Menelisik Kontroversi Ranggalawe, Seorang Pahlawan yang Memberontak?
Sejarah | 2025-01-04 18:01:25Sejarah merupakan hal yang tak bisa lepas dari kehidupan manusia. Sejarah berisikan rekam jejak peristiwa masa lalu yang tentunya memiliki peran penting untuk kehidupan masa kini. Namun, pada realitasnya hingga saat ini masih banyak sejarah yang penuh kontroversial.
Dalam peristiwa sejarah, seorang tokoh memiliki peran yang penting karena merupakan pelaku utama. Perjuangan yang telah dilakukan oleh tokoh sejarah di masa lalu dapat menentukan sikap baik ataupun buruk dari tokoh tersebut. Tak sedikit tokoh sejarah yang menyandang dua status berbeda atas perjuangan yang telah dilakukannya yaitu sebagai seorang pahlawan atau pemberontak.
Menurut KBBI, pahlawan didefinisikan sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani; hero. Sedangkan, pemberontak dalam KBBI adalah orang yang melawan atau menentang kekuasaan yang sah; pendurhaka.
Sampai saat ini, tak sedikit perjuangan dari tokoh sejarah yang masih kontroversial. Mulai dari tokoh di zaman kerajaan hingga pasca kemerdekaan Indonesia. Salah satu tokoh sejarah kontroversial tersebut adalah Ranggalawe. Ranggalawe merupakan tokoh sejarah pada zaman kerajaan Nusantara tepatnya Kerajaan Majapahit. Ranggalawe menjadi kontroversial atas perlawanannya yang dilakukan kepada Kerajaan Majapahit. Sebelum membahas mengenai kontroversi Ranggalawe mari kita mengenang sekilas sejarah tokoh Ranggalawe.
Ranggalawe atau Arya Adikara merupakan putra Adipati Wiraraja dari Kadipaten Sumenep. Arya Wiraraja adalah seorang pengikut setia Raden Wijaya, raja dari Kerajaan Majapahit. Pertemuan awal Ranggalawe dengan Raja Wijaya berlangsung ketika Ranggalawe mengantarkan Putri Tribuwana yang beberapa waktu sempat dititipkan tinggal di Sumenep untuk bertemu kembali dengan Raden Wijaya. Saat pertemuan tersebut Ranggalawe mengabdikan diri untuk menjadi pengikut setia Raja Wijaya mengikuti jejak ayahnya.
Majapahit merupakan sebuah kerajaan bercorak Hindu-Budha yang berdiri pada tahun 1293 M. Cikal bakal pemerintahan Majapahit berasal dari pembangunan desa di hutan Tarik. Saat pembangunan Hutan Tarik tersebut Ranggalawe turut memberikan peran yang besar bersama dengan pamannya, Lembu Sora. Ranggalawe bersama Lembu Sora melaksanakan berbagai kegiatan untuk memajukan wilayah Majapahit tersebut mulai dari penataan kota, pemeriksaan jalan, penyiapan prajurit beserta kuda perang, dan masih banyak lagi. Atas perjuangan mereka Majapahit tumbuh menjadi kerajaan yang ramai dan maju.
Tak hanya itu, Ranggalawe juga berjasa besar atas perlawanan untuk mengusir tentara Tar-Tar dari Mongolia. Ranggalawe bersedia mempertaruhkan nyawanya dalam menggempur tentara Mongol untuk melindungi Raja Wijaya. Ranggalawe akan melakukan apapun untuk Raja Wijaya karena ia telah mengabdikan dirinya kepada Raja Wijaya. Dari perlawanan tersebut, kemenangan didapatkan oleh Majapahit.
Pada suatu ketika, terjadi sebuah pertemuan di paseban yang dihadiri oleh seluruh jajaran tokoh penting Majapahit. Ranggalawe pun turut hadir di sana akan tetapi tanpa ayahnya. Dalam pertemuan tersebut, Raja Wijaya mengumumkan dan melantik Nambi menjadi mahapatih amangkubumi. Sedangkan, Ranggalawe menjadi adipati di dataran atau yang sekarang dikenal dengan nama Kota Tuban. Atas pelantikan Nambi tersebut, Ranggalawe merasa tidak terima karena Nambi tidak layak mendapatkan jabatan tersebut. Ranggalawe menganggap bahwa perjuangan Nambi tidak sebesar perjuangan yang dilakukannya ataupun Lembu Sora dalam membangun Majapahit. Ranggalawe justru merasa Lembu Sora lah yang lebih layak mendapatkan jabatan tersebut.
Nambi sedari tadi hanya diam tidak menanggapi karena ia merasa berdebat di depan raja tidaklah baik. Penolakan yang dilakukan Ranggalawe pada pertemuan di Paseban mendapatkan reaksi dari Kebo Anabrang. Kebo Anabrang merasa geram dan berakhir menantang Ranggalawe untuk mengangkat senjata. Ranggalawe pun merasa marah karena bukanlah Nambi yang menanggapinya namun Kebo Anabrang. Ranggalawe akhirnya pergi meninggalkan paseban.
Raja Wijaya merasa sedih karena harus terjadi perdebatan jabatan. Raja Wijaya sempat termenung dan berpikir untuk mengganti jabatan mahapatih kepada Ranggalawe. Namun, hal tersebut mendapat penolakan dari Lembu Sora karena nanti Raja Wijaya akan dianggap tidak konsisten dan menurunkan kehormatannya sebagai seorang raja. Atas terjadinya hal tersebut, Lembu Sora meminta izin kepada Raja Wijaya untuk berbicara langsung dengan Ranggalawe.
Lembu Sora menemui Ranggalawe yang sedang marah di luar Paseban. Saat Lembu Sora menghampirinya, Ranggalawe langsung memberikan kerisnya dan meminta pamannya tersebut untuk membunuhnya. Ranggalawe merasa bersalah karena telah terlalu lancang kepada Raja Wijaya. Lembu Sora yang mengetahui hal tersebut pun menolaknya dan mengingatkan kembali Ranggalawe atas kebaikan Raja Wijaya kepadanya hingga menganggapnya abdi kesayangan. Setelah mendapat nasihat dari Lembu Sora, Ranggalawe pun kembali pulang ke Kadipaten Tuban.
Sekembalinya ke Kadipaten Tuban Ranggalawe bercerita kepada ayahnya atas apa yang telah terjadi di Majapahit. Ayahnya yang mendengarkan hal tersebut pun hanya bisa memberi nasehat kepada putranya. Namun, Ranggalawe dengan sifatnya yang tegas tak mengindahkan nasihat orang tuanya dan tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Menurutnya lebih baik ia mati sekalipun itu sebanyak 7 kali untuk mendapatkan kehormatannya daripada harus menahan rasa malu atas ketidakberanian untuk menerima tantangan yang telah diberikan Kebo Anabrang.
Tekad Ranggalawe yang sudah bulat berujung pada perlawanan Ranggalawe bersama seluruh pasukan dari Kadipaten Tuban terhadap Kerajaan Majapahit. Peperangan pertama dimulai oleh Nambi dan pasukannya yang menyerang pasukan Tuban yang membelot dari Kerajaan Majapahit di tepi Sungai Tambak Beras. Peperangan ini dimenangkan oleh pihak Majapahit. Peperangan yang telah terjadi ini membuat Ranggalawe semakin gentar untuk melakukan perlawanan. Ranggalawe menyiapkan seluruh pasukannya untuk menuju sungai Tambak Beras. Peperangan yang kedua pun berlangsung antara Ranggalawe dengan Nambi dimana Tuban unggul dalam perang tersebut. Suasana perang masih berlangsung hingga pada akhirnya pecahlah peperangan yang ketiga yang diikuti oleh seluruh pasukan dan petinggi baik dari Kadipaten Tuban maupun Kerajaan Majapahit. Raja Wijaya pun pada saat itu ikut turut menyaksikan dari atas bukit namun tidak ikut terjun langsung ke medan peperangan. Ranggalawe yang masih merasa tertantang akan apa yang dilontarkan Kebo Anabrang saat pertemuan di Paseban pun bertempur bersama dengannya. Dalam pertempuran tersebut Ranggalawe sempat unggul, namun karena baju zirahnya yang berat maka ia pada akhirnya kalah dari Kebo Anabrang saat berperang di atas Sungai Tambak Beras. Ranggalawe pada akhirnya meninggal di tangan Kebo Anabrang. Lembu Sora yang mengetahui hal tersebut membunuh Kebo Anabrang. Pertempuran berakhir dengan tragis karena tokoh-totkoh penting baik dari Majapahit ataupun Tuban banyak yang meninggal dunia.
Dari peristiwa perlawanan Ranggalawe tersebut pada akhirnya memicu banyak kontroversi di kalangan masyarakat. Ranggalawe mendapatkan dua status sekaligus dalam pandangan masyarakat. Masyarakat yang mendukung Kerajaan Majapahit akan cenderung menganggap Ranggalawe sebagai seorang pemberontak. Hal ini jika dikaitkan dengan definisi dari pemberontak menurut KBBI itu sendiri merupakan hal yang sesuai dikarenakan Ranggalawe telah melawan Kerajaan Majapahit yang merupakan kekuasaan sah di atas Kadipaten Tuban. Namun, perlu diketahui terlebih dahulu apa latar belakang dari perlawanan yang dilakukan oleh Ranggalawe itu sendiri. Ranggalawe pada awalnya hanya ingin menyampaikan apa yang menurutnya benar namun karena adanya tanggapan berupa tantangan dari Kebo Anabrang maka Ranggalawe menjadi tersulut amarahnya.
Akan tetapi, jika ditinjau dari sudut pandang yang lain Ranggalawe juga dinilai sebagai seorang pahlawan. Ranggalawe telah turut memberikan andil yang besar terhadap terbentuknya Kerajaan Majapahit. Ranggalawe juga merupakan tokoh yang dapat dijadikan sebagai suri tauladan dalam bersikap agar konsisten terhadap ucapannya, berani mati, tulus dan ikhlas di dunia, serta mengabdikan dirinya secara penuh kepada rajanya. Ranggalawe juga memiliki watak yang tegas dan berani untuk memperjuangkan apa yang menurutnya benar.
Kontroversi terkait status Ranggalawe yang dipandang dalam dua sudut pandang sekaligus yaitu sebagai seorang pahlawan ataupun pemberontak seharusnya tidak perlu untuk dijadikan perdebatan di kalangan masyarakat. Masyarakat sudah seharusnya mengkaji lebih lanjut mengenai penetapan status-status tersebut sehingga mereka tidak hanya mengikuti sudut pandang mayoritas. Perlawanan yang dilakukan Ranggalawe tidak hanya semata-mata untuk menentang Majapahit, melainkan ia berusaha untuk memperjuangkan apa yang menurutnya benar. Di balik perlawanan tersebut, Ranggalawe juga memiliki sikap-sikap yang mencerminkan nilai-nilai kepahlawanan dalam dirinya. Oleh sebab itu, Ranggalawe tidak bisa sepenuhnya dianggap sebagai seorang pemberontak.
Sumber : Wirawangsa, R. R., Wibisono, D. S., & Hadipranoto, D. H. 1979. Serat Ranggalawe: Babon Serat Basa Jawi Kina Tengahan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta Pusat, DKI Jakarta.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.