Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Cinthya Deswinta Nuryani

Menilik Sisi Gelap Inovasi Medis: Pelajaran dari Tragedi Kegagalan Teknologi

Teknologi | 2025-12-12 01:38:18

Di tengah pesatnya perkembangan inovasi dan teknologi kesehatan, kita kerap membayangkan sistem yang lebih canggih, lebih cepat, dan lebih akurat. Alat-alat cerdas dan sistem berbasis kecerdasan buatan (AI) digadang-gadang menjadi kunci dalam penurunan frekuensi kesalahan medis dan mempercepat penanganan pasien. Pencitraan medis, diagnosis tambahan, prediksi risiko penyakit, ekstraksi administrasi obat, manajemen rumah sakit, kesehatan, pengobatan berbantuan, dan bidang lainnya dengan cepat menggunakan kecerdasan buatan (Daka, R., & Jatusari, B. P., 2022). Namun, beberapa insiden yang tercatat dalam sejarah menunjukkan bahwa inovasi tak akan lepas dari risiko. Lantas, ketika kita menyerahkan begitu banyak keputusan penting pada mesin, benarkah kita memahami bahaya di balik ketergantungannya? Di sinilah kita menyadari bahwa kegagalan teknologi bukan hanya tentang kesalahan teknis, tetapi juga tentang nasib nyawa yang menjadi taruhannya.

Ilustrasi Penerapan Teknologi Kesehatan dan Medis (Sumber: Pinterest).

Pada awal tahun 1980-an, Therac-25 dikenalkan sebagai salah satu inovasi besar dalam dunia medis, yakni mesin terapi radiasi yang dikendalikan komputer. Therac-25 disambut optimis dengan klaim penyempurnaan dari unit sebelumnya: Therac-20. Namun dibalik reputasinya, Therac-25 pernah menjadi alasan dari tragedi kesalahan dalam perhitungan pemberian dosis radiasi yang tepat. Kesalahan perhitungan tersebut terletak pada adanya perbedaan saat memasukkan data berdasarkan urutannya (Suherman dkk., 2018). Alhasil, bug tersebut memungkinkan pemberian radiasi dengan dosis yang ekstrem tanpa disertai mekanisme pengendalian atau pengaman tambahan yang dapat mencegah pemberian dosis berlebih. Insiden tersebut mengakibatkan pasien mengalami cedera fatal hingga kasus meninggal dunia. Therac-25 adalah contoh nyata dari apa yang bisa salah dalam masyarakat yang sangat bergantung pada teknologi.

Seiring berjalannya waktu, dunia kesehatan kembali mengenal teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI) yang didesain sebagai terobosan dalam pengobatan kanker: Watson for Oncology (WFO). Menurut National Library of Medicine (2018), WFO dipuji sebagai penemuan AI bidang kedokteran yang luar biasa karena mampu memberikan rekomendasi pengobatan yang setara dengan rekomendasi pemberian ahli onkologi secara cepat kepada pasien kanker. Tetapi dalam beberapa evaluasi, WFO justru memberi rekomendasi yang tidak sesuai, bertentangan, atau cenderung membahayakan pasien. Hal ini terjadi karena WFO hanya ‘dilatih’ bekerja dalam data yang sempit, WFO hanya mengenali algoritma dan pola, bukan memahami manusia. Keterbatasannya dalam menangani kasus kompleks menjadi pengingat bahwa secanggih apa pun AI dalam dunia medis, tetap memerlukan pengawasan dan kehati-hatian sebelum diberi ruang untuk mengambil keputusan yang menyangkut nyawa.

Ada kalanya keputusan penting diserahkan kepada sistem yang belum sepenuhnya matang dan tanda bahayanya masih luput dari pengawasan manusia. Pada akhirnya, setiap insiden mendorong standar keamanan yang lebih ketat, regulasi yang lebih kuat, dan kesadaran bahwa AI bukanlah solusi instan. Justru melalui pemahaman inilah inovasi bisa berkembang ke arah yang lebih aman, penuh etika, dan bertanggung jawab. Kita bisa saja terpukau oleh kemutakhiran yang dijanjikan mesin, penuh ambisi menuju masa depan yang modern. Tetapi yang perlu digarisbawahi, nasib nyawa tetap bertumpu pada keputusan apa yang diambil. Karena masa depan kesehatan tidak hanya ditentukan oleh seberapa pintar mesinnya, tetapi juga seberapa bijak manusia mengendalikannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image