Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Takumi Hachi

Di Antara Debu dan Doa

Sastra | 2025-11-21 14:25:24

Di sebuah sudut Gaza yang nyaris tak lagi bisa dikenali setelah berulang kali dihantam serangan, tinggal seorang pemuda Muslim bernama Yusuf. Ia dikenal oleh banyak orang bukan hanya sebagai pejuang yang berani, tetapi juga sebagai sosok yang lembut, sabar, dan selalu menjaga harapan meski dunia di sekelilingnya terus runtuh. Sejak kecil ia bercita-cita menjadi penjaga tanah airnya, bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk melindungi adik-adiknya, keluarganya, dan setiap orang yang berusaha bertahan hidup di tengah keterpurukan.

Di kamp pengungsian yang ramai tetapi sunyi oleh kesedihan, Yusuf selalu terlihat bersama sahabat karibnya, Ammar, seorang pemuda yang lebih tua dua tahun darinya. Ammar bukanlah pejuang bersenjata seperti Yusuf. Ia adalah relawan medis, bekerja di sebuah klinik darurat yang didirikan dari sisa-sisa bangunan sekolah yang pernah ia tempati saat kecil. Meski bidang mereka berbeda, keduanya berbagi sesuatu yang sama: hati yang tak pernah menyerah dan keyakinan bahwa persahabatan, sekecil apa pun, adalah salah satu alasan manusia tetap hidup.

Hari itu, angin membawa aroma debu dan asap. Langit kelabu, seakan sedang berkabung. Yusuf berjalan cepat menyusuri lorong-lorong reruntuhan dengan senapan di punggungnya, namun wajahnya memancarkan kelelahan yang tak sepenuhnya bisa ditutupinya.

Ketika ia tiba di klinik darurat, Ammar sedang merawat seorang anak kecil dengan luka di kakinya. Melihat Yusuf datang, ia mengangkat wajahnya.

“Akhirnya kau datang.” Ammar tersenyum, meski matanya merah karena kurang tidur.

“Aku hanya ingin memastikan semuanya aman sebelum aku ke sini,” jawab Yusuf, melepaskan helmnya. “Bagaimana keadaan di sini?”

“Lebih baik kalau kita punya sepuluh tangan tambahan,” jawab Ammar sambil tertawa singkat. “Tapi kita bertahan.”

Yusuf menatap ruangan sempit yang penuh dengan orang terluka. Ketika melihat seorang ibu memeluk anaknya yang menangis, ia menunduk sebentar. “Aku selalu merasa keberanianku tak sebanding dengan pekerjaanmu, Ammar. Kau menyembuhkan orang-orang. Aku hanya berperang.”

Ammar mendekatinya dan menepuk bahunya. “Saudaraku, perangmu bukan untuk membunuh. Kau melindungi mereka. Itu sama mulianya.”

Yusuf terdiam. Ia tahu kata-kata itu tulus, tetapi hatinya tetap dipenuhi rasa bersalah setiap kali melihat korban perang.

Malamnya, suara ledakan kembali terdengar. Yusuf dan kelompoknya mendapat tugas menjaga area utara yang kabarnya akan menjadi jalur evakuasi esok hari. Namun sebelum berangkat, Yusuf mendatangi Ammar yang sedang mencatat daftar obat yang hampir habis.

“Ammar.” Suaranya berat.

Ammar Menoleh. “Hmm?”

“Aku punya firasat buruk malam ini.”

Ammar tersenyum tipis. “Kau bilang begitu hampir setiap malam.”

“Tapi kali ini berbeda.”

Ammar mendekat, lalu memeluk sahabatnya erat-erat. “Kalau begitu, dengarkan aku. Jangan bertindak sendirian. Ingat apa pun yang terjadi, kau punya orang-orang yang mengandalkanmu, termasuk aku. Kita masih punya banyak hal yang ingin kita lakukan, bukan?”

Yusuf mengangguk lemah. “Benar.”

“Dan kita sudah berjanji,” lanjut Ammar, “bahwa setelah semua ini selesai, kita akan membangun tempat bermain untuk anak-anak kamp. Kau yang bangun ayunannya, aku yang mengurus pondok bacaan.”

Yusuf tersenyum kecil. “Janji itu yang membuatku tetap hidup.”

Mereka pun berpisah malam itu, tidak tahu bahwa malam tersebut akan mengubah segalanya.

Tepat setelah adzan Isya yang lirih terdengar dari masjid yang sudah setengah roboh, area utara Gaza diguncang serangan besar. Pasukan yang dipimpin Yusuf berusaha mengevakuasi warga, tetapi serangan balasan musuh begitu intens sehingga mereka harus berlindung di balik bangunan runtuh.

Dalam kecamuk itu, Yusuf mendengar teriakan seorang anak laki-laki yang terperangkap di bawah puing bangunan. Tanpa berpikir panjang, ia berlari keluar dari tempat perlindungannya.

“Yusuf! Jangan!” teriak teman-temannya, tetapi Yusuf tetap melanjutkan langkahnya.

Ia mengangkat bongkahan beton yang berat, sementara suara tembakan terus memekakkan telinga. Anak itu berhasil ditarik keluar, tapi saat Yusuf mendorongnya menuju tempat aman, sebuah ledakan terjadi sangat dekat.

Tubuh Yusuf terpental, dan dunia gelap seketika.

Di klinik darurat, Ammar sedang mengganti perban seorang pasien ketika dua pria datang membawa tubuh Yusuf yang tak sadarkan diri.

“Ammar! Kami menemukannya pasca-ledakan! Dia masih bernapas!” salah satu pria itu berteriak.

Ammar terhenti. Matanya terbelalak. Dunia seolah berhenti berputar.

Ia berlari mendekat, memeriksa denyut nadi Yusuf, lalu memerintahkan semua bantuan yang ada. “Letakkan dia di meja! Cepat!”

Tangan Ammar bergetar, tetapi ia memaksakan dirinya tetap profesional. Luka di perut Yusuf parah, terkena serpihan logam. Wajahnya pucat, nafasnya berat.

“Aku butuh lebih banyak cahaya!” teriak Ammar.

Sebuah lampu kecil dinyalakan. Ammar mulai mengeluarkan serpihan logam itu, berusaha menahan darah yang terus mengalir.

“Yusuf ” bisiknya lirih. “Jangan lakukan ini padaku ”

Detik demi detik terasa seperti jam. Ammar berjuang sekuat tenaga, keringat mengucur dari dahinya, namun matanya fokus, meskipun hatinya hampir runtuh.

Setelah lebih dari satu jam, akhirnya pendarahan berhenti. Ammar menarik napas panjang, hampir terjatuh karena kelelahan.

“Dia selamat,” katanya, suara seraknya penuh kelegaan. “Untuk saat ini.”

Tiga hari kemudian, Yusuf membuka matanya dengan kesulitan. Pandangannya kabur, tetapi ia melihat sosok yang duduk di sampingnya.

“Ammar ” katanya pelan.

Ammar langsung tersenyum, meski matanya sembab. “Akhirnya kau bangun. Sudah cukup membuatku takut.”

“Apakah semuanya baik-baik saja?”

Ammar menghela napas. “Evakuasi berhasil. Anak itu selamat karena kau.”

Yusuf menatap langit-langit tenda. “Aku tak bisa kembali bertempur setelah ini, bukan?”

Ammar tidak menjawab. Yusuf menoleh pelan.

“Ammar katakan yang jujur.”

Ammar menggenggam tangan sahabatnya. “Lukamu parah, Yusuf. Kau mungkin tidak akan bisa kembali ke garis depan.”

Yusuf menutup mata. Ada rasa sedih, tetapi juga sedikit lega.

“Kau masih berguna bagi Gaza,” lanjut Ammar cepat, seakan ingin menepis bayang-bayang keputusasaan. “Justru sekarang, kau bisa membantu orang-orang sebagai pendukung keamanan di kamp atau pengurus logistik. Kau tak kehilangan peran, Yusuf.”

Yusuf tersenyum tipis. “Kau selalu tahu bagaimana membuatku merasa berharga.”

“Aku sahabatmu.”

Hari demi hari berlalu. Yusuf pulih perlahan. Meskipun belum bisa berjalan jauh tanpa tongkat, ia membantu Ammar di klinik, terutama menjaga para pasien agar tetap tenang saat perawatan. Anak-anak sering mendekatinya karena ia pandai bercerita. Terkadang ia membuat mereka tertawa, sesuatu yang sangat langka di Gaza.

Suatu sore, ketika matahari mulai tenggelam, Yusuf dan Ammar duduk di atas tembok roboh menghadap langit jingga.

“Kau tahu,” kata Ammar, “aku selalu percaya bahwa Allah mempertemukan kita untuk saling melengkapi. Kau bertempur untuk melindungi, aku merawat untuk menyembuhkan.”

Yusuf tersenyum. “Dan bersama-sama kita tetap hidup.”

Ammar Mengangguk. “Benar.”

Hening sejenak. Hanya suara angin yang berbisik.

“Ammar,” panggil Yusuf pelan. “Kalau suatu hari aku pergi lebih dulu, kau harus tetap melanjutkan apa yang kita impikan. Bangun tempat bermain itu. Buat anak-anak tertawa lagi.”

Ammar menatapnya tajam. “Jangan bicara seperti itu.”

“Aku hanya ingin berjaga-jaga.”

Suaranya sangat lembut, tetapi sarat makna.

Ammar menarik napas panjang. “Kalau begitu, kau juga harus berjanji. Jika aku yang pergi lebih dulu kau harus melanjutkan pekerjaanku. Rawat orang-orang di Gaza dengan hatimu. Kau punya itu, Yusuf. Kau selalu punya itu.”

Yusuf terharu. Ia mengangguk perlahan. “Janji.”

Mereka pun saling menggenggam tangan, mengukuhkan persahabatan yang lebih kuat daripada runtuhan bangunan di sekeliling mereka, lebih kokoh daripada dentuman meriam mana pun.

Beberapa bulan kemudian, keadaan Gaza memburuk, tetapi klinik darurat mereka justru semakin ramai dengan pengungsi. Yusuf kini bergerak dengan lebih baik tanpa tongkat, meski tidak secepat dulu. Ia membantu menjaga keamanan sekitar klinik dan mengarahkan warga yang membutuhkan pertolongan.

Ammar bekerja tanpa henti, dan sering kali Yusuf harus memaksanya berhenti sebentar untuk makan atau tidur.

Suatu malam, setelah hari panjang penuh pasien, Yusuf menghampirinya dengan membawa secangkir teh.

“Ammar, kau perlu istirahat.”

“Sebentar lagi,” jawab Ammar, menandai daftar obat di tangan.

“Kau sudah berkata begitu sejak siang.”

Ammar menatapnya dan menyerah. “Baiklah sebentar saja.”

Mereka duduk bersama di luar tenda. Bulan purnama menggantung di langit, memberikan cahaya keperakan pada tanah yang berdebu.

“Yusuf,” kata Ammar tiba-tiba. “Terima kasih sudah bertahan waktu itu.”

Yusuf terdiam.

“Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan kalau kau tidak selamat.”

Yusuf menepuk bahunya. “Begitu pun aku. Kita adalah saudara, Ammar. Di dunia ini, aku tidak punya yang lebih dekat darimu.”

Ammar menunduk sebentar, lalu berkata, “Suatu hari kita akan melihat Gaza damai.”

“Aku percaya.”

Mereka memandang langit bersama, membiarkan kedamaian kecil itu meresap ke dalam hati mereka—kedamaian yang sangat jarang hadir.

Tahun berganti, tetapi persahabatan mereka tetap menjadi cahaya kecil di tengah kegelapan. Yusuf kini menjadi penjaga klinik tetap, sementara Ammar mendapat pelatihan medis lanjutan dari organisasi internasional.

Mereka menjalani hidup dengan tekad, membantu siapa pun yang membutuhkan, dan menjaga harapan tentang masa depan.

Dalam setiap langkah, setiap luka, setiap tawa kecil yang muncul di tengah nestapa, mereka selalu bersama. Tak peduli seberapa sering dunia runtuh, mereka selalu mampu berdiri lagi—karena mereka tidak pernah berjuang sendirian.

Dan di Gaza yang penuh debu, darah, dan doa, persahabatan seperti itulah yang membuat manusia tetap menjadi manusia.

Beberapa pekan setelah malam tenang itu, Gaza kembali diguncang serangan hebat. Namun kali ini, serangan itu menghantam sangat dekat dengan klinik darurat. Getaran keras membuat dinding tenda bergoyang, lampu-lampu gantung berayun liar, dan orang-orang berteriak ketakutan. Yusuf yang sedang menjaga pintu langsung bergerak melindungi para pengungsi yang berlarian.

“Ammar! Semua orang harus masuk ke ruang tengah! Dinding bagian selatan hampir roboh!” teriak Yusuf.

Ammar mengangguk, lalu membantu para ibu dan anak-anak bergerak cepat. Suaranya tetap lembut meski situasinya kacau, menenangkan mereka satu per satu.

Namun tak lama kemudian, sebuah dentuman besar mengguncang tanah. Sebagian tembok sekolah tua yang menjadi penyangga klinik ambruk, menimbulkan debu tebal. Di tengah kepanikan itu, suara tangis bayi terdengar dari puing-puing yang baru runtuh.

“Ada bayi di sana!” seru seorang wanita.

Yusuf hendak berlari, tetapi tubuhnya masih belum pulih sepenuhnya. Ia hampir jatuh ketika berusaha bergerak cepat.

Ammar menghentikannya. “Yusuf, luka lama mu biar aku.”

Tanpa menunggu jawaban, Ammar melompat ke arah tumpukan batu yang berbahaya. Yusuf menahan napas, menyaksikan sahabatnya menggali dengan tangan kosong. Debu membuatnya batuk, tetapi ia terus menggali dengan kekuatan yang bahkan Yusuf tak sangka ia miliki.

“Sedikit lagi sedikit lagi ” gumam Ammar.

Akhirnya, bayi itu ditemukan. Tangisnya menggema, tanda bahwa ia selamat. Ammar mengangkatnya tinggi-tinggi, matanya berkaca-kaca.

Namun saat ia berbalik, sebuah retakan besar terdengar di atasnya. Yusuf melihat plafon tua mulai runtuh.

“Ammar! Keluar sekarang!” teriak Yusuf sekuat tenaga.

Ammar mencoba berlari, tetapi tepat ketika ia melangkah, balok beton besar jatuh. Yusuf melompat, mencoba menahan atau menarik apa pun yang bisa ia capai, namun ia terlambat.

Debu mengepul, menelan sosok sahabatnya.

“Ammar!!”

Dunia seolah berhenti lagi—kali ini lebih menyakitkan daripada sebelumnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image