Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Fahmi Fadilah, S.H.

Double Track System dalam Hukum Pidana: Memahami Konsep dan Urgensinya

Hukum | 2025-12-08 11:44:15

Kepadatan lembaga pemasyarakatan sudah menjadi persoalan klasik di Indonesia. Banyak narapidana yang ditempatkan di ruang terbatas sehingga proses pembinaan tidak berjalan optimal. Situasi ini menimbulkan pertanyaan, apakah pemidanaan harus selalu mengarah pada penjara? Ataukah ada mekanisme alternatif yang lebih sesuai dengan kebutuhan kasus?

Foto: Pixabay (Ilustrasi palu hakim)

Salah satu pendekatan yang semakin relevan dibahas adalah double track system, yaitu sistem pemidanaan yang mengombinasikan pidana dan tindakan untuk menghasilkan putusan yang lebih proporsional.

Mengapa Double Track System Menjadi Penting?

Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan periode Januari 2024 sampai Mei 2025, jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan mencapai 122.037.746 orang, sementara kapasitas ideal hanya sekitar 64.130.032 orang. Tingkat hunian yang hampir dua kali lipat ini memperlihatkan bahwa penjara tidak selalu menjadi pilihan paling efektif dalam setiap perkara.

Double track system menjadi relevan karena menawarkan pendekatan yang lebih adaptif. Melalui sistem ini, pemidanaan tidak hanya bertujuan memberikan efek jera, tetapi juga mengarahkan pelaku ke proses rehabilitatif sesuai kebutuhan dan kondisi tertentu. Dengan demikian, pembinaan dapat berjalan lebih efektif dan manusiawi.

Apa Itu Double Track System?

Double track system merupakan sistem pemidanaan yang memungkinkan penerapan dua jalur sanksi sekaligus, yaitu pidana dan tindakan. Contohnya, seorang pelaku dapat dijatuhi pidana denda atau pidana pokok lainnya sekaligus tindakan berupa konseling, rehabilitasi, atau pelatihan kerja.

Prinsipnya adalah mempertimbangkan aspek pembalasan, pencegahan, dan perbaikan secara seimbang sehingga putusan yang dijatuhkan dapat memberikan manfaat bagi pelaku maupun masyarakat.

Perbedaan dengan Single Track System

Dalam single track system, hakim hanya menggunakan satu jenis sanksi, misalnya hanya pidana penjara atau hanya denda. Sistem ini lebih sederhana, tetapi kurang fleksibel untuk kasus tertentu.

Sementara itu, double track system memberi ruang yang lebih luas bagi hakim untuk menyesuaikan jenis sanksi berdasarkan karakteristik pelaku, tingkat kesalahan, dan dampak perbuatan. Meskipun membutuhkan regulasi pendukung, sistem ini dinilai lebih kontekstual dan responsif.

Dasar Hukum Double Track System

Konsep ini memiliki landasan hukum yang jelas dalam UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP, antara lain:

 

  • Pasal 103 ayat (1): Mengatur tindakan yang dapat dikenakan bersama pidana pokok, seperti konseling, rehabilitasi, pelatihan kerja, perawatan di lembaga, dan perbaikan akibat tindak pidana.
  • Pasal 103 ayat (3): Menegaskan bahwa jenis dan pelaksanaan tindakan ditetapkan oleh hakim dalam putusan.
  • Pasal 104: Mengharuskan hakim mempertimbangkan ketentuan Pasal 51-54 mengenai tujuan dan prinsip pemidanaan.

Subjek Hukum yang Dapat Dikenai Double Track System

Tidak semua pelaku tindak pidana dapat dikenai sistem dua jalur. Salah satu kelompok yang secara eksplisit diatur dalam Pasal 38 KUHP adalah penyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual. Bagi kelompok ini, pidana dapat dikurangi dan/atau diganti dengan tindakan yang lebih tepat secara medis dan sosial.

Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Double Track System

Dalam menerapkan sistem ini, hakim mempertimbangkan tiga aspek utama:

 

  1. Aspek yuridis, yaitu aturan hukum yang berlaku.
  2. Aspek filosofis, yakni tujuan pemidanaan untuk memberikan keadilan dan pembinaan.
  3. Aspek sosiologis, termasuk kondisi pelaku, masyarakat, serta dampak sosial perbuatan.

Pasal 104 KUHP menegaskan bahwa hakim wajib memperhatikan prinsip-prinsip dalam Pasal 51-54 sehingga putusan yang dijatuhkan tetap sesuai dengan tujuan pemidanaan dan nilai kemanusiaan.

Double track system menghadirkan pendekatan pemidanaan yang lebih fleksibel dan proporsional, terutama di tengah meningkatnya jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan. Dengan landasan hukum yang jelas dan penerapan yang tepat, sistem ini dapat menjadi langkah menuju pemidanaan yang lebih efektif, manusiawi, dan berorientasi pada pembinaan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image