Aku, Hujan, dan Sebuah Kejujuran yang Melukai
Sastra | 2025-12-08 13:19:49
Aku duduk termangu di ruang tamu, di ruangan yang dulu terasa hangat seperti genggamannya. Lampu kuning di sudut ruangan memantulkan bayangan memori yang tidak pernah berubah sejak dua tahun kami tinggal di sini. Hanya suasananya yang berbeda. Sepi, bahkan terlalu sepi untuk rumah yang katanya dibangun dengan cinta.
Malam itu, aku menunggunya pulang. Sudah seminggu ini ia selalu pulang terlambat, tetapi aku masih saja duduk sambil menatap pintu dengan harap. Seperti seseorang yang percaya pada kepastian yang sebenarnya sudah lapuk. Gelisah pun merambat ke relung hati, semakin diabaikan, mengapa semakin terasa.
Sesekali aku bertanya dalam hati, pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu. Apakah ia baik-baik saja?, Apa ia makan yang bergizi?, apakah pekerjaannya berjalan lancar?. Semua pertanyaan yang seharusnya tidak kutanyakan jika aku benar-benar jujur pada diriku sendiri.
Lalu hujan turun. Turun dengan cara yang membuatku merinding, seperti firasat buruk yang akhirnya menemukan bentuknya. Gemerincing air di jendela mengikuti detak jantungku, ritme yang sejak seminggu lalu tak pernah tenang.
Tidak lama, pintu akhirnya terbuka. Muncul sosok yang sudah seminggu ini kurindukan, dia masuk dengan langkah pelan seperti seseorang yang sedang berusaha menghindari suara. Jaketnya basah, tetapi bukan itu yang membuatku terpaku. Wajahnya tampak lelah, tetapi semacam bukan lelah yang kukenal.
Ada jarak besar dalam sorot matanya, jarak yang tak pernah kutemui sebelumnya.
Kami duduk berhadapan tanpa kata. Keheningan yang biasanya hangat kini berubah menjadi ruang asing yang menyesakkan. Rayuan manis, senyum kecil, atau sentuhan ringan di ujung jarinya. Semua itu terasa seperti kenangan yang ia simpan di tempat yang tidak lagi bisa kujangkau.
Geraknya aneh, terburu-buru sekaligus lagu. Seperti seseorang yang memikul banyak dosa.
Dan malam itu, aku menemukan rahasianya tanpa perlu foto mesra tersembunyi atau pesan manis dari nama yang tidak kukenal.
Hanya satu yang mengkhianatiku; sikapnya.
Akhirnya, ia menarik napas panjang. "Aku mau bicara," katanya pelan.
Aku menegakkan badan. "Tentang apa?"
Dia menunduk sebentar, lalu mengangkat wajahnya dengan keberanian yang terasa menyakitkan.
"Maaf," ucapnya. "Aku tidak sengaja jatuh cinta pada yang lain."
Kata-katanya memotong udara seperti bilah tipis. Tidak keras. Tidak meledak. Tetapi cukup untuk membuat dunia di sekelilingku runtuh dalam diam.
Aku menatap matanya lama, mencoba mencari sisa-sisa diriku yang dulu pernah ia simpan di sana. Tak kutemukan apa pun.
"Apakah aku kurang?" tanyaku. Suaraku yang ingin terdengar tegar justru bergetar.
Dia menggeleng terburu-buru. "Kamu tidak kurang. Kamu nyaris sempurna."
Dan di situlah semuanya benar-benar pecah. Karena jika aku nyaris sempurna, kenapa ia pergi. Kenapa hatinya berpaling pada seseorang yang bahkan tidak bisa kuadu atau kuukur.
Cinta macam apa itu.
Aku mencoba tersenyum, mencoba menjadi dewasa di tengah kepingan yang berserakan. "Terima kasih karena akhirnya jujur. Meskipun jujurmu datang setelah kau membagi hatimu tanpa restuku."
Ia terdiam. Tidak ada alasan yang ia ucapkan. Tidak ada pembelaan. Mungkin karena ia tahu apa pun yang ia katakan hanya akan memperparah luka.
Aku bangkit, melangkah menuju jendela. Hujan masih turun deras, memburamkan pemandangan halaman kecil yang dulu kami tanami bunga bersama. Di balik kaca, hujan tampak seperti tirai yang hendak menutup babak hidup yang sudah selesai.
"Pergilah," kataku akhirnya. "Bawa apa pun yang perlu kamu bawa. Sisanya biar aku yang bereskan."
Dia berdiri tanpa suara. Dan untuk pertama kalinya sejak malam itu dimulai, aku melihatnya benar-benar takut. Mungkin takut kehilangan. Mungkin takut melihat apa yang ia buat dari seseorang yang mencintainya.
Ketika pintu tertutup di belakangnya, aku menghela napas panjang. Rumah ini retak, tetapi aku tahu dinding-dindingnya bisa diperbaiki.
Dan aku pun bisa.
Malam itu, di tengah derasnya hujan, aku berjanji pada diriku sendiri. Aku akan membangun semuanya kembali dari awal. Tanpa siapa pun di dalamnya kecuali aku dan keutuhanku yang kini sedang kutata ulang, satu per satu.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
