Pejuang Gaza
Sastra | 2025-11-21 14:44:17
Di sebuah kota kecil di Palestina yang bernama Gaza, hiduplah dua anak laki-laki bernama Ali dan Umar. Mereka tinggal di daerah yang cukup sederhana, tidak banyak hiburan, tetapi anak-anak di sana selalu punya cara untuk bahagia, salah satunya dengan bermain bola. Setiap sore, mereka bermain bola di lapangan berdebu dekat masjid, ditemani angin sore dan tawa anak-anak lainnya. Hari itu mereka bermain seperti biasa. Setelah cukup lelah, mereka duduk di pinggir lapangan sambil minum air dari botol plastik yang mereka bawa. Saat itulah Umar mendongak ke langit.
“Ali, apaan?” sambil menunjuk ke atas.
Ali ikut melihat. Dua pesawat tempur besar melintas cepat di atas langit Gaza. Itu adalah F-16I Sufa dan F-15 Ra'am, pesawat milik angkatan udara Israel. Awalnya mereka hanya melihat, tetapi kemudian mereka merasakan buruknya. Dan benar saja—beberapa detik kemudian, terdengar suara ledakan besar.
"LEDAKAN!"
Tanah bergetar. Asap hitam membumbung tinggi. Anak-anak langsung berdiri panik.
"Cepat! Kita lihat kesana!" seru Ali.
Mereka semua berlari menuju arah ledakan, dan ketika sampai, mereka melihat sebuah apartemen rata dengan tanah. Puing-puing berserakan, orang-orang berteriak, dan debu memenuhi udara. Ali dan Umar hanya bisa menjawab, hati mereka kacau. Mereka tidak menyangka tempat tinggal mereka bisa hancur begitu saja. Sejak hari itu, sesuatu berubah dalam diri mereka. Mereka tahu bahwa hidup mereka tidak akan sama lagi.
Waktu berlalu. Ali, Umar, dan kawan-kawan mereka kini telah tumbuh menjadi pemuda. Mereka bukan lagi anak-anak yang bermain bola setiap sore. Kini mereka bergabung dengan kelompok pejuang lokal yang berusaha mempertahankan Gaza. Seragam mereka sederhana: baju hitam, rompi hijau, penutup kepala, dan senjata seperti AK-101 dan M4. Meskipun mereka sudah terlihat seperti pasukan bersenjata, hati mereka tetap anak-anak Gaza yang pernah takut melihat langit dibelah pesawat.
Suatu hari mereka mendapat tugas penting: merebut pangkalan yang dibangun Israel di wilayah utara. Perintah itu membuat mereka tegang sekaligus bersemangat. Malam itu, di bawah bulan yang redup, mereka menyiapkan tiga mortir yang diarahkan ke pangkalan tersebut. Angin malam terasa dingin, tapi tangan mereka tetap bekerja dengan cepat.
“Faisal, kau tembak yang pertama,” kata Ali.
Faisal mengangguk, dan tak lama kemudian—DUARRR! DUARRR! DUARRR!—mortir-mortir itu meluncur dan menghantam wilayah pangkalan. Alarm berbunyi. Lampu-lampu mati. Pasukan pejuang Gaza bergerak cepat memasuki wilayah pangkalan. Mereka saling memberi kode, menutup satu sama lain sambil masuk ke lorong-lorong pangkalan. Setelah beberapa jam pertempuran, akhirnya mereka berhasil menguasai pangkalan itu. Pasukan Israel yang berada di sana kabur dan meninggalkan posisi mereka.
Ali dan Umar berdiri di gerbang pangkalan, terengah-engah, tubuh penuh debu, tetapi hati mereka puas.
“Ini untuk Gaza,” kata Umar.
Sementara di tempat lain yang jauh dari Gaza, yaitu di kota Haifa, terdapat pangkalan militer angkatan laut Israel. Di sana seorang pemuda bernama David sedang melakukan latihan perang kota dengan unit elitnya. Ia dan kolektif memegang senapan Tavor X95 dan M4, lengkap dengan perlengkapan taktis. Tiba-tiba mereka dipanggil.
“Pangkalan di Gaza direbut. Kalian bersiap untuk merebutnya kembali.”
David mendengarnya dengan serius. Dia tahu tugas itu berat. Namun ia juga tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain.
Pagi itu, Ali, Umar, Faisal, dan Abdul duduk melingkar sambil minum kopi. Di tengah bekas pertempuran tadi malam, mereka mencoba menenangkan pikiran. Di kejauhan, pasukan David sudah mulai bergerak. Mereka tidak tahu bahwa seorang penembak jitu Palestina sudah berada di posisi tinggi dan siap menembak. Ketika pasukan Israel semakin dekat. Salah satu anggota David jatuh. David langsung memerintahkan semua orang berlindung. Pertempuran kembali pecah. Tembakan terdengar dari segala arah. Pasir berterbangan. Beton pecah. Situasinya benar-benar kacau. Ali dan Umar berada di sisi depan, menembak dari balik beton. Namun tiba-tiba Umar terjatuh. Peluru mengenai bahunya Ali berlari dan menarik Umar ke belakang tembok. Tangannya gemetar saat menekan luka Umar. Ia berdiri dan memimpin serangan balik. Mereka menggunakan jalur sempit di sisi gedung yang tidak terlihat oleh Israel. Ketika mereka muncul dari belakang, mereka melemparkan granat flash.
Beberapa detik kemudian, Faisal dan Abdul datang menghampiri mereka.
“Banyak yang jatuh, Ali,” kata Abdul. “Tapi kita tidak boleh mundur.
Ali mengucapkankan gigi.Kita bertahan. Ini tanah kita.”
Ia berdiri dan memimpin serangan balik. Mereka menggunakan jalur sempit di sisi gedung yang tidak terlihat oleh Israel. Ketika mereka muncul dari belakang, mereka melemparkan granat flash. Pasukan Israel panik. Formasi mereka berantakan.
“Sekarang!” seru Ali.
Para pejuang Gaza menyerang dari dua arah sekaligus. Pasukan Israel terdesak mundur. David mencoba mengatur ulang pasukannya, namun kondisinya sudah kacau dan tidak seimbang. David akhirnya masuk ke gedung pangkalan utama. Dari sisi lain, Ali juga masuk. Mereka bertemu di ruangan besar yang penuh asap dan redup.
Mereka saling mengarahkan senjata.
Tak ada yang berbicara selama beberapa detik. Hanya suara napas dan tembakan dari luar ruangan. Akhirnya David berkata, “Kau masih muda.Kenapa kau bertarung seperti ini?”
Ali menjawab, “Karena kalau bukan kami yang bertahan, siapa lagi? Ini rumah kami.”
David menjawab. Jawabannya jujur dan tidak bisa dibantah.
Ia tahu pasukannya kalah posisi. Ia juga tahu jika tetap maju, ia akan kehilangan lebih banyak orang. Akhirnya ia memilih mundur.
“Kita akan bertemu lagi,” katanya sambil berjalan ke arah keluar.
Ali menurunkan senjatanya sedikit. "Mungkin. Tapi hari ini Gaza bertahan."
Saat pertempuran berhenti, para pejuang Palestina berkumpul di halaman pangkalan. Beberapa terluka, beberapa kehilangan sahabat, tetapi mereka tetap berdiri. Mereka menang. Bukan kemenangan yang dirayakan dengan sorak-sorai, namun kemenangan yang menunjukkan bahwa mereka mampu bertahan. Matahari mulai terbenam di langit Gaza. Warna oranye keemasan menyapu kelompok yang mereka bantah. Suara angin berhembus lembut, membawa harapan kecil di tengah kehidupan yang keras.
Matahari mulai tenggelam di langit Gaza, meninggalkan warna oranye keemasan yang menyapu pangkalan baru yang mereka bantah. Para pejuang duduk beristirahat, sebagian dengan luka, sebagian kehilangan kawan, tetapi semuanya tetap tegak berdiri. Di antara mereka, Umar duduk bersandar di tembok, bahunya diperban. Meski wajahnya pucat, ia masih bisa tersenyum. Suara adzan Maghrib menggema dari masjid tua yang masih bertahan meski dindingnya penuh lubang. Suaranya terasa berbeda—lebih lembut dan menyentuh, seolah memeluk seluruh kota yang terluka. Para permulaan menoleh ke arah masjid itu, berdiri dalam ketenangan singkat. Ali tersenyum tipis. Saat ia berjalan melewati halaman pangkalan, ada sesuatu yang menarik perhatiannya: sebuah bola sepak tua, warnanya sudah pudar dan penuh debu. Entah milik siapa, tapi ia mengangkatnya perlahan.
Dan di bawah langit yang gelap, mereka kembali bersiap-siap bukan hanya sebagai pejuang, tetapi sebagai anak-anak Gaza yang tumbuh dalam badai, dan memilih untuk tetap berdiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
