Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image QURROTUL AINI

Menguak Ayat-ayat Pelarangan Khamar dalam Alquran: Tahapan dari Pengakuan Hingga Pengharaman Mutlak

Agama | 2024-11-30 13:59:28

Pada masa Jahiliyyah, khamr dianggap sebagai minuman istimewa yang mencerminkan status sosial yang tinggi. Banyak syair-syair jahiliyyah yang mengagungkan khamr sebagai symbol kebanggaan, hal itu sudsah melekat dan menjadi adat masyarakat untuk mengonsumsinya. Namun, Khamr merupakan salah satu minuman yang memberikan dampak negatif besar yaitu dapat memabukkan dan menyebabkan rusaknya akal pikiran. Adapun larangan terhadap khamr tidak ditetapkan secara langsung oleh Syari’. Al-Qur’an menjelaskan pelarangan terhadap khamr secara bertahap. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an turun menyesuaikan kondisi sosial, budaya dan psikologis serta sebagai respons atas suatu problem yang berlangsung pada saat itu.

Ayat-ayat yang berhubungan dengan pelarangan untuk mengonsumsi khamr terdapat dalam beberapa tempat di surah yang berbeda. Hal ini menunjukkan sangat jelas bahwa Al-Qur’an diturunkan secara bertahap, dimulai dengan adanya pengakuan tentang manfaat dan madlarat khamr, dimana kemadlaratannya lebih besar daripada kemanfaatannya. Kemudian dilanjutkan dengan larangan meminum khamr Ketika mendekati shalat hingga akhirnya terdapat pengharaman khamr secara mutlak.

Beberapa mufassir mengungkapkan bahwa Allah menurunkan ayat tentang khamr dalam 4 ayat, ayat yang pertama turun di kota Makkah pada surah Annahl ayat 67

وَمِنْ ثَمَرٰتِ النَّخِيْلِ وَالْاَعْنَابِ تَتَّخِذُوْنَ مِنْهُ سَكَرًا وَّرِزْقًا حَسَنًاۗ

Pada saat itu orang-orang Muslim minum khamr dan hal tersebut mereka hukumi halal baginya. Dalam tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa kata سَكَرًا dapat dipahami arti memabukkan. Namun, ayat ini belum menetapkan keharaman minuman keras, tetapi telah memberi isyarat dengan menggunakan huruf و sebagai pemisah antara سَكَرًا dan رِزْقًا حَسَنًاۗ. Hal ini menunjukan bahwa bahwa kalau salahsatunya dinyatakan baik maka tentu yang dipisahkan oleh و adalah sesuatu yang tidak baik.

Imam Al Baghawi menjelaskan dalam kitabnya Ma’alim al-Tanzil bahwa Setelah turunnya surah An Nahl, turunlah surah Al- Baqarah ayat 219 sebagai jawaban atas pertanyaan Umar bin Khattab dan Muadz bin Jabal yang meminta fatwa kepada Rasulullah tentang khamr dan maysir,

يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِۗ قُلْ فِيْهِمَآ اِثْمٌ كَبِيْرٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِۖ وَاِثْمُهُمَآ اَكْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَاۗ

Rasulullah bersabda “ sesugguhnya Allah telah memutuskan tentang pengharaman khamr” maka Sebagian kaum yang lain sudah meninggalkan khamr karena adanya lafadz اِثْمٌ كَبِيْرٌ (menunjukkan bahwa khamr itu dosa besar). Namun, Sebagian yang lain masih mengonsumsinya sebab terdapat kata وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِ (yang mana menunjukkan makna bahwa khamr itu juga dapat memberikan manfaat bagi manusia). Dapat diambil makna dari ayat ini yaitu memperkenalkan konsep bahwa khamr lebih banyak membawa kerugian daripada manfaat.

Ayat larangan khamr selanjutnya yaitu pada surah An Nisa ayat 43, dimana asbabun nuzul nya menceritakan bahwa pada saat itu Abdurrahman bin Auf membuat jamuan dan mengundang para sahabat nabi, mereka meminum khamr lalu mabuk. Ketika sampai pada waktu maghrib, mereka shalat dan membaca surah Al-Kafirun, ia kliru dalam membacanya hingga pada saat itu Allah menurunkan surah An-Nisa ayat 43

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

Pada saat ayat itu turun, Sebagian kaum sudah meninggalkan khamr tetapi Sebagian lain berkata “tidak ada kebaikan sesuatu yang terdapat diantara kita dan diantara shalat” maka Sebagian yang lain meninggalkannya pada waktu shalat dan meminumnya diluar waktu shalat.

Setelah kejadian tersebut berlangsung, terdapat juga peristiwa dimana ‘Itban bin Malik juga mengadakan jamuan dan mengundang beberapa orang muslim, diantaranya adalah Saad bin Abi Waqas. Singkat cerita, mereka mulai minum khamr sampai mabuk, kemudian mereka membanggakan diri dan mengejek kaum Anshar hingga salah seorang dari kaum anshar marah dan memukul kepalanya hingga terluka, Saad pun pergi untuk mengadu kepada Rasulullah, maka Umar berkata “Ya Allah, jelaskan kepada kami hukum tentang khamr dan penjelasan yang memadai.” Lalu Allah menurunkan ayat dalam surah Al Maidah ayat 90-91. kedua ayat ini sudah jelas menyebutkan tentang larangan khamr. Dalam ayat 90 menyebutkan bahwa minum khamr termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan tersebut agar kamu beruntung. Hal itu sudah sangat jelas bahwa terdapat perintah untuk menjahui khamr secara mutlak, kemudian disambung dengan ayat 91 yang diakhiri dengan lafadz فَهَلْ اَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ (maka tidakkah kamu mau berhenti?)

Surah Al-Maidah ayat 90-91 sudah menjelaskan bahwa khamr dilarang secara mutlak, meskipun tidak terdapat kata “tahrim” pada ayat tersebut, tetapi makna pada ayat tersebut sangatlah jelas bahwa terdapat perintah untuk menjauhinya.

Melalui turunnya Al-Qur’an secara bertahap terhadap larangan mengonsumsi khamr, dapat dipahami bagaimana Al-Qur’an memberikan petunjuk sesuai dengan kondisi umat pada saat itu. Larangan terhadap khamr adalah contoh hikmah Allah dalam menyampaikan hukum secara bertahap. Pendekatan secara berangsur-angsur tersebut sangatlah penting karena menjadikan masyarakat mudah menerima dalam setiap perubahan yang terjadi, hingga akhirnya dapat menghilangkan kebiasaan buruk yang telah mereka lakukan.

Al-qur’an mengajarkan bagaimana proses untuk mencapai suatu kemaslahatan. Proses bertahap ini tidak hanya mencerminkan kebijaksanaan Allah SWT dalam membimbing umat-Nya, tetapi juga menunjukkan perhatian terhadap kebutuhan dan kesiapan umat untuk menerima perubahan. Penerapan pelarangan khamr ini akan tetap relevan hingga zaman ini. Hal ini bisa dijadikan patokan atau pedoman yang jelas bagi umat Islam untuk menjaga dirinya dari hal-hal yang merusak tubuh dan akal pikiran.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image