Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image INGGI EKA MEI PUTRI

Pilih untuk Pulih

Sastra | 2025-03-09 00:32:25

"Beberapa orang datang ke dalam hidup kita bukan untuk tinggal selamanya, tetapi untuk mengajarkan sesuatu yang berarti."

----

Hidup bagi Arka adalah barisan kehilangan yang tak pernah berhenti mengetuk. Ia terbiasa melihat punggung orang-orang terdekatnya pergi tanpa janji kembali. Ayahnya berpulang saat Arka masih duduk di bangku SD, disusul ibunya yang menyerah pada penyakit mematikan tiga tahun lalu. Kini, hanya ada dirinya dan sepi yang menempel erat di setiap sudut rumah.

Di sekolah, Arka bukan siapa-siapa. Ia memilih diam, membiarkan dunia berjalan tanpa harus menyadari keberadaannya. Teman-teman sekelasnya sudah terbiasa dengan sosok Arka yang lebih sering berbicara lewat tatapan daripada kata-kata. Ia lebih suka menyendiri, larut dalam buku-buku yang selalu dibawanya kemanapun. Tak ada yang berani mendekatinya, seolah duka yang menyelimuti Arka adalah kutukan yang bisa menular.

Namun, semuanya berubah saat seorang gadis bernama Naya datang di awal semester. Naya berbeda, Naya adalah gadis dengan rambut sebahu dan mata cokelat cerah yang selalu tampak berbinar. Ia memiliki kebiasaan berbicara tanpa henti dan tersenyum pada siapa saja. Hari pertama Naya masuk kelas, ia langsung memperkenalkan diri dengan suara ceria yang kontras dengan suasana kelas yang dingin.

"Hai, aku Naya! Aku harap kita bisa berteman baik!" ucapnya penuh semangat.

Tatapan Naya berkeliling, lalu terhenti pada sosok Arka yang duduk di pojokan. Satu-satunya orang yang tak mengangkat kepala. Sejak hari itu, entah mengapa Naya seperti memiliki misi khusus untuk dekat dengan Arka. Setiap hari, Naya selalu menemukan cara untuk menyapa Arka. Kadang hanya dengan sekedar, "Selamat pagi!" atau "Buku apa yang kamu baca hari ini?" Meskipun jawaban Arka selalu sama.. antara diam atau gumaman singkat, Naya tak pernah menyerah.

Arka menganggap Naya adalah gadis paling berisik yang pernah ia temui. Tapi entah kenapa, ada sedikit kehangatan yang perlahan menyelinap ke dalam hatinya.

---

Hari-hari berlalu, kehadiran Naya mulai meretakkan tembok yang dibangun Arka. Gadis itu seperti matahari yang terus bersinar meski awan mendung mencoba menutupinya.

"Kenapa kamu selalu bersikeras mengganggu ku?" tanya Arka suatu sore, saat mereka sama-sama menunggu hujan reda di halte bus.

Naya menatapnya dengan senyum nakal. "Karena aku tahu, di balik semua dingin dan diam itu, ada seseorang yang ingin didengarkan. Dan aku ingin jadi orang pertama yang mendengarkan kamu."

Arka hanya diam. Ia hanya menunduk, membiarkan kata-kata Naya meresap dalam hatinya.

"Kenapa kamu selalu sendiri?" lanjut Naya bertanya dengan sedikit canggung. Arka terdiam. Pertanyaan itu terlalu asing baginya. Ia lupa kapan terakhir kali seseorang menaruh rasa ingin tahu tentang dirinya.

"Kadang, sendiri lebih baik ," jawabnya singkat.

"Sendiri itu melelahkan, Arka," Naya tersenyum tipis, tapi matanya memancarkan kelembutan yang membuat Arka sedikit gelisah. Gadis itu seolah tak pernah lelah menembus dinding yang ia bangun.

"Sendiri bukan berarti bahagia," ucap Naya lirih. "Kadang kita perlu seseorang untuk mengingatkan kalau dunia ini nggak seburuk yang kita kira."

Arka menatap ke arah hujan, seakan mencari jawaban di balik tirai air yang turun tanpa henti. Ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai goyah, meski ia berusaha keras untuk menyangkalnya.

"Aku nggak butuh orang lain," suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan.

Naya hanya terkekeh pelan, seakan jawaban itu sudah ia duga sejak awal.

"Kalau benar nggak butuh, kenapa kamu selalu membiarkan aku ada di sini?"

Arka tercekat. Kata-kata Naya melesat tepat ke sasaran. Selama ini, meskipun selalu bersikap dingin, ia tak pernah benar-benar menyuruh Naya pergi. Gadis itu selalu kembali, dengan senyum hangat dan tawa kecil yang entah bagaimana membuat dunia terasa sedikit lebih ringan.

Detik-detik berlalu dalam keheningan. Hanya suara hujan yang menemani mereka.

"Aku nggak tahu," jawab Arka akhirnya. Suaranya lebih lembut, nyaris seperti bisikan.

Naya menatapnya lekat, seolah membaca setiap retakan kecil yang perlahan muncul di balik sikap dinginnya.

"Mungkin kamu terlalu lelah, untuk mengakuinya."

Arka menghela nafas, kata-kata itu menelanjangi sesuatu yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Hujan mulai mereda, menyisakan rintik-rintik kecil di atas aspal. Naya bangkit dari bangku halte, menengadahkan wajah ke langit seolah menikmati sisa gerimis yang turun perlahan.

---

Tak terasa keduanya semakin dekat. Naya mulai terbiasa duduk di samping Arka tanpa bicara.

Entah mengapa, Arka pun mulai membuka dirinya sedikit demi sedikit. Ia mulai membuka cerita tentang dirinya, bercerita tentang ibunya yang meninggal tiga tahun yang lalu, tentang ayahnya, dan tentang rasa takutnya akan kehilangan orang-orang di sekitarnya.

"Mungkin... aku memang pembawa sial," bisik Arka di bawah langit senja. Naya menatapnya dalam. "Kalau kamu pembawa sial, kenapa aku masih di sini?" Arka menelan ludah, tak mampu menjawab.

---

Di balik semua keceriaannya, Naya menyimpan luka yang tak pernah ia bagi pada siapa pun. Setiap malam, ia menulis dalam buku hariannya tentang rasa lelah yang terus menghantuinya. Rumahnya bukan tempat yang nyaman. Setiap malam, ia berusaha menutup telinganya dari suara bentakan yang menggema di setiap sudut dinding. Pagi harinya, hanya ada sisa-sisa pertengkaran yang melayang di udara, meninggalkan keheningan yang menyiksa.

Naya terbiasa berpura-pura bahagia, seolah hidupnya baik-baik saja. Padahal, ada banyak hal yang ia sembunyikan. Ketidakpastian, kesepian, dan rasa lelah yang menggerogoti hatinya perlahan. Ia mendekati Arka bukan hanya karena penasaran, tapi karena ia ingin membuktikan sesuatu, bahwa sial yang menempel pada Arka mungkin bisa membawanya pergi dari dunia ini tanpa harus menyakiti dirinya sendiri.

Namun, semakin dekat ia dengan Arka, semakin besar keraguan itu tumbuh dalam hatinya.

---

Semua berubah di malam itu

Hujan deras mengguyur kota. Naya berdiri di tepi jembatan, menatap derasnya arus sungai di bawah. Di dalam hatinya, dunia sudah terlalu berat. Luka-luka yang ia pendam terlalu menyakitkan. Tidak ada yang tahu betapa ia ingin menyerah. Angin malam membuat tubuhnya menggigil, tapi pikirannya lebih kacau daripada rasa dingin yang menusuk kulit.

"Mungkin... kalau aku dekat dengan Arka cukup lama, aku juga akan pergi seperti yang lain," bisiknya pada angin malam.

Namun, saat ia mulai melangkah, suara yang familiar memecah kesunyian.

"Naya! Jangan..."

Arka datang, basah kuyup, wajahnya penuh rasa takut. Ia mendekat perlahan, seolah takut gadis itu akan jatuh kapan saja.

"Kenapa kamu bisa kesini?" suara Naya bergetar.

"Itu ga penting naya.. aku tahu gimana rasanya..." Arka menatapnya dengan mata yang basah. "Aku tahu gimana rasanya pengen nyerah. Tolong dengarin aku, kamu cuma butuh seseorang buat bilang, 'Jangan pergi'... jangan pergi, okee"

Air mata Naya tumpah. Ia jatuh terduduk di jalanan yang basah. Arka mendekat, menahan tubuh gadis itu agar tidak jatuh lebih jauh.

"Kalau kita nggak punya alasan buat bertahan... jadilah alasan untuk orang lain. Untuk kuu, misalnyaa.." Bisik Arka lirih.

Arka perlahan mendekat, menatap Naya dengan mata yang menyimpan luka yang sama. Hujan terus turun, membasahi tubuh mereka, seolah alam ikut menangisi perasaan yang tak terucap.

"Aku tahu rasanya capek, Naya... Aku tahu gimana rasanya ngerasa sendirian, bahkan di tengah banyak orang," suara Arka hampir tenggelam dalam gemuruh hujan.

Naya terdiam. Kata-kata Arka seperti menembus benteng yang selama ini ia bangun sendiri.

"Kalau kamu pergi, siapa yang bakal nemenin aku?" lanjut Arka.

Naya menunduk, menggigit bibirnya. Selama ini, ia selalu berpikir tak ada yang benar-benar peduli. Tapi Arka... Arka ada di sini. Arka menarik napas dalam, lalu dengan perlahan meraih tangan Naya yang dingin.

"Kalau kamu capek... kita istirahat bareng. Kalau kamu jatuh... aku temanin sampai kamu bisa bangkit lagi." Tegas Arka.

Air mata Naya jatuh tanpa bisa ditahan. Untuk pertama kalinya, seseorang memintanya bertahan bukan karena kasihan, tapi karena dia berarti.

"Mau pulang bareng?" suara Arka pelan, penuh harap. Naya tak langsung menjawab. Ia hanya menatap Arka, lalu mengangguk pelan.

---

Esok harinya, Naya tak lagi datang ke sekolah. Sudah satu minggu Arka mencari-carinya. Hingga tanpa sengaja, ia menemukan buku harian kecil berada pada laci meja tempat duduk Naya.

Dengan tangan gemetar, ia membuka halaman demi halaman. Isinya penuh tulisan tentang rasa sakit, ketakutan, dan rencana untuk pergi.

"Jika aku cukup dekat dengan Arka... mungkin aku juga akan pergi, seperti yang lain. Tanpa harus melukai diriku."

Mata Arka basah. Selama ini, Naya tak datang untuk menyelamatkannya... tapi untuk mencari cara agar dirinya sendiri bisa pergi.

Namun, di halaman terakhir, ada satu kalimat yang membuat Arka terdiam lama.

"Tapi Arka membuatku ragu... mungkin, aku masih ingin hidup."

---

Keesokan harinya, Naya kembali ke sekolah. Arka menatapnya dari jauh, hatinya penuh luka sekaligus harapan. Tanpa sepatah kata, ia menyerahkan buku harian itu. Naya menunduk, menahan napas. Ia menunggu dimarahi, atau mungkin dihakami oleh Arka. Namun yang ia dapatkan hanya suara datar yang lembut.

"Aku baca semuanya..."

Naya terdiam, takut menatap mata Arka.

"Tapi aku nggak marah. Kamu cuma manusia, Naya. Kita semua pernah nyerah, cuma caranya aja yang beda."

Naya menatap Arka dengan mata berkaca-kaca. Ia tidak menyangka, setelah semua yang ia rencanakan, Arka justru memaafkannya begitu saja.

"Kenapa kamu nggak benci aku?"

Arka tersenyum tipis. "Karena aku tahu, rasanya berat. Aku juga pernah ada di tempat itu. Aku sendiri nggak mau kehilangan kamu, maka dari itu kamu juga nggak boleh kehilangan diri kamu sendiri."

Air mata Naya jatuh tanpa suara. Untuk pertama kalinya, ia merasa diakui sebagai manusia biasa, bukan sosok yang harus kuat setiap saat.

---

Waktu terus berjalan. Meski luka tak pernah benar-benar sembuh, keduanya belajar bahwa hidup adalah tentang saling menguatkan, bukan saling menjatuhkan.

Namun, takdir kembali mempermainkan mereka. Naya harus pindah ke kota lain mengikuti ibunya yang akhirnya bercerai. Perpisahan itu menyesakkan, tetapi Arka percaya bahwa, cinta yang paling tulus adalah yang cinta yang mampu melepaskan.

Sore terakhir sebelum kepergiannya, mereka sempat bertemu di taman kota. Mata Naya sembab, menahan kata-kata yang ingin ia ucapkan. Arka hanya tersenyum tipis, seolah memahami semuanya tanpa perlu dijelaskan.

"Jaga dirimu, ya," kata Arka pelan.

Naya menggigit bibirnya, menahan gemuruh di dadanya. "Arka... kalau nanti kita ketemu lagi... kamu masih mau dengerin ocehan aku, kan?"

Arka terkekeh kecil, tapi suaranya terdengar berat. "Aku selalu siap dengerin ocehan kamu Nay."

Hening sejenak. Angin berhembus pelan. Naya memberanikan diri untuk memeluk Arka sebentar, itu adalah pelukan pertama dan terakhir mereka. Mereka berdua enggan melepas. Ada ribuan kata yang tak terucap dalam kehangatan itu, seolah pelukan itu adalah satu-satunya cara untuk menyampaikan perasaan yang tak pernah mereka ungkapkan.

Namun, suara klakson mobil tiba-tiba memecah keheningan. Ibu Naya menunggu tak jauh dari sana. Tanda bahwa perpisahan sebenarnya sudah tiba.

Perlahan, Naya melonggarkan pelukannya. Mata mereka saling menatap untuk terakhir kali, menyimpan semua yang tak mampu diucapkan.

"Jangan lupa, Nay... kamu harus terus bertahan," bisik Arka pelan.

Naya mengangguk, menahan sesak di dadanya. "Kamu juga... jangan terlalu lama sendiri, ya..."

Langkah Naya terasa berat saat ia mendekati mobil yang menunggu di tepi jalan. Tangan ibunya membuka pintu perlahan, seolah memberi waktu bagi Naya untuk benar-benar berpamitan. Sekali lagi, Naya menoleh ke arah Arka yang masih berdiri di taman kota dengan tatapan sendu.

Dengan langkah ragu, Naya masuk ke dalam mobil. Jendela diturunkan setengah, membiarkan angin dingin menyusup masuk. Arka mengangkat tangannya pelan, memberikan lambaian kecil, lambaian yang terasa lebih berat daripada kata perpisahan mana pun.

Saat mobil mulai melaju, Naya menempelkan dahinya di jendela, menatap hujan yang terus turun. Di genggamannya, ada secarik kertas kecil dari Arka yang baru saja ia baca.

"Kita nggak pernah benar-benar sendiri, Nay. Terima kasih sudah bertahan."

Dalam hatinya, Naya merangkai kata-kata terakhir tentang Arka, seseorang yang datang saat dunianya nyaris runtuh.

Air matanya jatuh perlahan, membasahi pipinya.

“Entah apa yang membuat Arka bisa setegar itu...” Ucap Naya sambil menarik napas panjang di dalam hati, mencoba meredakan gemuruh di dadanya.

“Mungkin aku tak akan pernah tahu. Tapi aku harap, di waktu yang tepat, ia bisa bertemu dengan sosok yang bisa selalu menemaninya. Terima kasih untuk segalanya, Arka...”. Ucap Naya didalam hati.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image