Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image maulida hana

Kota yang Menyimpan Nama

Kisah | 2025-12-15 11:32:32

I. HARI KETIKA JAM BERHENTI

Jam besar di menara pusat Kota Lirena berhenti tepat pukul enam pagi.

Tidak ada suara letupan, tidak ada gempa, tidak ada tanda bencana. Jarum jam hanya berhenti, seolah waktu sendiri memutuskan untuk menarik napas dan lupa melanjutkannya. Penduduk yang terbiasa memulai hari dengan bunyi dentang ke-enam tidak menyadari apa-apa pada awalnya. Mereka tetap bangun, tetap berjalan, tetap berbicara. Hanya satu hal yang berbeda: nama-nama mulai menghilang.

Aruna adalah orang pertama yang menyadarinya.

Ia berdiri di depan kios roti milik tetangganya, berniat membeli sarapan sebelum berangkat ke arsip kota. Ketika penjual roti menyapanya, sapaan itu terasa aneh.

“Pagi eh—pagi,” kata si penjual, ragu.

“Kau lupa namaku?” tanya Aruna sambil tersenyum kecil.

Penjual itu mengernyit. “Bukan lupa. Aku seperti tidak pernah benar-benar tahu.”

Aruna menganggapnya lelucon pagi. Ia mengambil roti dan berjalan pergi. Namun beberapa langkah kemudian, ia mendengar percakapan lain.

“Bu, namaku siapa?” tanya seorang anak kecil pada ibunya.

Ibunya terdiam terlalu lama.

Aruna berhenti berjalan.

Di dinding pengumuman kota, papan nama mulai memudar. Tinta memucat, huruf menghilang satu per satu, seperti disapu tangan tak kasatmata. Nama jalan berubah menjadi garis kosong. Nama toko menjadi ruang putih.

Dan ketika Aruna melihat ke kartu identitasnya sendiri, ia merasakan dingin merayap dari tengkuk hingga tulang belakang.

Kolom “Nama” kosong.

Ia masih mengingat siapa dirinya. Ia masih tahu pikirannya, ingatannya, dan pekerjaannya. Namun dunia mulai bertindak seolah nama tidak lagi penting—atau tidak lagi ada.

Di menara pusat, jam tetap diam.

II. ARSIP YANG TIDAK MAU MELUPAKAN

Aruna bekerja di Arsip Lirena—bangunan batu tua yang menyimpan catatan kelahiran, kematian, perjanjian, dan sejarah kota sejak ratusan tahun lalu. Di sanalah ia merasa aman. Kertas-kertas tidak lupa. Tinta tidak berkhianat.

Atau setidaknya, begitu yang ia pikirkan.

Saat ia tiba, pintu arsip terbuka, tetapi penjaga yang biasa menyapanya hanya menatap kosong.

“Kau petugas baru?” tanya penjaga itu.

Aku sudah bekerja di sini tujuh tahun, batin Aruna.

Ia masuk tanpa menjawab. Di dalam, suasana lebih buruk. Rak-rak arsip masih penuh, tetapi judul-judul dokumen menghilang. Buku catatan berubah menjadi lembaran tanpa identitas. Nama raja, nama penulis, nama saksi—semuanya lenyap, menyisakan peristiwa tanpa pemilik.

Aruna berlari ke ruang terdalam, tempat dokumen terlarang disimpan. Di sana, ia menemukan satu buku yang tidak berubah.

Sampulnya hitam, tanpa judul. Namun ketika Aruna membukanya, halaman pertama bertuliskan jelas, tebal, dan tegas:

“SELAMA NAMA MASIH DIINGAT, KOTA INI AKAN BERDIRI.”

Jantung Aruna berdegup kencang.

Ia membalik halaman berikutnya dan membaca tentang legenda lama: Penjaga Nama—seseorang yang mengikat ingatan kolektif kota pada waktu. Jika Penjaga itu pergi atau dilupakan, waktu akan berhenti, dan nama-nama akan kembali ke asalnya: keheningan.

Aruna menelan ludah.

Legenda itu berakhir dengan kalimat pendek:

“Penjaga berikutnya akan datang dari arsip.”

III. LELAKI TANPA NAMA

Di luar arsip, kekacauan mulai muncul. Orang-orang tidak saling mengenal. Tanpa nama, hubungan menjadi rapuh. Pertengkaran kecil berubah besar. Kesalahpahaman menyebar.

Di tengah alun-alun, Aruna melihat seorang lelaki duduk tenang, tidak panik seperti yang lain. Pakaiannya sederhana, matanya tajam namun lelah.

“Kau tidak terlihat bingung,” kata Aruna.

Lelaki itu tersenyum tipis. “Karena aku sudah lama tanpa nama.”

“Apa maksudmu?”

“Aku datang ke kota ini bertahun-tahun lalu. Sejak saat itu, namaku perlahan menghilang. Aku kira itu hanya aku. Ternyata kota yang menyusul.”

Aruna duduk di sampingnya. “Apa kau tahu penyebabnya?”

Lelaki itu menatap menara jam. “Penjaga sebelumnya pergi.”

“Pergi ke mana?”

“Ke tempat semua nama berasal.”

Aruna merinding.

“Apa kau tahu bagaimana cara memperbaikinya?”

Lelaki itu menoleh. “Menjadi Penjaga bukan memperbaiki. Itu menggantikan.”

IV. JAM YANG MEMINTA TUMBAL

Malam turun tanpa perubahan cahaya. Waktu memang berhenti, tetapi gelap tetap datang—seperti kebiasaan yang lupa berhenti.

Aruna berdiri di dalam menara jam, di hadapan mesin raksasa yang sunyi. Di tengah mekanisme, terdapat rongga berbentuk dada manusia.

Lelaki tanpa nama berdiri di belakangnya.

“Jika kau masuk ke sana,” katanya pelan, “kau akan mengikat dirimu pada kota. Kau akan diingat selama kota ada. Namun kau tidak akan pernah benar-benar hidup bebas.”

Aruna mengepalkan tangan. “Dan jika aku tidak melakukannya?”

“Nama akan habis. Lirena akan menjadi tempat tanpa identitas. Orang-orang akan ada, tapi tidak pernah benar-benar menjadi siapa-siapa.”

Aruna memikirkan anak kecil di alun-alun. Ibu yang tidak tahu nama anaknya. Arsip yang kosong.

“Apa tidak ada pilihan lain?” tanyanya.

Lelaki itu menggeleng.

“Apa yang terjadi pada Penjaga sebelumnya?”

Ia tersenyum pahit. “Ia lelah diingat oleh semua orang, tetapi tidak benar-benar dikenal oleh siapa pun.”

Keheningan menyelimuti menara.

Aruna melangkah maju.

V. INGATAN YANG MENARIK KEMBALI

Saat Aruna menyentuh rongga mesin, banjir ingatan menyerbu. Ia melihat Lirena dibangun. Ia melihat perang, kelaparan, perayaan, kelahiran, dan kematian. Semua nama yang pernah ada mengalir melalui dirinya.

Ia ingin menarik tangan. Terlambat.

Mesin jam bergerak.

Dentang pertama menggema—keras, dalam, hidup.

Jam berjalan kembali.

Di luar, orang-orang tersentak. Nama kembali ke lidah mereka seperti doa yang lama tertahan. Papan nama muncul kembali. Identitas pulih.

Namun Aruna menghilang.

Atau setidaknya, tubuhnya menghilang.

VI. PENJAGA YANG TIDAK TERLIHAT

Aruna ada di mana-mana dan di mana pun. Ia merasakan langkah orang-orang, mendengar mereka menyebut nama satu sama lain. Ia tidak berjalan, tetapi hadir. Ia tidak berbicara, tetapi mengikat.

Lelaki tanpa nama berdiri di bawah menara jam, merasakan perubahan.

“Akhirnya,” gumamnya.

Ia merasakan sesuatu kembali ke dadanya.

Namanya.

Ia tersenyum, lalu pergi dari kota.

VII. TAHUN-TAHUN TANPA WAJAH

Tahun berlalu. Lirena makmur. Jam tidak pernah berhenti lagi. Nama menjadi hal sakral. Orang-orang menulis nama di batu, di buku, di lagu.

Namun sesekali, seseorang akan berhenti di tengah jalan dan merasa seolah dipeluk oleh sesuatu yang tidak terlihat.

Itu Aruna.

Ia menjaga.

VIII. BISIKAN RETAK

Seratus tahun kemudian, retakan kecil muncul.

Bukan pada jam, melainkan pada ingatan manusia.

Nama mulai digunakan sembarangan. Identitas dipalsukan. Janji dilanggar. Nama kehilangan makna, meski masih diucapkan.

Aruna merasakan beban bertambah.

Ia mulai melemah.

IX. GADIS YANG MENULIS TANPA NAMA

Di pinggir kota, seorang gadis kecil menulis di buku kosong.

Ia menulis tentang orang-orang tanpa menyebut nama, tetapi dengan kejujuran penuh. Ia menulis tentang tukang roti, penjaga gerbang, dan arsip tua.

Tulisan itu menguatkan ikatan.

Aruna merasakannya.

X. WARISAN

Gadis itu tumbuh. Suatu hari, ia berdiri di menara jam.

Ia memahami.

Aruna akhirnya bisa beristirahat.

XI. KETIKA NAMA DIJADIKAN SENJATA

Pada awalnya, tak ada yang menyadari perubahan itu sebagai ancaman.

Orang-orang masih saling memanggil nama. Jam di menara masih berdentang tepat waktu. Arsip kota kembali tertata. Namun sesuatu berubah di balik kebiasaan yang tampak normal.

Nama tidak lagi dipakai untuk mengenali—melainkan untuk menguasai.

Di Lirena, menyebut nama seseorang mulai terasa seperti memegang kendali. Pedagang memaksa perjanjian dengan menyebut nama pembeli keras-keras. Pejabat menyimpan daftar nama, bukan untuk melayani, tetapi untuk menekan. Nama menjadi alat, bukan pengingat akan keberadaan.

Aruna merasakannya.

Sebagai Penjaga, ia terhubung pada makna nama, bukan sekadar bunyinya. Setiap kali nama dipakai untuk menyakiti, ikatan di dalam menara jam bergetar halus—seperti retakan rambut pada kaca tua.

Ia ingin berteriak.

Namun Penjaga tidak memiliki suara.

XII. WANITA DENGAN DAFTAR HITAM

Namanya Seris Valen.

Ia adalah pejabat baru di Dewan Kota, cerdas, tenang, dan sangat terorganisir. Tidak ada yang tahu bagaimana ia bisa naik begitu cepat, tetapi semua tahu satu hal: ia selalu membawa buku kecil hitam ke mana pun ia pergi.

Di dalam buku itu, tertulis ratusan nama.

Setiap nama yang tertulis di sana, entah mengapa, mengalami kemunduran hidup. Usaha gagal. Hubungan rusak. Kepercayaan publik runtuh.

Seris tidak pernah mengancam secara langsung. Ia hanya berkata pelan, “Namamu tercatat.”

Dan orang-orang gemetar.

Aruna merasakan tekanan berat setiap kali nama baru ditulis di buku itu. Nama yang seharusnya menjadi pengikat berubah menjadi beban.

Untuk pertama kalinya sejak menjadi Penjaga, Aruna merasa takut.

XIII. PENJAGA TIDAK BOLEH CAMPUR TANGAN

Aturan Penjaga sederhana dan kejam: mengikat, bukan mengarahkan.

Aruna tidak boleh memilih siapa yang layak diingat atau tidak. Ia hanya memastikan bahwa nama tetap ada. Namun kini, nama digunakan untuk menghapus martabat, bukan ingatan.

Retakan di mekanisme jam membesar.

Setiap dentang terdengar sedikit lebih berat.

Jika ini berlanjut, waktu mungkin tidak akan berhenti—tetapi makna akan runtuh.

Dan ketika makna runtuh, nama akan kehilangan fungsinya.

XIV. ANAK ARSIP BARU

Di Arsip Lirena, seorang pemuda bekerja diam-diam.

Namanya Ishael.

Ia bukan sejarawan hebat, bukan pula jenius. Namun ia memiliki kebiasaan aneh: ia selalu menuliskan kisah seseorang dengan empati, bahkan terhadap mereka yang dibenci.

Ia menulis tentang pencuri dengan latar belakang kelaparan. Tentang pejabat dengan masa kecil yang sunyi. Tentang Seris Valen—bukan sebagai penjahat, tetapi sebagai seseorang yang sangat takut dilupakan.

Tulisan-tulisan Ishael menciptakan getaran lembut.

Aruna merasakannya.

Ada seseorang yang masih memahami makna nama.

XV. PERTEMUAN TANPA WUJUD

Suatu malam, saat Ishael tertidur di ruang arsip, ia bermimpi.

Dalam mimpi itu, ia berdiri di menara jam. Di depannya, cahaya samar berbentuk siluet manusia.

“Kau Penjaga?” tanya Ishael.

“Aku pernah manusia,” jawab suara itu.

“Kota ini sedang sakit,” kata Ishael.

“Aku tahu.”

“Nama digunakan untuk melukai.”

Keheningan panjang.

“Apa aku bisa membantu?” tanya Ishael.

Cahaya itu bergetar.

“Jika kau membantu, hidupmu tak akan lagi sederhana.”

Ishael mengangguk. “Nama tidak pernah sederhana.”

XVI. SERIS DAN KETAKUTAN TERBESARNYA

Seris Valen berdiri sendirian di ruang kerjanya.

Ia membuka buku hitam dan menatap halaman terakhir—kosong.

Tangannya gemetar.

Ia bukan haus kekuasaan. Ia haus keabadian.

Sebagai anak yatim tanpa silsilah, ia hidup dalam bayang-bayang. Tidak ada yang mengingatnya. Tidak ada yang menyebut namanya dengan hangat.

Buku itu adalah caranya memastikan bahwa namanya berarti sesuatu—meski lewat ketakutan.

Namun malam itu, untuk pertama kalinya, tinta di bukunya tidak mau menulis.

Nama yang ia tulis memudar.

Seris menjerit.

XVII. JAM BERDERAK

Menara jam bergetar hebat.

Aruna merasakan bagian dirinya terkelupas. Ia telah menjaga terlalu lama tanpa harapan perubahan. Namun kini, ada dua manusia—Seris dan Ishael—yang berdiri di dua sisi makna nama.

Jika ia tidak bertindak, semuanya akan runtuh.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah Lirena, Penjaga melanggar aturan.

Aruna memusatkan seluruh kesadarannya—bukan untuk mengikat, tetapi untuk memanggil.

XVIII. TIGA DI MENARA

Ishael terbangun di menara jam.

Seris berdiri di sisi lain, wajah pucat, buku hitam terjatuh.

Cahaya Aruna muncul di antara mereka.

“Kota ini tidak butuh nama yang ditakuti,” kata Aruna. “Dan tidak butuh ingatan yang naif.”

“Kota ini butuh kejujuran.”

Seris jatuh berlutut. “Aku hanya tidak ingin dilupakan.”

“Semua orang takut itu,” jawab Aruna lembut.

“Namun memaksa orang mengingatmu dengan luka hanya akan membuat namamu rapuh.”

XIX. PENGORBANAN BARU

Untuk memperbaiki retakan, harus ada perubahan dalam ikatan.

Aruna tidak bisa lagi menjadi Penjaga tunggal.

Ishael mengerti lebih dulu. “Penjaga harus dibagi.”

Seris menatap mereka. “Dan aku?”

“Jika kau mau,” kata Aruna, “kau bisa menjaga makna nama—bukan kekuasaannya.”

Seris menangis.

Ia mengangguk.

XX. JAM BERDENTANG TIGA KALI

Malam itu, jam berdentang tiga kali tambahan.

Satu untuk masa lalu. Satu untuk masa kini. Satu untuk masa depan.

Penjaga kini bukan satu, melainkan tiga kesadaran:

 

  • Aruna: ingatan
  • Ishael: empati
  • Seris: tanggung jawab

XXI. RETAK YANG TIDAK TERLIHAT

Perubahan tidak selalu datang dengan suara keras.

Kadang, ia datang dalam bentuk kebiasaan kecil yang terasa salah, tetapi terlalu sepele untuk diprotes.

Di Lirena, orang-orang mulai lupa bagaimana mereka mengenal satu sama lain. Mereka masih ingat nama, masih bisa menyebut wajah, tetapi tidak lagi mengingat perasaan pertama saat bertemu.

Persahabatan terasa datar. Keluarga berbicara tanpa kehangatan. Tawa ada, namun kosong.

Aruna merasakan itu lebih jelas daripada siapa pun.

Sebagai Penjaga Ingatan, ia merasakan ingatan manusia seperti benang-benang cahaya. Dahulu benang itu berwarna-warni, saling terikat dengan emosi. Kini, banyak yang berubah pucat—utuh, tetapi kehilangan makna.

“Ini bukan lupa,” bisik Aruna di menara jam. “Ini pengosongan.”

Jam berdentang lebih lambat dari biasanya.

XXII. TANDA DARI LUAR KOTA

Suatu pagi, penjaga gerbang barat menemukan sesuatu yang membuat darah mereka membeku.

Seorang pengembara berdiri di luar tembok.

Ia tidak meminta izin masuk. Tidak berteriak. Tidak mengetuk.

Ia hanya berdiri tanpa bayangan.

“Apa namamu?” tanya penjaga dengan suara gemetar.

Pengembara itu tersenyum tipis. “Aku tidak punya.”

Dan ketika ia melangkah maju, ingatan penjaga itu runtuh—ia lupa siapa dirinya, lupa keluarganya, lupa alasan ia berdiri di sana.

Ishael dipanggil ke gerbang.

Begitu melihat pengembara itu, dadanya terasa sesak.

“Dia bukan kosong,” gumam Ishael. “Dia sisa.”

XXIII. SISA-SISA AMBANG

Pengembara itu dibawa ke ruang pengamatan Dewan.

Seris Valen berdiri paling dekat, wajahnya tegang.

“Dia adalah akibat dari penutupan Ambang yang tidak sempurna,” kata Seris perlahan. “Fragmen manusia yang tertinggal di antara makna dan ketiadaan.”

Pengembara itu duduk tenang, seolah tak terganggu oleh tatapan curiga.

“Jika kalian punya nama,” katanya lembut, “kalian masih punya jangkar.”

Aruna muncul sebagai cahaya redup di ruangan itu.

“Apa yang kau inginkan?” tanya Aruna.

Pengembara menatapnya—tepat ke inti cahaya.

“Aku ingin pulang,” jawabnya. “Tapi rumahku sudah dilupakan.”

XXIV. KEBENARAN YANG TERTUNDA

Ishael membaca arsip lama—jauh lebih lama dari usia kota.

Ia menemukan catatan tentang Penjaga pertama, seorang wanita bernama Elmyra, yang gagal menutup Ambang sepenuhnya ratusan tahun lalu.

Beberapa manusia terseret, tidak mati, tidak hidup.

Mereka menjadi Sisa.

Dan kini mereka bangun.

“Jika Sisa mulai kembali,” kata Ishael pada Aruna, “berarti Ambang sedang membuka dirinya sendiri.”

Seris mengepalkan tangan. “Dan kali ini, bukan karena kelelahan manusia tapi karena ingatan mereka dimanipulasi.”

Semua terdiam.

Ada seseorang yang sengaja mengosongkan makna.

XXV. DEWAN BAYANGAN

Jawabannya datang terlambat.

Di bawah kota, di lorong-lorong tua yang sudah tidak tercatat, sebuah kelompok berkumpul.

Mereka menyebut diri mereka Dewan Bayangan.

Tujuan mereka sederhana dan mengerikan: menghapus rasa sakit dengan menghapus makna.

“Jika ingatan tidak lagi menyakitkan,” kata pemimpin mereka, “manusia akan damai.”

Mereka bukan jahat. Mereka lelah.

Dan justru itu yang membuat mereka berbahaya.

XXVI. MALAM SAAT NAMA DIPERDAGANGKAN

Dewan Bayangan mulai bekerja.

Nama-nama dijual. Ingatan disunting. Trauma dihapus—bersamaan dengan cinta, kehilangan, dan pelajaran hidup.

Orang-orang merasa “lebih baik”.

Namun kota mulai kehilangan arah.

Anak-anak tidak mengenali orang tua mereka dengan hati. Seniman kehilangan alasan berkarya. Prajurit bertarung tanpa tahu apa yang mereka lindungi.

Jam berdentang tidak teratur.

Aruna mulai melemah.

XXVII. ARUNA MULAI RETAK

Menjadi Penjaga berarti menyerap semua makna.

Dan kini, makna itu dikosongkan.

Aruna merasakan dirinya memudar—bukan hilang, tetapi terurai.

“Aku tidak bisa menjaga sesuatu yang terus ditolak,” katanya pada Ishael.

Ishael menatap cahaya Aruna yang berkedip. “Kalau kau pergi, kota ini runtuh.”

“Aku tahu.”

Seris berdiri diam cukup lama sebelum berkata, “Maka kita harus mengingatkan manusia dengan cara yang menyakitkan.”

XXVIII. KEPUTUSAN YANG TIDAK TERMAAFKAN

Rencana mereka kejam.

Untuk menyelamatkan makna, mereka harus membuat manusia merasakan kembali kehilangan.

Mereka membuka sebagian Ambang.

Tidak cukup besar untuk menghancurkan kota—cukup untuk membiarkan Sisa masuk dan menunjukkan apa yang terjadi ketika makna dihapus.

Ishael menentang. “Ini akan melukai banyak orang.”

Seris menjawab dengan suara bergetar, “Tanpa luka, mereka tidak akan bangun.”

Aruna diam.

Dan diamnya adalah persetujuan.

XXIX. KEMBALI NYA SISA

Malam itu, bayangan kembali bergerak sendiri.

Bukan menyerang—tetapi menunjukkan.

Orang-orang melihat versi diri mereka yang kehilangan segalanya. Kehidupan tanpa rasa. Tawa tanpa makna.

Jeritan memenuhi kota.

Banyak yang memohon agar ingatan mereka dikembalikan—bahkan yang menyakitkan.

Dewan Bayangan panik.

Mereka tidak menyangka manusia memilih sakit daripada kosong.

XXX. PENGKHIANATAN

Pemimpin Dewan Bayangan muncul di menara jam.

Ia adalah orang yang dikenal Ishael.

Mentornya.

“Kau mengajari aku menulis dengan empati,” kata Ishael gemetar. “Kenapa kau melakukan ini?”

Mentornya tersenyum lelah. “Karena empati juga melelahkan.”

Ia menusuk mekanisme jam.

Waktu berhenti.

Aruna berteriak—untuk pertama kalinya sejak menjadi Penjaga.

XXXI. HARGA DARI INGATAN

Untuk memulai waktu kembali, seseorang harus menjadi jangkar penuh.

Bukan penjaga.

Bukan penulis.

Bukan pengingat.

Seorang manusia utuh.

Ishael mengerti.

Ia melangkah maju.

“Jika makna butuh tubuh,” katanya, “pakai punyaku.”

Seris menjerit. “Tidak! Ini salahku!”

Namun sudah terlambat.

Jam berdentang.

Waktu bergerak.

Ishael tidak pernah kembali sepenuhnya.

XXXII. SETELAHNYA

Kota selamat.

Ambang menutup.

Dewan Bayangan bubar.

Namun Lirena tidak pernah sama.

Ada monumen kecil tanpa nama.

Aruna menjaga dari balik cahaya.

Seris mencatat sejarah dengan jujur.

Dan setiap kali seseorang memilih mengingat—meski itu menyakitkan— Ishael ada di sana.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image