Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Sesal di Ujung Jalan

Sastra | 2024-11-11 19:45:59
Dokumen informasi.co.id

Hujan rintik-rintik di luar jendela apartemen seolah mengiringi suasana hati Dinda malam itu. Lampu kamar yang temaram menciptakan bayangan-bayangan samar di dinding, sementara dia menatap kosong layar ponselnya. Jemarinya yang bergetar di atas tombol "kirim" di aplikasi email terasa begitu berat, seakan-akan setiap gram dari beban keputusannya tertumpu di sana. Email resignasi itu sudah terbuka selama tiga jam, menunggu kepastian dari pemiliknya yang gamang.
Tetes-tetes air mata mengalir di pipinya yang pucat, jatuh membasahi layar ponsel yang berpendar dalam kegelapan. Di luar, deru kendaraan yang melintas sesekali memecah keheningan malam Jakarta, menciptakan harmoni dengan isakan tertahan yang lolos dari bibirnya. Pikirannya melayang pada kejadian di kantor siang tadi.

Ruang meeting lantai 21 yang biasanya terasa nyaman mendadak menjadi arena pertempuran batin. Cahaya matahari siang yang menerobos jendela-jendela tinggi seolah menyorot tajam ke arahnya, membuatnya merasa terpojok. Perkataan Reza, supervisornya, masih terngiang jelas, menggema dalam ruangan yang dipenuhi tatapan iba rekan-rekan kerjanya.

Lima tahun. Lima tahun yang terasa begitu panjang sekaligus begitu singkat. Dinda memandang ke luar jendela apartemennya, menatap gemerlap lampu kota yang berkerlip seperti bintang-bintang palsu. Lima tahun dia membangun karirnya di perusahaan konsultan manajemen ini, merangkak naik dari bawah, menghadapi tantangan demi tantangan. Namun enam bulan terakhir, sejak Reza menjadi supervisornya, atmosfer kantor berubah seperti musim penghujan yang tak kunjung usai – gelap, menekan, dan mencekik.

Kamar apartemen mungilnya yang biasanya terasa hangat kini seakan mendingin. AC yang berdengung pelan di sudut ruangan seolah menertawakan kebimbangannya. Di atas meja kerjanya yang berantakan, berserakan kertas-kertas proposal yang telah direvisi berkali-kali, masing-masing lembar menyimpan jejak air mata frustasi dan tinta merah koreksian yang menusuk mata.

Pagi menyingsing dengan kelabu. Awan mendung masih menggantung di langit Jakarta, menciptakan suasana sendu yang merefleksikan kondisi hati Dinda. Sinar matahari yang redup menerobos tirai jendela, menyinari wajahnya yang sembab setelah semalaman menangis. Notifikasi email masuk dari HR department berbunyi dingin, mengonfirmasi penerimaan surat pengunduran dirinya. Seketika, realita menghantamnya seperti air es yang disiramkan ke wajah.

Di apartemennya yang sunyi, Dinda duduk termenung di sofa usang kesayangannya. Aroma kopi yang mengepul dari cangkir di meja tak mampu mengusir kegelisahan yang menggerogoti pikirannya. Matanya menerawang ke arah figura-figura di dinding – foto-foto tim kantornya, momen-momen keberhasilan project, dan sertifikat-sertifikat prestasi yang kini seakan mengejek keputusan gegabahnya.

Senja mulai merambat ketika Dinda melangkahkan kaki ke ruangan direktur. Koridor kantor yang panjang terasa seperti lorong waktu, setiap langkahnya membawa kenangan-kenangan yang telah dia lewati di tempat ini. Sinar matahari sore yang keemasan menerobos kaca-kaca tinggi gedung, menciptakan bayangan-bayangan panjang yang seolah menuntunnya menuju takdir.

Di ruangan Pak Hendra yang elegan namun hangat, dengan pemandangan kota Jakarta yang terbentang dari jendela-jendela tinggi, Dinda merasakan kedamaian yang aneh. Aroma kayu dari meja kerja antik dan wangi samar pengharum ruangan menciptakan atmosfer yang menenangkan, berbeda dengan kegalauan yang berkecamuk dalam hatinya.

Setahun kemudian, ruangan yang sama kini terasa berbeda. Sinar matahari pagi yang hangat menerangi surat promosi di hadapannya, menciptakan kilauan harapan baru. Kali ini, dia duduk di sana bukan sebagai karyawan yang putus asa, melainkan sebagai calon pemimpin yang telah menempa dirinya melalui badai emosi.

Di mejanya yang baru, dengan pemandangan kota yang lebih luas dari lantai yang lebih tinggi, Dinda menempelkan sebuah note kecil. Di bawah cahaya lampu meja yang hangat, tulisan tangannya terlihat jelas: "Jangan pernah membuat keputusan yang permanen hanya untuk perasaan yang sementara waktu." Setiap kali mentari pagi menyinari note itu, dia diingatkan akan perjalanan hidupnya yang hampir berbelok ke arah yang salah.

Sore itu, saat matahari mulai tenggelam di horizon Jakarta, menciptakan semburat jingga yang memukau di antara gedung-gedung pencakar langit, Dinda berdiri di depan jendela kantornya yang baru. Gemerlap lampu kota mulai menyala satu per satu, seperti bintang-bintang yang menuntunnya pulang. Dalam hati, dia mensyukuri momen kelemahan yang tidak dia turuti setahun lalu, bersyukur atas kesempatan kedua yang mengajarkannya bahwa beberapa keputusan terbaik dalam hidup adalah ketika kita memilih untuk tidak mengambil keputusan besar saat emosi sedang memuncak.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image