Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Lima Belas Menit

Sastra | 2024-11-22 16:58:39
Sumber foto: Canva

Pagi itu, matahari masih malu-malu mengintip dari balik gedung sekolah tiga lantai yang menjulang. Embun menetes perlahan dari dedaunan pohon ketapang yang berjajar rapi di sepanjang area parkir, menciptakan titik-titik air yang berkilau keemasan saat tertimpa cahaya. Udara masih terasa sejuk dan bersih, belum terkontaminasi asap knalpot dari puluhan motor yang sebentar lagi akan memenuhi area parkir.

Deru motor-motor yang mulai berdatangan memecah keheningan pagi, berpadu dengan kicauan burung-burung gereja yang bertengger di ranting-ranting pohon. Satu per satu, siswa mulai memasuki area parkir, mencari tempat kosong di antara motor-motor yang sudah lebih dulu terparkir rapi. Suara tawa dan obrolan mereka menambah kehidupan di sudut sekolah yang biasanya sepi ini.

"Sudah hampir setahun kamu parkir motor di sebelahku, tapi belum pernah sekalipun berani menyapa."
Kalimat itu membuat Dani tersentak. Ia menoleh ke arah suara yang berasal dari samping kirinya. Di sana, Kayla berdiri sambil tersenyum, tas ransel birunya tersampir di bahu kanan. Blazer abu-abu seragam sekolahnya terlihat rapi, dengan badge OSIS yang berkilau tertimpa sinar matahari pagi.

"Eh... aku..." Dani tergagap, tangannya yang sedang memasang gembok motor mendadak gemetar.
"Padahal aku selalu sengaja datang jam 6:45 pagi, berharap bisa ngobrol denganmu sebelum bel masuk," lanjut Kayla. Matanya menatap lurus ke arah Dani yang masih membeku.

Angin pagi berembus lembut, membawa aroma embun dan dedaunan basah, berpadu dengan wangi roti bakar dari kantin yang mulai bersiap menyambut para siswa. Di kejauhan, terdengar suara tawa renyah beberapa siswa yang baru datang, bercampur dengan bunyi sepatu yang bergesekan dengan aspal basah area parkir.

Dani menelan ludah. Selama ini dia memang selalu mengatur waktu berangkat agar bisa tiba di sekolah pukul 6:45 pagi. Bukan karena dia anak rajin, tapi karena dia tahu Kayla selalu datang di jam itu. Namun setiap kali melihat gadis itu memarkir motor di sebelahnya, nyalinya selalu ciut.

"Aku... aku juga sebenarnya ingin menyapamu," akhirnya Dani memberanikan diri bicara. "Tapi aku takut..."
Jantung Dani berdegup kencang. Rasanya aneh mengakui hal yang selama ini dia pendam dalam-dalam. Setiap pagi, dia akan duduk di motornya lebih lama dari yang seharusnya, pura-pura sibuk dengan ponsel atau merapikan helm, hanya untuk mencuri pandang ke arah Kayla. Berapa kali dia telah merangkai kata-kata dalam kepalanya, membayangkan berbagai skenario untuk memulai pembicaraan, namun selalu berakhir dengan keheningan.

Di dalam benaknya berkecamuk ribuan pertanyaan yang selama ini menghantuinya setiap malam. Bagaimana jika Kayla sudah punya pacar? Bagaimana jika dia hanya dianggap sebagai stalker aneh yang kebetulan selalu parkir di sebelahnya? Atau lebih buruk lagi, bagaimana jika Kayla bahkan tidak pernah menyadari keberadaannya selama ini?
"Takut apa?" Kayla mengerutkan kening.
"Takut kamu akan menganggapku aneh. Atau mengabaikanku. Atau..."
"Dan sekarang?" potong Kayla. "Setelah aku yang menyapamu duluan, apa yang terjadi?"

Dalam sekejap, semua ketakutan yang selama ini membayangi Dani terasa begitu konyol. Bertahun-tahun dia membiarkan dirinya terpenjara dalam sangkar imajinasinya sendiri, menciptakan skenario-skenario terburuk yang ternyata tak pernah terjadi. Kenyataan di hadapannya jauh lebih indah dari semua kemungkinan yang pernah dia bayangkan.
Dani terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Tidak ada yang buruk terjadi."

"Exactly!" Kayla tertawa kecil. "Jika kamu tidak pernah mencoba, kamu tidak akan pernah tahu, kan?"
Di sekitar mereka, area parkir mulai dipenuhi siswa yang berdatangan. Suara motor, tawa, dan obrolan bercampur menjadi satu, menciptakan simfoni pagi yang familiar. Daun-daun pohon ketapang menari ditiup angin, menjatuhkan sisa-sisa embun yang menciptakan gerimis kecil di atas kepala mereka.

"Masih ada 15 menit sebelum bel masuk," ujar Kayla. "Mau sarapan bareng di kantin? Aku tahu kamu selalu beli nasi goreng Pak Rahmat tiap pagi."
Dani terperangah. "Kamu... memperhatikan itu juga?"
"Well," Kayla mengangkat bahunya sambil tersenyum, "jika kamu tidak mencoba memperhatikan, kamu tidak akan pernah tahu, kan?"

Mereka berjalan beriringan menuju kantin, meninggalkan parkiran yang mulai ramai. Aroma khas nasi goreng Pak Rahmat mulai tercium, bercampur dengan wangi kopi dan teh hangat yang mengepul dari kantin. Suara denting sendok dan piring yang beradu menambah semarak pagi itu, berpadu dengan obrolan siswa yang mulai memenuhi bangku-bangku kantin.

Di atas mereka, daun-daun bergoyang diterpa angin, seolah ikut tersenyum menyaksikan bagaimana lima belas menit bisa mengubah hampir setahun penantian. Matahari pagi kini bersinar lebih terang, menerangi halaman sekolah yang mulai dipenuhi siswa-siswa dengan seragam abu-abu dan putih mereka.

Sejak hari itu, parkiran sekolah bukan lagi sekadar tempat Dani memarkir motornya. Tempat itu telah menjadi saksi bagaimana sebuah keberanian untuk mencoba bisa membuka pintu kesempatan yang selama ini tersembunyi di balik ketakutan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image