Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Atikah Fina Maziyyah

Gempuran Gaul dan Media Sosial: Akankah Bahasa Baku Bertahan?

Sastra | 2025-12-10 17:51:23

Gempuran bahasa gaul dan media sosial dalam beberapa saat terakhir menimbulkan pertanyaan penting: akankah bahasa Indonesia baku mampu bertahan? Di zaman globalisasi yang segalanya serba cepat, bahasa baku sering kali dianggap kaku, berjarak, atau bahkan kurang relevan dengan keseharian generasi muda. Sementara itu, bahasa gaul atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘slang’, tampak lebih luwes, ekspresif, dan sesuai dengan karakter generasi muda di media sosial yang menuntut kecepatan dan kedekatan emosional. Fenomena ini memunculkan kekhawatiran bahwa bahasa baku perlahan akan tergantikan dan hanya tersisa dalam dokumen formal.

Bahasa Baku melawan Bahasa Gaul?

Bahasa gaul sesungguhnya merupakan bentuk kreativitas linguistik yang selalu hadir dalam setiap generasi mengikuti perkembangan zaman. Di era media sosial, proses pembentukan dan penyebaran bahasa gaul menjadi lebih cepat karena terdapat banyak platform digital yang memudahkan individu berinteraksi dengan individu lainnya. Satu kata atau istilah baru yang muncul di suatu platform digital, dapat mendadak populer secara nasional atau bahkan internasional dengan bantuan dari media sosial. Hal itu lah yang membuat bahasa gaul semakin cepat tersebar.

Di sisi lain, bahasa baku memiliki fungsi krusial yang tidak akan pernah dan dapat digantikan oleh bahasa gaul. Dalam berbagai ranah—mulai dari pendidikan, hukum, jurnalistik, hingga akademik—kejelasan makna, ketepatan istilah, dan keseragaman kaidah menjadi unsur penting yang tidak dapat dinegosiasikan atau bersifat mutlak. Tanpa standar yang disepakati bersama, yaitu bahasa baku, komunikasi formal berpotensi menimbulkan kesalahpahaman hingga tingkat yang serius. Dengan itu, bahasa baku dapat menjamin bahwa pesan yang ingin disampaikan tidak menimbulkan multitafsir.

Masalah utama yang ditimbulkan bukanlah benturan antara bahasa gaul dan bahasa baku, melainkan ketidakmampuan sebagian masyarakat dalam membedakan konteks penggunaan keduanya. Pada kenyataannya, banyak pelajar dan mahasiswa terbiasa menulis dengan campuran bahasa gaul dalam tugas akademik. Hal ini menunjukkan bahwa literasi kebahasaan belum terbentuk secara kuat. Alih-alih melarang bahasa gaul, kemampuan alih kode—berganti dari bahasa gaul ke bahasa baku sesuatu situasi, tujuan, dan lawan bicara—memiliki tingkat urgensi yang tinggi saat ini.

Media sosial sejatinya dapat menjadi ruang produktif untuk memperkuat, bukan melemahkan, posisi bahasa baku. Banyak konten kreator hingga pendidik mulai memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan konten edukatif dengan bahasa Indonesia yang baik namun tetap komunikatif. Konten seperti ini menunjukkan bahwa bahasa baku tidak harus kaku. Namun, dapat disajikan juga secara hangat, inklusif, dan mudah dipahami tanpa menghilangkan kaidah. Selama kesadaran akan bahasa baku terus dipupuk, bahasa baku bukan hanya akan bertahan, tetapi juga hidup berdampingan secara dinamis dengan bahasa gaul dari era digital.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image