Hukum Jual-Beli Karena Terpaksa
Agama | 2024-11-28 11:19:06HUKUM JUAL-BELI KARENA TERPAKSA
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamau dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu” (Q.S. An-Nisaa’: 29)
Manusia tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya secara sendiri. Banyak barang atau jasa yang dibutuhkannya dimiliki oleh orang lain. Oleh karena itu, ia mesti berinteraksi dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Interaksi seseorang dengan pihak lainnya untuk melakukan tukar-menukar barang atau jasa, salah satunya adalah melalui akad jual-beli.
Menurut fikih muamalat, salah satu syarat sahnya jual-beli adalah adanya saling ridha (rela sama rela, suka sama suka) di antara kedua belah pihak, tanpa ada unsur keterpaksaan. Akan tetapi, ada kalanya kita terpaksa menjual barang dengan harga (sangat) murah karena terdesak oleh kebutuhan tertentu, misalnya membayar hutang yang jatuh tempo, membayar tunggakan uang sekolah, biaya berobat, dan kebutuhan mendesak lainnya.
Di sisi lain, terkadang kita juga terpaksa membeli barang tertentu walau sebenarnya kita tidak membutuhkan barang tersebut. Hal itu kita lakukan karena rasa iba atau kasihan. Misalnya saja, jika barang tersebut tidak kita beli, maka orang tersebut tidak mampu membayar hutang yang mengakibatkan rumahnya disita.
Namun, apakah juga termasuk terpaksa apabila penjual menurunkan harga karena rasa malu?
Milsanya, seseorang meminta dirunkan harga dengan cara merayu penjual di hadapan orang banyak sehingga penjual merasa malu, lalu menjualnya dengan harga yang diingikan pembeli, para ulama memasukkan jual-beli ini dalam kategori terpaksa. Berbeda halnya jika penjual menurunkan harga barang karena pembelinya masih ada hubungan kerabat, atau pembelinya orang miskin, maka hal itu diperbolehkan (jual-belinya sah). Dengan dalil bahwa bersedekah dengan keseluruhan harga barang dibolehkan, maka bersedekah dengan sebagian harga barang tentu dibolehkan.
Sebagaimana jual-beli yang terjadi antara Rasulullah SAW dan Jabir RA. Ketika nabi melihat unta Jabir yang berjalan lambat lalu beliau menawar untuk membelinya. Maka jawab Jabir, “Aku hadiahkan untukmu, wahai Rasulullah!”
Namun, nabi tetap menawarnya berulang kali, sehingga Jabir menjualnya dengan harga 1 Uqiyah (± 119 gr emas 24 karat). Akhirnya nabi membayarnya 1 Uqiyah + 1 Qirath (± 0,18 gr emas 24 karat). Dengan demikian, nabi melebihkan harga unta atas dasar iba kepada sahabatnya.
Dalam kasus lain, terkadang seseorang menghadapi keadaan sulit, dia terdesak butuh uang segera. Dan dia tidak mendapat pinjaman yang yang bebas dari riba. Ia harus menjual barangnya dengan harga murah di bawah harga pasar. Apakah boleh kita membelinya?
Para ulama berbeda pendapat tentang hal ini. Pendapat pertama, ulama dari mazhab Hanafi dan sebagian Hanbali menyatakan tidak sah jual-beli ini dengan dalil, “Nabi saw melarang penjualan orang yang terdesak” (HR Abu Daud). Akan tetapi, hadits tersebut dhaif karena di dalam sanadnya ada seorang perawi yang tidak dikenal.
Pendapat kedua, merupakan pendapat mayoritas ulama bahwa jual-beli ini sah karena pembeli turut meringankan beban penjual. Andai ia tidak membelinya dengan sesegera mungkin, tentu kesusahan penjual semakin lama untuk mendapatkan uang yang dia butuhkan.
“Bahwa tatkala Nabi saw mengusir Yahudi Bani Nadhir dari Madinah, belia menganjurkan mereka untuk menjual barang-barang agar tidak merepotkan dalam perjalanan” (HR Bukhari dan Muslim).
Jual-Beli Terpaksa yang Diperbolehkan
Pada dasarnya jual-beli karena terpaksa hukumnya tidak sah, namun dalam kondisi-kondisi tertentu, jual-beli karena terpaksa dibolehkan oleh syariat.
Di antaranya, seorang hakim yang terpaksa menjual sisa harta orang yang jatuh pailit untuk menutupi hutang-hutangnya, atau ia menjual barang agunan untuk menutupi hutang pemilik barang yang telah jatuh tempo.
Termasuk juga seseorang yang dipaksa untuk menjual tanah dan rumhanya karena terkena proyek pembangunan fasilitas umum, seperti jalan raya, masjid, rumah sakit, taman kota, stasiun kereta api, terminal bus, dll; dengan syarat pemerintah memberikan ganti-rugi secara adil (layak sesuai dengan harga pasar).
Hal ini didasarkan pada kebijakan Khalifah Umar bin Khattab yang menggusur rumah-rumah yang berada di sekitar Masjidil Haram dan memberikan ganti-rugi kepada mereka. Ada beberapa orang yang menolak penggusuran, maka Umar menggusur paksa dan meletakkan uang ganti-rugi di dalam Ka’bah. (Atsar ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi).
Kebijakan tersebut diikuti oleh khalifah setelahnya, Utsman bin Affan. Sebagaimana diriwayatkan oleh Azraqy (w. 223 H), di masa Khalifah Utsman jumlah kaum Muslimin yang berziarah ke Mekkah terus bertambah, maka beliau memperluas Masjidil Haram, beliau membeli rumah-rumah di sekitarnya. Sebagian orang enggan menjualnya. Lalu Utsman membongkar paksa rumah mereka, namun para pemilik rumah menghalanginya.
Maka Utsman memanggil mereka, seraya berkata, “Kalian berani menghadang kebijakanku karena tahu akan kesantunanku. Padahal, dahulu Umar membongkar rumah di sekitar Masjidil Haram dan tidak seorang pun menghadangnya”. Lalu Utsman memenjarakan mereka selama beberapa hari.
Kebijakan kedua orang khalifah tersebut tidak ditentang oleh para sahabat. Dengan demikian, hal ini bisa dianggap sebagai ijma’.
Berdasarkan keputusan Majma’ Al Fiqh Al Islami (Divisi fikih OKI) dengan Nomor Keputusan (29) 4/4 Tahun 1988, ada beberapa persyaratan yang wajib diperhatikan apabila akan melakukan jual-beli paksa, yaitu:
a) Pemilik tanah dan rumah yang digusur paksa harus mendapat ganti-rugi yang adil, yang ditentukan oleh pihak ketiga yang berpengalaman, dan harganya tidak boleh di bawah harga pasar serta dibayar sesegera mungkin;
b) Pihak yang menggusur adalah pemerintah daerah setempat atau instansi yang ditunjuk oleh pemerintah;
c) Tujuan penggusuran adalah untuk kepentingan umum yang sifatnya menyangkut kebutuhan mendesak untuk orang banyak;
d) Penggusuran bukan bertujuan untuk investasi pemerintah, apalagi investasi perorangan.
Referensi:
Dr. Erwandi Tarmizi, MA. 2021. Harta Haram Muamalat Kontemporer. Bogor: PT Berkat Mulia Insani
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.