Mimpi Pemberantasan Judol di Sistem Sekuler Kapitalis
Politik | 2024-11-19 18:54:11Oleh Erna Purwaningsih
(Aktivis Muslimah)
Polda Metro Jaya telah menangkap 16 orang terkait judi online (judol) yang melibatkan beberapa oknum pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) pada 3 November 2024. Mereka menyalahgunakan wewenangnya sebagai pegawai Kemkomdigi yang seharusnya memblokir situs-situs judi online, tapi malah meraup keuntungan dari situs online yang dipelihara alias tidak di blokir. Menurut salah seorang pelaku mereka mendapatkan keuntungan senilai Rp8,5 juta dari tiap situs. Kalo total ada 1000 situs maka mereka akan mendapatkan keuntungan sebesar 8.5 miliar per bulan sehingga bisa membayar pegawai sebagai operator dan admin Rp5 juta per bulan.
Menanggapi hal ini, Menkomdigi Meutya Hafid menyatakan pihaknya berkomitmen mendukung penuh arahan Presiden Prabowo Subianto untuk memberantas segala bentuk aktivitas ilegal, termasuk judol. Ia juga mengingatkan bahwa seluruh ASN di lingkungan Kemkomdigi telah menekan fakta integritas memerangi judol sehingga mereka diharapkan untuk mematuhinya. Ia juga mengapresiasi kinerja Polri yang bertindak cepat menangkap oknum-oknum pegawai di lingkungan Kemkomdigi yang terlibat judol. Menurutnya, penegakan hukum akan dilakukan secara tegas dan tanpa pandang bulu terhadap siapa pun yang terlibat.
Lingkaran Setan.
Berbagai pihak telah terlibat di dalam praktik kemaksiatan massal judol, baik masyarakat biasa maupun pejabat. Berdasarkan catatan PPATK (26-7-2024), ada 168 juta transaksi judol dengan total akumulasi perputaran dana mencapai Rp327 triliun sepanjang 2023. Secara total, akumulasi perputaran dana transaksi judol mencapai Rp517 triliun sejak 2017.
PPATK juga mencatat pemain judol di Indonesia sebanyak empat juta orang. Mereka tidak hanya berasal dari kalangan usia dewasa, tetapi juga anak-anak. Untuk pelaku dewasa, mereka berasal dari beragam latar belakang profesi, mulai dari polisi, tentara, wartawan, hingga PNS. Sedangkan untuk kalangan anak-anak, dalam kurun waktu 2017-2023, jumlah anak yang terpapar judol meningkat hingga 300%.
Menurut data demografi, pemain judol yang berusia dibawah 10 tahun mencapai 2% dari pemain, dengan jumlah 80.000 orang. Sebaran pemain usia 10-20 tahun sebanyak 11% atau kurang lebih 440.000 orang, kemudian usia 21-30 tahun sebanyak 13% atau 520.000 orang. Pemain usia 30-50 tahun sebesar 40% atau 1.640.000 orang dan usia di atas 50 tahun sebanyak 34% dengan jumlah 1.350.000 orang.
Semua ini menunjukkan bahwa judol bukan perkara remeh, melainkan jelas-jelas berbahaya, bahkan sifatnya sudah sistemis. Kasus judol tidak ubahnya lingkaran setan. Era digital yang menjanjikan beragam kemudahan teknologi dan informasi nyatanya bagai pisau bermata dua. Teknologi telah disalahgunakan oleh manusia akibat paradigma kehidupan serba bebas yang menganggap segala sesuatu serba boleh.
Pemerintah Lamban dan Sanksi Lemah.
Memang benar, dalam sistem yang tegak di Indonesia saat ini terdapat aturan hukum yang mengatur judi. Hal ini sebagaimana dalam KUHP Baru atau UU 1/2023 menurut ketentuan Pasal 426 ayat (1) bahwa pelaku judi dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun atau pidana denda paling banyak kategori VI (Rp2 miliar). Juga Pasal 427 bahwa orang yang menggunakan kesempatan main judi yang diadakan tanpa izin, dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak kategori III (Rp50 juta).
Adapun mengenai sanksi bagi pelaku judol secara spesifik diatur dalam UU ITE (UU 1/2024), yakni dalam Pasal 45 ayat (3) yang menerangkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat mudah diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan perjudian dipidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp10 miliar.
Hal ini diperparah oleh lambannya langkah pemerintah dalam memerangi judol. Pemerintah baru bergerak pada akhir masa jabatan Jokowi, yakni ketika persoalan itu sudah marak di masyarakat. Realitas ini memperlihatkan bahwa pemerintah kurang serius dalam menanggapi kasus judol. Tidak hanya itu, pemerintah sepertinya tidak memahami akar masalah judol.
Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Judi Online dibentuk Presiden Jokowi dengan menekan Keppres 21/2024 pada 14 Juni 2024. Satgas itu dipimpin oleh Menko Polhukam Hadi Tjahjanto. Selanjutnya pada era Presiden Prabowo, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menginstruksikan Kabareskrim Polri membentuk Satgas Penanggulangan Perjudian Online. Instruksi tersebut berlaku dari Mabes Polri hingga tingkat Polda untuk menangani segala bentuk praktik judol. Hal ini sebagai bagian program kerja Astacita ke-7 yang dicanangkan Presiden Prabowo, yaitu memperkuat reformasi politik hukum dan birokrasi serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi, perjudian, narkoba, dan penyelundupan.
Meski demikian, nyatanya sanksi dalam hukum positif di Indonesia saat ini tidak mampu membuat pelaku judi jera. Buktinya, judol yang sudah bergulir sejak beberapa tahun yang lalu tidak serta merta berhenti, padahal sudah menimbulkan kerusakan generasi dan ekonomi masyarakat dari berbagai kalangan.
Upaya presiden baru yang seolah-olah bergerak cepat memberantas judol tidak terlepas dari pencitraan dalam 100 hari pemerintahannya. Sebabnya, realitas judol tidak hanya terkait dengan kementerian ataupun pejabat tertentu, melainkan sudah menjadi kasus yang memiliki efek domino yang meluas.
Selain itu, dari klausa UU yang ada, tidak tampak frasa maupun kalimat yang memberikan indikasi sanksi yang tegas. Hukuman penjara jelas tidak memberikan efek jera. Para napi justru makin canggih berbuat kriminal karena “belajar” dari sesama napi saat di dalam bui. Tidak jarang, mantan napi malah makin jahat setelah keluar dari kurungan. Juga pidana berupa denda yang tentu saja bisa langsung selesai saat denda itu sudah dilunasi. Jika begini, bagaimana hendak menanggulangi judol secara tuntas?
Sistem Sekuler Kapitalis akar masalahnya.
Sungguh memalukan sekaligus memilukan ketika Indonesia yang merupakan salah satu negeri muslim terbesar di dunia menjadi “surga” bagi judol. Meski negeri ini muslim, sistem kehidupan yang diterapkan adalah sistem sekuler. Terungkapnya kasus-kasus judol menunjukkan betapa rusaknya sistem sekuler. Hal ini tentu saja berdampak pada rusaknya generasi muda, baik sebagai pelaku maupun penikmat judi.
Sekularisme yang merupakan asas sistem demokrasi kapitalis telah meniscayakan paradigma hidup rusak dan merusak. Selain menjerat masyarakat dalam lingkaran setan bernama judol, sekularisme juga terbukti merusak mereka akibat jauh dari syariat.
Lebih parahnya lagi, para pejabat yang semestinya menjadi pihak yang terdepan menanggulangi penyalahgunaan teknologi sebagaimana judol malah menjadi yang terdepan dalam menggunakan teknologi digital untuk kemaksiatan. Kecintaan mereka kepada harta benda telah membuat mereka gelap mata sehingga menghalalkan segala cara untuk memperoleh harta. Jika sudah begini, sungguh pemberantasan judol dalam sistem sekuler kapitalis adalah mimpi belaka.
Realitasnya, judi cepat sekali menimbulkan permusuhan atau kemarahan, bahkan tidak jarang menimbulkan tindak kriminal, seperti pembunuhan. Ini karena pelaku judi selalu berharap memperoleh kemenangan. Mereka tidak pernah jera berjudi selama masih mempunyai uang atau barang untuk dipertaruhkan di meja judi. Pada saat kehabisan uang atau barang, mereka akan berusaha untuk mengambil milik orang lain dengan jalan yang tidak sah. Pada akhirnya, hilanglah rasa persahabatan dan solidaritas sesama teman karena rasa dendam dan culas untuk saling mengalahkan dalam judi.
Judi juga memiliki dampak sosial dan ekonomi, yakni merusak ketahanan keluarga, seperti memicu perceraian akibat meningkatnya adiksi terhadap judol. BPS (2024) melaporkan bahwa tingginya angka perceraian akibat judol sudah terpantau sejak 2019. Pada 2019 terdapat 1.947 kasus perceraian karena judol. Angka tersebut sempat menurun pada 2020 (648 kasus), tetapi naik kembali secara signifikan pada 2023 menjadi 1.572 kasus perceraian.
Demikianlah bahaya judi dan hal ini sudah terbukti sejak dahulu sampai sekarang. Pada titik ini semestinya kembali terikat pada syariat adalah solusi pamungkas untuk memutus lingkaran setan judol. Sungguh, tidak ada solusi selain kembali kepada sistem Islam. Hanya Islam sajalah yang memiliki aturan tegas mengenai judol beserta cara menanggulanginya tanpa harus khawatir muncul orang-orang baru yang akan terlibat dalam kemaksiatan itu. Islam juga dengan tegas menyatakan bahwa judi (apa pun bentuknya) adalah transaksi haram. Begitu pula dengan harta hasil judi merupakan harta yang haram untuk dimiliki.
Allah Taala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS Al-Maidah [5]: 90—91).
Dalam ayat di atas Allah Taala memposisikan judi sebagai perbuatan setan, sedangkan setan hanya melakukan kejahatan dan keburukan. Islam juga memerintahkan kaum mukmin untuk menjauhi perbuatan judi, bahkan menjadikan tindakan menjauhinya sebagai keberuntungan.
Paradigma Islam
Jika ada yang berdalih bahwa judol adalah bagian dari mekanisme realisasi kebahagiaan, sejauh mana kebahagiaan melakukan judol? Tidakkah kebahagiaan yang mereka klaim itu akan segera berubah menjadi petaka ketika kalah dalam permainan judinya?
Oleh karena itu, paradigma mengenai standar kebahagiaan ini layak diganti seiring dengan keterikatan terhadap syariat Islam. Hal ini sekaligus sebagai konsekuensi atas akidah Islam yang mereka yakini. Untuk itu, hendaklah prioritas amal perbuatannya juga menurut ketentuan hukum syarak. Jangan sampai kita berakidah Islam, tetapi tidak mau terikat dengan aturan Islam. Allah Taala berfirman, “Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Maidah [5]: 47).
Pada saat yang sama, ada peran kontrol masyarakat untuk beramar makruf nahi mungkar ketika terjadi kemaksiatan di sekitar mereka, termasuk aktivitas judol. Sungguh, tingkat kritis umat adalah sebuah kemuliaan karena tidak mendiamkan kemaksiatan sebagaimana setan bisu. Abu Ali ad-Daqqaq an-Naisaburi asy-Syafi’i berkata, “Barang siapa yang berdiam diri dari (menyampaikan) kebenaran maka ia adalah ‘syaithan akhras’ (setan bisu berjenis manusia).” (Syarah Sahih Muslim).
Gurita judol bisa diberantas secara tuntas dengan menerapkan aturan Islam kaffah oleh negara (Khilafah). Dalam Khilafah tidak akan terdapat celah bagi transaksi-transaksi ekonomi yang diharamkan syariat, termasuk judi, apa pun bentuknya, baik online maupun offline. Ketika dikendalikan oleh ideologi kapitalisme sebagaimana saat ini, teknologi beralih fungsi menjadi alat penghancur pihak lain, di antaranya melalui konten-konten yang meracuni pemikiran masyarakat, termasuk judol.
Untuk itu, Khilafah akan menerapkan aturan tegas dalam rangka merevolusi konten digital yakni melalui pemanfaatan teknologi berbasis akidah Islam. Tanpa basis akidah Islam, teknologi bisa bersifat menghancurkan. Sebaliknya, umat Islam tanpa teknologi juga akan terbelakang.
Untuk itu, Khilafah berperan mengedukasi masyarakat melalui berbagai jenjang sistem pendidikan, baik formal maupun nonformal. Ini dalam rangka menghasilkan generasi yang berkepribadian Islam, paham syariat, dan senantiasa menyibukkan diri dengan ketaatan sehingga tidak terlintas pemikiran untuk mencari kebahagiaan melalui keharaman dan kemaksiatan.
Khilafah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi rakyat untuk bertransaksi ekonomi secara halal. Khilafah juga akan mengatur penggunaan teknologi digital agar tidak disalahgunakan untuk aktivitas keharaman, seperti judol.
Di samping itu, Khilafah menerapkan sistem sanksi bagi para pelaku judi, yang bersifat zawajir (mencegah) dan jawabir (penebus dosa). Sanksi tindak pidana perjudian dalam Islam adalah takzir, yakni hukuman atas tindak pidana yang sanksinya sepenuhnya ditentukan berdasarkan ijtihad khalifah. Wallahu’alam bissawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.