaran bagimu bahwa tidak ada seorang pun yang mampu menanggung rasa sakit siksaanmu kecuali orang yang Allah ﷻ beri pertolongan.”
Meskipun harus mengalami siksaan yang sangat pedih, Nabi Jirjis tetap teguh dalam menyampaikan ajarannya dan mengajak orang-orang ke jalan yang lurus. Karena itu, sang raja sangat khawatir rakyatnya akan terpengaruh dan mengikuti ajaran Nabi Jirjis.
Akhirnya, ia memutuskan untuk menempatkan Nabi Jirjis di dalam penjara yang sangat terasing. Di penjara itu, Nabi Jirjis dipasung dengan empat belenggu besi yang mengikat tangan dan kakinya, dengan harapan dapat menghentikan usaha beliau dalam menyebarkan ajarannya.
Namun, pada malam harinya, terjadi hal yang tak terduga. Allah mengutus malaikat untuk melepaskan empat belenggu besi dari kaki dan tangan Nabi Jirjis serta memberinya makan dan minum. Setelah melaksanakan perintah Allah, malaikat itu berkata:
“Bersabarlah dan bergembiralah, karena Allah mengutusmu sebagai nabi, dan kedudukanmu di sisi Allah seperti Nabi Yahya bin Zakariya yang syahid di tangan kaumnya. Allah mengujimu dengan musuhmu, Raja Dadziyanah, selama tujuh tahun. Engkau akan dibunuh sebanyak empat—dalam riwayat lain, tujuh—kali. Setiap kali engkau dibunuh, Allah akan mengembalikan ruhmu ke jasadmu, dan itu akan menjadi bukti bagimu bahwa engkau adalah seorang nabi. Pada kematian yang keempat (atau ketujuh), Allah akan mewafatkanmu, menyempurnakan kemuliaan dan pahala atas apa pun yang telah menimpamu. Janganlah putus asa, karena Allah menyertaimu di mana pun engkau berada.”
Pagi itu, tanpa disadari oleh Raja Dzadiyanah, Nabi Jirjis berhasil keluar dari penjara dan kembali menjalankan tugasnya, yakni menyeru kepada kebaikan dan menyebarkan ajaran yang benar. Namun, di tengah-tengah aktivitas dakwahnya, Raja Dzadiyanah terkejut mendapati ruang tahanan Nabi Jirjis kosong. Sang raja, yang dipenuhi amarah, segera memanggil para prajuritnya. Dengan suara lantang dan penuh murka, ia memerintahkan mereka untuk segera mencari dan menangkap Nabi Jirjis.
"Temukan dia! Di manapun dia berada, tangkap dan bawa kembali ke hadapanku!" perintah Raja Dzadiyanah dengan nada yang sangat lantang.
Tanpa menunda waktu, prajurit-prajurit kerajaan segera menyebar ke seluruh penjuru kota, menyusuri jalan-jalan sempit, pasar-pasar yang ramai, hingga lorong-lorong tersembunyi. Setelah pencarian yang panjang, akhirnya mereka menemukan Nabi Jirjis yang tengah membimbing para pengikutnya. Tanpa ragu, mereka segera menangkapnya dan membawanya kembali ke hadapan Raja Dzadiyanah.
Sang raja, yang telah lama menanti dengan hati yang dipenuhi amarah, langsung berdiri dari singgasananya dan membentak Nabi Jirjis dengan suara menggema.
"Siapa yang berani membebaskanmu dari penjara!"
Dengan tenang dan penuh keyakinan, Nabi Jirjis menjawab.
"Dia yang kekuasaan dan kerajaannya jauh melampaui kerajaan serta kekuasaanmu."
Sang raja mendengar respon Nabi Jirjis, dia sangat marah dan tanpa ragu langsung menyuruh prajurit-prajuritnya untuk mendatangkan kayu dan gergaji. Begitu alat-alat itu tiba, mereka langsung membaringkan Nabi Jirjis diatas kayu dan menggergaji kepala Nabi Jirjis hingga tubuh mulia beliau terbelah menjadi dua. Setelah memastikan bahwa Nabi Jirjis sudah wafat, prajurit-prajurit raja membawa potongan tubuh beliau menuju sumur milik raja yang dipenuhi oleh singa yang buas dan melemparkan potongan tubuh beliau kedalamnya untuk menjadi santapan mereka.
Namun, Allah mengilhamkan kepada segerombolan singa buas agar tetap tenang dan tidak melukai Nabi Jirjis sedikit pun, sehingga potongan tubuh beliau tetap utuh dan tidak berkurang sedikit pun.
Pada malam harinya, Allah mengutus malaikat ke dalam sumur untuk menyatukan kembali tubuh Nabi Jirjis, mengembalikan ruhnya, dan mengeluarkannya dari sumur tersebut. Setelah menyelesaikan tugasnya, malaikat itu memberi makan dan minum kepada Nabi Jirjis, serta menyampaikan pesan dari Tuhan kepadanya:
“Sesungguhnya Allah berfirman kepadamu, ‘Wahai Jirjis, Aku adalah Allah, tiada tuhan selain Aku. Aku telah menghidupkanmu kembali agar engkau menjalankan kewajibanmu dan menyeru musuh-musuhmu ke jalan yang benar. Ketahuilah, tempat kembalimu adalah kepada-Ku. Aku akan memuliakanmu dan memberimu sesuatu yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga, bahkan tak pernah terlintas dalam hati manusia.’”
Pagi harinya, Nabi Jirjis melanjutkan misinya sebagai penyeru kepada jalan yang lurus dan benar. Sementara itu, sang raja beserta para prajuritnya mengadakan pesta perayaan atas kematian Nabi Jirjis, mengira bahwa mereka telah menang dan tidak akan ada lagi yang berani menentang kekuasaan raja.
Saat sedang membimbing para pengikutnya, Nabi Jirjis mendengar suara sorak-sorai dari arah istana dan bertanya kepada salah seorang pengikutnya.
"Suara apa itu?"
Salah seorang pengikutnya menjawab.
"Sang raja tengah mengadakan pesta perayaan kemenangan karena mereka mengira telah berhasil mengalahkanmu."
Mendengar jawaban itu, Nabi Jirjis segera menuju sumber suara dan menghadap sang raja. Ketika Nabi Jirjis hampir tiba di hadapan raja, sang raja berbicara lantang di depan para pengikutnya.
"Ketahuilah, tidak ada tuhan yang lebih kuat dari Avalon, tuhan kalian semua. Omong kosong tentang Jirjis dan Tuhannya, Dia tak bisa berbuat apa-apa."
Namun, di akhir kalimatnya, sang raja melihat sosok yang sangat mirip dengan Nabi Jirjis, membuatnya bertanya kepada salah seorang pengikutnya.
"Apakah mataku menipuku, atau orang itu benar-benar mirip dengan Jirjis?"
"Ketahuilah, tidak ada tuhan yang lebih kuat dari Avalon, tuhan kalian semua. Omong kosong tentang Jirjis dan Tuhannya, Dia tidak bisa berbuat apa-apa."
Namun, di akhir kalimatnya, Raja Dzadiyanah melihat sesuatu yang membuatnya terkejut. Di hadapannya, muncul sosok yang sangat mirip dengan Nabi Jirjis. Dengan wajah bingung, sang raja bertanya kepada salah seorang pengikutnya:
"Apakah mataku menipuku, atau orang itu benar-benar mirip dengan Jirjis?"
Pengikutnya, yang juga kebingungan, menjawab dengan penuh keheranan:
"Benar, paduka. Sungguh, betapa miripnya dia dengan Jirjis."
Nabi Jirjis yang saat itu berada dihadapan sang raja langsung membentak:
“Sungguh kalian adalah kaum yang paling buruk di muka bumi ini! Kalian membunuhku, memutilasi tubuhku dan membuang potongan tubuhku ke dalam sumur untuk dijadikan santapan binatang buas. Tapi, Tuhanku maha segalanya, Dia telah menghidupkanku kembali dan menyempurnakan tubuhku seperti sediakala.”
Mendengar pernyataan Nabi Jirjis, Raja Dzadiyanah dan para pengikutnya terbelalak, tak mampu mempercayai apa yang ada di depan mata mereka. Mereka merasa seolah-olah sedang terjebak dalam mimpi, menolak kenyataan bahwa Nabi Jirjis benar-benar hidup kembali. Bahkan, salah seorang pengikut raja berkata:
"Sungguh, dia adalah seorang penyihir! Dia telah menyihir kalian sehingga kalian merasa bahwa kalian telah menyiksanya dan membunuhnya, padahal kenyataannya kalian tak melakukan apa-apa padanya!"
Mendengar perkataan pengikutnya itu, Raja Dzadiyanah langsung mempercayainya dan memerintahkan prajuritnya:
"Cari penyihir terhebat di negeri ini!"
Para prajurit pun bergegas melaksanakan perintah raja dan setelah lama mencari, akhirnya mereka menemukan seorang penyihir yang dikenal sangat mahir. Tanpa membuang waktu, mereka membawanya ke hadapan raja.
Setibanya di istana, Raja Dzadiyanah berbicara kepada penyihir itu:
"Aku memanggilmu karena ada sebuah masalah yang sangat membingungkanku dan membuatku resah. Seorang penyihir bernama Jirjis telah memperdaya kami dengan sihirnya, dan kini aku membutuhkan bantuanmu. Gunakan sihir terbaikmu untuk mengalahkannya."
Sang penyihir lalu berkata:
"Bawakan kepadaku dua biji-bijian."
Sang raja langsung menyuruh prajuritnya untuk melaksanakan perintah sang peniyhir. Setelah dua biji itu diberikan kepadanya, penyihir itu menyuruh sang raja untuk berimajinasi bahwa biji-bijian itu telah berubah menjadi dua ekor kambing. Lalu, dia meminta raja membayangkan seolah-olah biji-bijian itu ditanam, tumbuh, dipanen, digiling, dan diolah menjadi roti. Sang raja mengikuti semua perintah itu dengan penuh keyakinan.
Selesai melaksanakan ritual imajiner itu, Raja Dzadiyanah berkata dengan penuh keyakinan:
"Sekarang kita pasti menang! Jirjis tidak akan mampu melawan sihirmu. Ubah dia menjadi seekor anjing sekarang juga!"
Penyihir itu menjawab:
"Bawakan segelas air kepadaku!"
Prajurit segera mengambil segelas air dan memberikannya kepada sang penyihir. Setelah meniupkan mantra ke dalam air itu, sang penyihir berkata:
"Berikan ini kepada Jirjis dan paksa dia untuk meminumnya!"
Namun, tanpa ada perintah dan paksaan, Nabi Jirjis langsung mengambil gelas itu dengan tenang dan meminumnya tanpa ragu. Setelah meneguk air tersebut, penyihir itu bertanya:
"Apa yang kau rasakan sekarang?"
Nabi Jirjis dengan tenang menjawab:
"Aku merasa baik-baik saja, tidak ada yang berubah. Aku hanya merasa segar karena aku memang sedang kehausan."
Kebingungan melanda seisi istana, termasuk penyihir itu. Dengan wajah heran, ia berkata:
"Bagaimana mungkin? Sihirku tidak pernah gagal sebelumnya."
Nabi Jirjis tersenyum dan menjawab:
"Allah melindungiku dari segala gangguan yang kalian coba timpakan kepadaku."
Mendengar nama Allah disebutkan, penyihir itu tampak terkejut. ia berkata:
"Sungguh, jika engkau memintaku untuk mengalahkan semua raja di muka bumi, aku akan melakukannya dan sihirku akan berhasil. Tetapi di hadapan Tuhan yang Mahakuasa dan tidak terkalahkan, aku tak bisa berbuat apa-apa. Kalian telah bersikap sombong dan menolak kebenaran. Mulai saat ini, aku beriman kepada Nabi Jirjis."
Salah satu pengikut Nabi Jirjis yang kebetulan hadir di istana segera angkat bicara:
"Sungguh, kalian telah salah mengira Nabi Jirjis sebagai seorang penyihir. Seorang penyihir tidak bisa menghindari kematian dirinya sendiri. Bukankah kemarin kalian telah membunuh Nabi Jirjis?"
Penyihir itu mengangguk setuju:
"Benar apa yang dikatakannya. Nabi Jirjis bukanlah seorang penyihir."
Lalu, dengan suara rendah, Sang penyihir berkata kepada Nabi Jirjis:
"Tuan, aku memohon pertolonganmu. Ada seorang perempuan tua dari Syam yang datang kepadaku meminta bantuanku untuk menghidupkan kembali sapi mudanya yang telah mati. Namun, aku tidak bisa melakukannya. Mungkin engkau dapat membantunya."
Setelah medengar permohonan itu, Nabi Jirjis menyuruh sang penyihir untuk memanggil Perempuan tua tersebut agar datang sendiri kepada Nabi Jirjis. setelah sang penyihir membawa Perempuan tua tersebut kehadapan Nabi Jirjis, Nabi Jirjis memberikan tongkatnya dan berkata:
“Bawalah tongkat ini dan pukulkan tongkat ini kepada sapimu. Niscaya sapimu akan hidup Kembali.”
Perempuan tua itu berkata:
“Jarak dari sini ke syam sangatlah jauh. Kurasa sebelum aku sampai kesana persendian sapiku telah hancur.”
Nabi Jirjis berkata:
“Jika engkau mendapati persendian sapimu telah hancur, itu bukanlah sebuah masalah. Bawa tongkat itu dan pukulkan ke sapimu niscaya Allah akan menghidupkan sapimu Kembali.”
Tanpa ragu, sang Perempuan tua pulang ke Syam sambil membawa tongkat yang diberikan Nabi Jirjis. Setelah sampai kerumahnya, dia langsung memukulkan tongkat tersebut dan mendapati sapinya hidup kembali dengan izin Allah.
Nabi Jirjis yang saat itu berada di istana raja Dzadiyanah berkata:
“Apakah penyihirmu mampu melakukan itu?”
Mendengar pertanyaan Nabi Jirjis, sang penyihir langsung menanggapinya sendiri:
“Sungguh tidak akan bisa dan hal itu merupakan suatu yang mustahil bagi para penyihir. Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah yang bisa menghidupkan sesuatu yang sudah mati dan Maha segalanya.”
Sang raja yang masih duduk di singgasananya sangat geram dan marah menyaksikan sendiri sang penyihir yang mulai menunjukkan bahwa dia berpihak pada Nabi Jirjis. Sang raja berkata:
“Betapa cepat Jirjis menyesatkanmu. Berani-beraninya engkau percaya kepada Jirjis!”
Sang penyihir membantah raja Dzadiyanah:
“Nabi Jirjis tidak menyesatkanku. Karena sejatinya, tiada Tuhan selain Allah. Orang-orang yang mengikuti beliau adalah orang-orang yang berada dalam kebenaran.”
Sang raja tak lagi mampu menahan gejolak amarahnya. Dengan wajah penuh kebencian, dia memerintahkan prajuritnya:
"Potong lidah penyihir itu! Bunuh dia agar orang-orang tidak terpengaruh olehnya, karena pengaruhnya begitu besar dan banyak yang mempercayainya."
Tanpa menunda, prajurit-prajurit kerajaan segera melaksanakan perintah kejam itu. Sang penyihir, yang telah menyatakan keimanannya kepada Allah dan membenarkan Nabi Jirjis, dibungkam dan dibunuh secara brutal.
Namun, meski tubuhnya tak lagi bernyawa, berita tentang keimanannya segera menyebar ke seluruh pelosok negeri. Orang-orang mendengar kisah luar biasa tentang bagaimana penyihir terkenal itu menerima kebenaran. Hal tersebut menginspirasi banyak dari mereka untuk mengikuti jalan yang sama. Sebanyak 4000 orang mulai beriman kepada Nabi Jirjis dan mempercayai ajarannya.
Raja Dzadiyanah, yang mendengar bahwa rakyatnya mulai berbondong-bondong memeluk ajaran Nabi Jirjis, menjadi semakin murka. Dengan suara penuh amarah, ia kembali memerintahkan prajuritnya:
"Tangkap semua orang yang beriman kepada Jirjis! Bunuh mereka semua, tanpa terkecuali!"
Tanpa menunggu lama, prajurit-prajurit itu segera melaksanakan perintah kejam sang raja. Mereka menangkap setiap orang yang diketahui telah beriman kepada Nabi Jirjis dan membawa mereka ke istana. Di sana, tanpa belas kasihan, para pengikut Nabi Jirjis dibunuh satu per satu dengan cara yang keji dalam upaya untuk memadamkan agama Allah yang semakin bersinar di tengah-tengah wilayah kekuasaan sang raja.
Salah satu pengikut Nabi Jirjis, yang menyaksikan kekejaman luar biasa yang menimpa 4.000 orang beriman, mendekati Nabi Jirjis dengan hati penuh keheranan. Dengan suara lembut, ia bertanya:
"Wahai Nabi Jirjis, mengapa engkau tidak memohon kepada Tuhanmu agar Dia menyelamatkan mereka? Dengan hidup mereka, engkau akan semakin kuat dalam menyebarkan kebenaran."
Nabi Jirjis menatapnya dengan tenang, lalu menjawab:
"Allah berkehendak untuk memasukkan mereka ke dalam surga dan mengistirahatkan mereka dari dunia yang penuh duka dan luka. Kehidupan akhirat yang penuh kedamaian itu lebih membahagiakan mereka daripada hidup di dunia yang fana ini. Aku tak bisa ikut campur dalam urusan Tuhanku, karena Dia mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya."
Orang-orang yang berpihak kepada raja Dzadiyanah semakin geram terhadap Nabi Jirjis. Salah satu dari mereka, seorang menteri bernama Majlantis, yang selalu berdiri di samping kiri sang raja, angkat bicara dengan sinis:
"Jirjis, engkau mengatakan bahwa Tuhanmu bisa melakukan dan menciptakan apa pun yang Dia kehendaki. Sekarang, aku akan menguji kebenaran perkataanmu itu, apakah benar atau tidak."
Majlantis menunjuk ke salah satu sudut ruangan istana:
"Lihatlah 14 kursi di sana."
Nabi Jirjis dengan tenang menjawab:
"Ya, aku melihatnya."
Majlantis melanjutkan:
"Di depan 14 kursi itu, terdapat papan dan talam. Mohonlah kepada Tuhanmu agar Dia mengembalikan semua yang ada di sana menjadi pohon yang berdaun dan berbuah. Jika Tuhanmu mampu melakukan itu, maka aku akan beriman kepada-Nya."
Nabi Jirjis menatap Majlantis dengan tatapan teduh, lalu berkata:
"Sesungguhnya, Tuhanku bisa melakukan apapun yang Dia kehendaki. Namun, aku tidak tahu apakah Dia akan berkehendak menumbuhkan pohon-pohon itu sesuai permintaanmu. Jika Dia tidak menghendaki, keputusan tetap berada pada-Nya."
Begitu Nabi Jirjis selesai berbicara, tiba-tiba malaikat Allah turun dan menyampaikan wahyu kepadanya. Malaikat itu berkata:
"Wahai Jirjis, apa pun yang engkau mohonkan kepada Tuhanmu, Dia pasti akan mengabulkannya."
Nabi Jirjis pun segera berdiri, menunaikan shalat dua rakaat, lalu berdoa dengan penuh kekhusyukan. Tak lama setelah itu, keajaiban terjadi. Kursi, papan, dan talam yang ada di hadapan 14 kursi mulai bergerak. Di hadapan mata semua yang hadir, benda-benda itu berubah menjadi pohon-pohon yang rimbun, berdaun lebat, dan dipenuhi buah-buahan segar.
Orang-orang yang berada di istana terdiam, terperangah melihat keajaiban yang tak terbantahkan itu. Namun, Majlantis, dengan hati yang semakin keras, tetap menolak untuk beriman. Dengan nada sinis, ia berkata:
"Sungguh, dia hanyalah seorang penyihir. Aku belum pernah melihat penyihir sehebat dia. Namun sekarang, akulah yang akan menyiksanya dengan tanganku sendiri!"
Majlantis, dipenuhi oleh amarah dan kesombongan, melangkah maju dengan niat jahat. Ia mengambil sebuah patung kambing raksasa yang terbuat dari tembaga, lalu mengisi perut patung itu dengan minyak dan belerang.
Setelah itu Majlantis menyalakan api di dalam perut patung tersebut. Api tersebut berkobar dengan sangat besar, memancarkan panas yang membakar. Tanpa ragu, dia melempar Nabi Jirjis ke dalam perut patung itu. Api menyala-nyala, hingga seluruh tubuh patung tembaga itu mulai meleleh akibat panas yang luar biasa.
Dalam siksaan mengerikan itu, Nabi Jirjis wafat untuk kedua kalinya. Namun, kematian Nabi Jirjis tidak menghentikan kehendak Allah. Seketika, Allah mengirimkan angin kencang, awan gelap, hujan salju yang lebat, kilat, halilintar, dan kegelapan yang menyelimuti seluruh wilayah kerajaan. Siang dan malam menjadi tidak bisa dibedakan selama berhari-hari. Orang-orang yang melihat peristiwa itu ketakutan dan bingung oleh kehancuran yang tiba-tiba melanda mereka.
Dalam kekacauan itu, Allah mengutus malaikat-Nya untuk mendatangi patung kambing yang meleleh tersebut. Sang malaikat mengeluarkan Nabi Jirjis dari perut patung yang telah mencair. Lalu, dengan kekuasaan-Nya, Allah menghidupkan kembali Nabi Jirjis dan seketika menghilangkan kegelapan yang menimpa negeri itu.
Nabi Jirjis berdiri tegak, dengan tubuh yang telah dipulihkan sepenuhnya, dan tanpa gentar ia kembali menyeru kepada kebenaran. Sang raja dan para pengikutnya setelah tahu Nabi Jirjis hidup kembali, mereka terkejut dan geram karena beliau mulai menyebarkan ajarannya kembali.
Atas perintah sang raja, para prajurit segera dikerahkan untuk menangkap Nabi Jirjis dan membawanya ke istana. Mereka bergerak cepat menuju tempat di mana Nabi Jirjis tengah menyebarkan ajarannya. Dengan kasar, mereka menangkap beliau dan menyeretnya ke hadapan raja.
Sesampainya di istana, suasana berubah tegang. Raja dan seluruh hadirin terdiam dalam keterkejutan. Di hadapan mereka berdiri Nabi Jirjis—yang sebelumnya telah disiksa hingga wafat—kini hidup kembali dengan tubuh yang sempurna, tanpa bekas luka sedikit pun. Keajaiban ini membuat semua yang menyaksikannya terperangah, tak mampu berkata apa-apa.
Melihat keajaiban itu, Thoraglita, menteri kepercayaan raja yang selalu berada di sisi kanan, akhirnya berbicara, mencoba menantang keimanan Nabi Jirjis. Ia berkata, "Wahai Jirjis, jika benar Tuhanmu memiliki kekuasaan yang tiada tanding, mohonlah kepada-Nya untuk menghidupkan kembali raja-raja kami yang telah lama wafat. Tulang-belulang mereka telah hancur dan tak bersisa. Jika Tuhanmu dapat membangkitkan mereka, aku akan beriman kepadamu."
Nabi Jirjis, dengan penuh keyakinan, menjawab tantangan tersebut, "Aku akan berdoa kepada Tuhanku. Katakan padaku, di mana kuburan para rajamu?"
Thoraglita menjawab, "Mereka dikuburkan di dalam sebuah gua di salah satu gunung di wilayah ini. Di dalam gua tersebut terdapat kolam-kolam yang menjadi kuburan para raja kami."
Setelah mendengar penjelasan Thoraglita, Nabi Jirjis bersama orang- orang istana segera berangkat menuju gua yang dimaksud. Sesampainya di gua, Nabi Jirjis berwudu, membersihkan dirinya sebagai persiapan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Setelah itu, beliau melaksanakan shalat dua rakaat dengan penuh kekhusyukan. Usai menunaikan shalat, Nabi Jirjis memerintahkan kepada tukang sapu yang menjaga gua tersebut untuk mengambil segenggam tanah dari dalam gua dan menaburkannya ke setiap kolam yang ada.
Dengan penuh keyakinan, tukang sapu mengikuti perintah itu, menaburkan tanah ke seluruh kolam yang tersebar di gua tersebut. Sementara itu, Nabi Jirjis duduk di hadapan kolam-kolam itu, menundukkan kepala dalam doa yang khusyuk, memohon kepada Allah untuk menunjukkan kekuasaan-Nya.
Tak lama setelah Nabi Jirjis berdoa, tanah yang ditaburkan mulai bergetar, debu-debu halus bergerak perlahan, membentuk struktur tulang-belulang yang mulai menyatu. Saksi mata menyaksikan dengan penuh keheranan saat tulang-tulang tersebut kemudian dilapisi daging, disempurnakan dengan kulit, hingga tubuh-tubuh para raja masa lalu kembali tercipta secara sempurna. Wajah mereka pun kembali seperti semula, layaknya mereka hidup di zaman kejayaan mereka.
Kemudian, atas izin Allah, ruh dimasukkan ke dalam setiap tubuh raja yang telah diciptakan kembali. Raja-raja itu pun bangkit dari kematian, hidup kembali, berdiri di hadapan Nabi Jirjis dan orang-orang yang menyaksikan keajaiban tersebut dengan takjub.
Raja-raja yang dibangkitkan itu berjumlah tujuh belas: sembilan raja, lima ratu, dan tiga putra mahkota. Di antara mereka, tampak seorang raja yang paling tua dan penuh wibawa. Nabi Jirjis mendekatinya dan bertanya, "Siapakah engkau? Apakah engkau memiliki agama saat engkau hidup?"
Sang raja menjawab dengan suara yang penuh penyesalan, "Aku adalah Theophilus. Dahulu, aku menyembah berhala Avalon. Setelah aku mati dan dikuburkan selama 400 tahun, kepedihan kematian masih terasa di tenggorokanku. Aku pernah berdiri di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Adil. Dia bertanya kepadaku tentang amal perbuatanku dan agamaku, namun aku tak mampu menjawab. Allah tidak menemukan secuil pun kebaikan dalam diriku dan teman-temanku. Sebagai akibatnya, kami disiksa tanpa henti, tubuh kami ditutupi ulat-ulat yang terus menggerogoti kami. Kami pernah memohon kepada Allah untuk mengembalikan kami ke dunia, namun permohonan itu ditolak. Hingga akhirnya kami mendengar seruan yang membangkitkan kami kembali, dan ruh kami pun dikembalikan."
Raja tua itu kemudian menatap Nabi Jirjis dan bertanya, "Siapakah engkau, wahai pria yang saleh? Allah telah menghidupkan kami berkat doamu."
Nabi Jirjis dengan tenang menjawab, "Aku adalah Jirjis, seorang Nabi."
Mendengar jawaban itu, raja tua tersebut memegang tangan Nabi Jirjis dan dengan penuh harap berkata, "Mohonlah kepada Tuhanmu agar Dia memberikan perlindungan kepada kami dan tidak mengembalikan kami ke dalam siksaan yang amat pedih."
Namun, Thoraglita, yang menyaksikan percakapan tersebut, maju ke depan dengan penuh kemarahan dan berkata, "Apakah engkau tidak malu, wahai orang tua? Selama bertahun-tahun engkau memeluk agama nenek moyangmu dan menyembah berhala, dan sekarang engkau hendak mengikuti agama orang yang kau anggap sesat ini?"
Raja tua itu menjawab dengan penuh keyakinan, "Aku lebih tahu apa yang menanti setelah kematian."
Nabi Jirjis pun berdiri, menghadap langit, dan dengan penuh khusyuk berdoa kepada Allah. Kemudian, beliau menghentakkan kakinya ke tanah, dan seketika itu juga, mata air yang jernih memancar dari tempat tersebut.
Nabi Jirjis lalu memerintahkan mereka semua untuk mandi dan berwudu agar menjadi suci. Setelah mereka selesai melaksanakan perintah tersebut, Nabi Jirjis berkata, "Ucapkanlah bahwa tiada Tuhan selain Allah."
Serentak, mereka semua melafalkan kalimat tersebut dengan khusyuk. Kemudian, Nabi Jirjis menghentakkan kakinya ke tanah sekali lagi, dan dengan izin Allah, mereka wafat kembali, lalu jasad mereka dikembalikan ke kuburan masing-masing.
Meski beragam keajaiban telah ditunjukkan oleh Nabi Jirjis di hadapan seluruh penghuni istana, tak satu pun dari mereka yang beriman kepadanya. Sebaliknya, seorang dari mereka bahkan berkata dengan penuh sinisme, "Engkau hanyalah seorang penyihir, Jirjis. Engkau hanya menyihir pandangan kami sehingga kami menyangka engkau telah menghidupkan orang-orang mati. Padahal, tidak ada satu pun yang benar-benar terjadi."
"Kita harus menyiksa Jirjis hingga mati dengan tidak memberinya makan."
Mendengar usul ini, mereka segera menangkap Nabi Jirjis dan membawanya ke sebuah tempat terpencil. Beliau diasingkan di sebuah gubuk sederhana yang dihuni seorang nenek tua yang pikun dan putranya yang buta, tuli, lumpuh, serta bisu. Di rumah itu hanya ada kayu-kayu penopang yang sudah kering, tanpa persediaan makanan atau minuman dari kerajaan.
Setibanya di gubuk tersebut, Nabi Jirjis bertanya pada si nenek, "Apakah engkau memiliki makanan?"
Sang nenek menjawab, "Aku hanya memiliki sedikit makanan, itupun hanya cukup untuk anakku. Aku sendiri sudah tidak makan selama sepuluh hari. Namun, jangan khawatir, aku akan keluar mencari sedikit makanan."
Setelah nenek tua itu pergi, Nabi Jirjis berdoa kepada Allah memohon makanan. Saat itu juga, dengan kekuasaan Allah, tiang kayu yang menopang rumah tersebut mulai tumbuh segar, menghijau, dan segera berbuah, menumbuhkan semua buah-buahan.
Sang nenek yang baru kembali dari mencari makanan, terkejut dengan apa yang ia lihat dengan mata kepala sendiri dia berkata:
“aku beriman kepada Tuhanmu, yang tiada Tuhan selain Dia.”
Menyaksikan mukjizat itu, nenek tua tersebut memohon kepada Nabi Jirjis agar beliau menyembuhkan putranya yang buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Dengan belas kasih, Nabi Jirjis menyetujui permohonan itu. Beliau meludahi mata dan telinga anak tersebut, dan dengan izin Allah, penglihatannya menjadi terang dan pendengarannya pulih.
Namun, anak itu masih belum bisa berbicara dan berjalan. Sang nenek pun memohon kembali, “Tolong sembuhkan juga mulut dan kakinya, wahai Nabi.”
Mendengar permintaan itu, Nabi Jirjis berkata, “Akan tiba waktunya, tetapi sekarang belum saatnya. Kedua anggota tubuhnya akan sembuh pada waktu yang telah ditentukan.”
Tepat saat Nabi Jirjis menyelesaikan ucapannya, sang raja dan rombongannya tiba di gubuk nenek itu. Mereka terkejut melihat pohon-pohon yang berbuah lebat dengan buah yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya. Sang raja, dengan ekspresi bingung, bertanya, “Pohon apakah ini? Aku belum pernah melihat pohon seperti ini di seluruh negeri.”
Salah seorang pengikut raja menjawab, “Ini adalah pohon yang ditumbuhkan oleh seorang penyihir, Jirjis, sebagai sumber makanan bagi dirinya, nenek, dan anaknya. Ia bahkan telah menyembuhkan anak nenek tersebut.”
Sang raja terkejut mendengar jawaban tersebut dan berkata:
“Kenapa aku tidak diberi tahu akan hal ini?”
Salah seorang pengikut raja menjawab:
“Kami tidak ingin membuatmu sedih dan marah, karena hatimu telah disibukkan olehnya.”
Sang raja, yang dipenuhi amarah yang membara, segera memerintahkan para prajuritnya untuk merobohkan gubuk sang nenek tua dan menebang pohon-pohon yang tumbuh di sekitarnya. Ia tidak ingin ada jejak mukjizat Nabi Jirjis yang tersisa di tempat itu. Prajurit-prajurit pun menjalankan perintah tersebut tanpa banyak bertanya.
Setelah itu, raja memerintahkan agar Nabi Jirjis segera ditangkap dan disiksa dengan cara yang kejam. Beliau diikatkan pada sebuah roda kayu besar yang tersambung ke seekor banteng yang kuat. Raja lalu memerintahkan para prajurit untuk menggerakkan banteng tersebut, sehingga roda berputar dengan ganas dan tubuh Nabi Jirjis tersayat hingga terbelah menjadi beberapa bagian.
Setelah memastikan bahwa Nabi Jirjis telah wafat, sang raja, yang masih diliputi kebenciannya, memerintahkan agar jasad beliau dikumpulkan dan dibakar hingga menjadi abu. Setelah jasad Nabi Jirjis dibakar hingga menjadi abu, sang raja memerintahkan agar abunya disebar ke tiga tempat yang berbeda. Sepertiga abu itu ditaburkan ke lautan, sepertiganya ke daratan, dan sisanya ke gunung-gunung. Dengan cara ini, sang raja berharap untuk melenyapkan jejak Nabi Jirjis sepenuhnya. Inilah kematian Nabi Jirjis yang ketiga.
Namun, ketika abu terakhir ditaburkan oleh para prajurit, sesuatu yang luar biasa terjadi. Tiba-tiba, terdengar suara yang menggelegar dari arah langit. Suara itu menggema dengan penuh wibawa, seolah memenuhi seluruh penjuru bumi. Suara itu berkata:
"Wahai lautan, wahai daratan, wahai gunung, jagalah hamba-Ku yang saleh ini. Kumpulkanlah semua bagian tubuhnya, hingga dia kembali seperti sedia kala."
Begitu kalimat itu selesai, angin kencang bertiup dari segala arah, membawa serta debu dan pasir dari tempat-tempat yang berbeda. Langit tampak gelap, dan suasana menjadi penuh ketegangan. Orang-orang yang menyaksikan kejadian ini hanya bisa berdiri terpaku, tidak mampu memahami apa yang sedang terjadi.
Dalam sekejap, debu dan abu itu berkumpul di satu tempat, menyatu kembali dengan keajaiban yang tidak dapat dijelaskan oleh akal manusia. Tak lama kemudian, dari pusaran debu yang berputar dengan cepat, tampak sosok Nabi Jirjis muncul. Tubuh beliau utuh kembali, tanpa bekas luka sedikit pun, seolah tidak pernah mengalami siksaan sebelumnya.
Mereka kembali ke istana dengan perasaan bercampur aduk—kebingungan, ketakutan, dan ketidakpercayaan atas apa yang baru saja mereka saksikan. Sosok Nabi Jirjis yang seharusnya telah musnah kini berdiri kembali, utuh tanpa cela. Sesampainya di hadapan raja, mereka melaporkan keajaiban itu. Sang raja, dengan nada tidak percaya dan penuh keheranan, berkata:
"Mana mungkin dia hidup kembali dan pulih seolah-olah tidak pernah mengalami siksaan? Bawa dia ke sini segera!"
Para prajurit segera melaksanakan perintah itu. Dalam waktu singkat, Nabi Jirjis dibawa ke hadapan sang raja. Tatapan raja penuh dengan kebingungan bercampur amarah. Namun, kali ini, dia mencoba pendekatan yang berbeda.
"Sekarang," ujar raja dengan nada lebih lembut, "apakah engkau mau menuruti perintahku? Sujudlah kepada Avalon, hanya sekali saja. Jika engkau melakukannya, aku tidak akan meragukan Tuhanmu, dan aku bahkan akan memuliakanmu."
Nabi Jirjis mendengarkan ucapan itu dengan tenang. Dalam hati, beliau telah memiliki rencana untuk menghancurkan Avalon dengan cara yang bijak dan penuh hikmah. Dengan wajah serius, Nabi Jirjis menjawab:
"Mengapa engkau tidak memintaku melakukan ini tujuh tahun yang lalu? Baiklah, aku akan melakukannya."
Jawaban itu mengejutkan sang raja. Tidak sedikit pun ia menduga bahwa Nabi Jirjis akan memberikan persetujuan. Wajahnya berubah cerah, dan dengan nada penuh semangat, dia berkata:
"Kalau begitu, mari ikut aku ke istana! Aku akan menyediakan kamar yang indah dan mewah untukmu. Kamu akan diperlakukan sebagai tamu terhormat di sana."
Sang raja tidak menyadari bahwa jawaban Nabi Jirjis bukanlah tanda kekalahan, melainkan langkah strategis untuk membuktikan kekuasaan Allah dan menghancurkan berhala Avalon dengan cara yang tidak terduga.
Malam itu, istana raja Dzadiyanah hening, hanya terdengar hembusan angin malam yang lembut. Di salah satu sudut istana, Nabi Jirjis sedang berdiri khusyuk melaksanakan shalat malam. Usai shalat, beliau membuka kitab Zabur dan mulai melantunkan ayat-ayat suci dengan suara yang penuh ketenangan dan keindahan.
Tanpa sepengetahuan Nabi Jirjis, istri Raja Dzadiyanah mendekati tempat beliau dari balik tirai. Tergerak oleh rasa penasaran dan kekosongan hati yang telah lama ia rasakan, sang permaisuri mendengarkan lantunan itu dengan penuh perhatian. Setiap ayat yang dilantunkan Nabi Jirjis menggema dalam hatinya, menyentuh jiwa yang selama ini terkungkung dalam kehidupan istana yang penuh tipu daya. Air matanya mulai mengalir tanpa ia sadari.
Nabi Jirjis yang tengah membaca Zabur mendengar suara isak tangis halus dari belakang. Beliau menoleh dan mendapati sang permaisuri berdiri dengan mata yang basah, tubuhnya gemetar oleh emosi yang tak dapat ia bendung. Dengan lembut, Nabi Jirjis mendekati sang permaisuri dan bertanya:
"Mengapa engkau menangis, wahai wanita mulia?"
Sang permaisuri mengusap matanya yang basah dengan kain, lalu menjawab dengan suara bergetar:
"Firman yang engkau bacakan itu sungguh indah. Aku tidak pernah mendengar sesuatu yang seperti ini sebelumnya. Setiap kata seolah menembus hatiku."
Nabi Jirjis tersenyum lembut dan bertanya lagi:
"Apakah engkau tahu siapa yang berfirman dalam kitab ini?"
Sang permaisuri menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu," jawabnya."Tolong ceritakan kepadaku. Aku ingin tahu."
Dengan penuh kelembutan, Nabi Jirjis mulai menjelaskan keagungan dan kemuliaan Allah. Beliau menggambarkan penciptaan langit dan bumi, kehidupan akhirat dengan surga yang penuh kenikmatan, dan neraka yang menjadi tempat bagi mereka yang menolak kebenaran. Setiap kata yang keluar dari mulut Nabi Jirjis menyentuh hati sang permaisuri lebih dalam, membuka mata batinnya kepada kebenaran.
Malam itu, sang permaisuri memutuskan untuk beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, dan menerima ajaran Nabi Jirjis.
Bisik-bisik terdengar di antara kerumunan. Sebagian orang mulai menganggap Nabi Jirjis telah menyerah pada tipu daya sang raja, bahkan menyangka beliau telah meninggalkan ajaran yang benar. Dalam kegaduhan itu, seorang nenek tua yang pernah merasakan mukjizat Nabi Jirjis berdiri dan berseru dengan air mata:
“Celakalah engkau, wahai Jirjis! Engkau telah meninggalkan jalan kebenaran, engkau telah keluar dari agama Nabi Ibrahim. Padahal Allah telah memuliakanmu dengan kenabian, menghormatimu dengan pertolongan-Nya, dan berkali-kali menghidupkanmu dari kematian!”
Nabi Jirjis mendengar pernyataan itu tanpa menunjukkan emosi. Dengan suara lembut, beliau menenangkan nenek tersebut:
“Letakkanlah putramu di sini.”
Meskipun bingung, nenek itu menuruti perintah Nabi Jirjis. Sang putra, yang selama ini lumpuh dan tidak mampu berjalan, dibaringkan di depan beliau. Nabi Jirjis memandang anak itu, lalu berkata dengan tegas:
“Wahai anak kecil, bangkitlah dan kemarilah.”
Di ujung kalimatnya, dengan izin Allah, sang anak tiba-tiba sembuh total. Mulutnya, yang selama ini bisu, dapat berbicara; kakinya, yang lumpuh, mampu berlari. Dengan penuh semangat, anak itu mendekati Nabi Jirjis. Lalu Nabi Jirjis berkata kepadanya:
“Pergilah ke tempat berhala-berhala itu dan sampaikan kepada mereka: ‘Jirjis memanggil kalian, demi Allah, yang tiada Tuhan selain Dia yang menciptakan kalian. Jawablah panggilannya.’”
Anak itu mematuhi perintah Nabi Jirjis, melangkah masuk ke ruang berhala, meskipun ia merasa bingung. Sesampainya di depan berhala, ia menyampaikan pesan Nabi Jirjis dengan suara lantang. Pada saat itu, Nabi Jirjis menghentakkan kakinya ke tanah. Getaran dahsyat terjadi, tanah terbuka dan menelan semua berhala yang ada di ruangan itu.
Di tengah-tengah kekacauan itu, dari salah satu berhala, iblis yang bersembunyi keluar untuk menyelamatkan dirinya. Namun, Nabi Jirjis segera mengejar dan menangkapnya. Dengan suara penuh wibawa, beliau berkata:
“Wahai iblis yang terlaknat, mengapa engkau terus menyesatkan manusia menuju kehancuran?”
Iblis menjawab dengan nada penuh kebencian:
“Jika aku diberi pilihan antara memiliki seluruh langit dan bumi atau menyesatkan satu anak Adam, aku akan memilih menyesatkan mereka. Aku memusuhi Adam dan keturunannya sejak awal penciptaan.”
Nabi Jirjis menatap iblis dengan tajam.
“Bukankah engkau tahu, Allah tidak akan mematikanku hingga hari kiamat? Tolong lepaskan aku.”
Nabi Jirjis menjawab:
“Pergilah, aku membebaskanmu kali ini.”
Iblis segera melarikan diri, meninggalkan istana dalam ketakutan. Sementara itu, Raja Dzadiyanah yang menyaksikan kehancuran berhalanya dan tindakan Nabi Jirjis menjadi sangat marah. Dengan suara lantang, ia berteriak:
“Engkau telah menghancurkan tuhan-tuhanku dan mempermalukanku di depan rakyatku!”
Nabi Jirjis menanggapi dengan tenang:
“Bagaimana bisa engkau menyebut benda-benda tak berdaya itu sebagai tuhan, padahal mereka bahkan tidak mampu menyelamatkan diri mereka dari kehancuran?”
Perdebatan antara Nabi Jirjis dan raja semakin sengit. Di tengah-tengah itu, permaisuri raja, Dzadiyanah, muncul dan berseru dengan lantang:
“Dengarkan aku, wahai rakyat negeri ini! Celakalah kalian! Tidakkah kalian memiliki akal untuk memahami pelajaran dari apa yang telah kalian saksikan? Wahai penduduk negeriku, sayangilah jiwa kalian dan segeralah masuk Islam. Percayalah, Jirjis adalah Nabi yang diutus oleh Tuhan kepada kita!”
Kemarahan raja semakin memuncak mendengar pernyataan istrinya. Dengan penuh kekecewaan, ia membentak:
“Betapa cepatnya engkau tersesat oleh penyihir itu hanya dalam satu malam! Selama tujuh tahun aku telah menyaksikan mukjizat-mukjizatnya, tetapi aku tidak pernah masuk Islam. Bagaimana bisa engkau tertipu olehnya hanya karena satu peristiwa?”
Mendengar jawaban istrinya yang kini beriman, raja menjadi murka. Amarahnya meluap, hingga ia mengeluarkan perintah yang kejam:
“Gantung permaisuri! Lalu sisir tubuhnya dengan sisir besi hingga kulit dan dagingnya terkoyak!”
Prajurit melaksanakan perintah dengan tanpa ampun. Permaisuri yang setia kepada keimanannya, kini menghadapi siksaan yang sangat pedih. Di tengah derita itu, dengan suara yang lemah tetapi penuh keyakinan, ia memanggil Nabi Jirjis:
“Wahai Nabi Jirjis, berdoalah kepada Allah agar Dia meringankan siksaan ini.”
Nabi Jirjis yang menyaksikan keteguhan iman permaisuri segera mengangkat tangannya, memanjatkan doa ke hadapan Allah. Tidak lama setelah itu, wajah sang permaisuri berubah; ia tersenyum, bahkan tertawa di tengah siksaan. Nabi Jirjis yang melihat perubahan itu bertanya penuh keheranan:
“Mengapa engkau tertawa di saat seperti ini?”
Dengan suara yang tenang meski tubuhnya terluka parah, permaisuri menjawab:
“Aku melihat dua malaikat berdiri di hadapanku. Mereka membawa mahkota, pakaian, dan perhiasan dari surga, bersiap menyambut ruhku untuk membawanya ke tempat penuh kenikmatan abadi.”
Pada akhir ucapannya, permaisuri menghembuskan napas terakhir dengan senyuman, meninggalkan dunia yang fana. Nabi Jirjis, yang penuh haru menyaksikan wafatnya istri raja dalam keimanan, langsung melaksanakan shalat dua rakaat. Seusai shalat, beliau menengadahkan tangan ke langit, berdoa dengan hati yang tulus:
“Ya Allah, Engkau telah mengujiku dengan berbagai cobaan dan musibah. Engkau menjanjikan bagiku waktu tujuh tahun untuk berdakwah, dan hari ini tujuh tahun itu telah sempurna. Kini aku memohon kepada-Mu, ya Rabb, cabutlah ruhku dengan penuh kasih sayang. Namun sebelum itu, timpakanlah siksa dan murka-Mu kepada desa ini beserta penduduknya yang telah berkali-kali melakukan kezaliman dan kekufuran.
Aku juga memohon, ya Allah, agar setiap hamba-Mu yang dilanda kesusahan dan berdoa dengan menyebut namaku sebagai perantara, Engkau kabulkan permohonannya, Engkau lapangkan kesulitannya, dan Engkau lindungi dirinya.”
Doa Nabi Jirjis disambut oleh langit yang mendadak menggelap. Awan hitam pekat menggulung, menyelimuti desa dengan bayangan murka Ilahi. Tidak lama kemudian, hujan api turun dari langit, membakar segala sesuatu yang disentuhnya. Penduduk desa, termasuk para pengikut raja, berteriak dalam ketakutan. Mereka menyadari ajal mereka telah dekat, tetapi tidak seorang pun dapat menyelamatkan diri dari azab Allah.
Di tengah kekacauan itu, para prajurit raja yang masih hidup berlari menuju Nabi Jirjis. Dalam keputusasaan dan kemarahan, mereka memenggal kepala beliau dengan pedang. Itulah kematian Nabi Jirjis yang keempat.
Desa tersebut, bersama para penduduknya yang durhaka, musnah dilahap api dari langit. Hanya orang-orang yang beriman kepada Nabi Jirjis yang selamat. Mereka yang selamat, konon berjumlah sekitar 33.000 jiwa, termasuk sang permaisuri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.