Menanti Fajar
Sastra | 2024-11-08 10:56:28
Rani menatap layar laptopnya yang mulai mengabur. Jam digital di sudut kanan bawah menunjukkan pukul 02:30 dini hari. Sudah lima jam ia berkutat dengan proposal bisnis yang harus dipresentasikan besok pagi. Segelas kopi yang sudah mendingin terabaikan di sampingnya.
"Ya Allah, berikanlah aku kekuatan," bisiknya pelan sambil mengusap wajah yang terasa kaku. Di usianya yang baru menginjak 27 tahun, Rani sudah menanggung beban yang tidak ringan. Sejak ayahnya meninggal tiga tahun lalu, ia menjadi tulang punggung keluarga, menghidupi ibu dan adiknya yang masih kuliah.
Pagi itu, dengan kantung mata yang menghitam, Rani melangkah mantap memasuki ruang meeting. Presentasinya berjalan lancar, tetapi keputusan final masih harus menunggu seminggu ke depan. "Kita akan pertimbangkan proposalmu, Rani. Tapi kamu tahu sendiri, persaingan bisnis sekarang sangat ketat," ucap Pak Hardiman, sang investor potensial.
Rani mengangguk sopan, meski hatinya mencelos. Ia sudah menghabiskan hampir seluruh tabungannya untuk memulai bisnis catering sehat ini. Sebuah mimpi yang ia rajut bersama mendiang ayahnya.
"Sabar ya, Nak," hibur ibunya malam itu saat Rani menceritakan hasil presentasinya. "Ibu yakin Allah punya rencana terbaik. Yang penting kamu sudah berusaha maksimal."
Seminggu berlalu seperti siput yang merayap. Rani terus berdoa, memohon yang terbaik. Setiap subuh, ia bangun untuk shalat tahajud, mencurahkan segala kegelisahan pada Sang Pencipta. Siang harinya ia sibuk menyempurnakan proposal dan mencari alternatif pendanaan lain.
"Kring!" Ponselnya berdering di hari Jumat yang cerah. Nomor tidak dikenal.
"Selamat siang, bisa bicara dengan Ibu Rani?"
"Ya, saya sendiri."
"Ini dari sekretariat Pak Hardiman. Beliau ingin bertemu Anda sore ini pukul 4. Bisa?"
Jantung Rani berdegup kencang. "Bisa, Bu. Saya akan datang."
Sepanjang perjalanan menuju kantor Pak Hardiman, Rani tak henti berzikir. "Ya Allah, kuatkan aku. Apapun hasilnya, aku yakin ini yang terbaik."
"Proposalmu menarik, Rani," Pak Hardiman membuka pembicaraan. "Tapi ada satu hal yang membuatku lebih tertarik: semangatmu. Kami sudah menyelidiki latar belakangmu, bagaimana kamu berjuang sejak ayahmu meninggal, bagaimana kamu tetap optimis meski situasi sulit."
Rani menahan nafas.
"Kami putuskan untuk mendanai proyekmu. Bahkan, kami ingin menawarkan kerjasama yang lebih besar dari proposal awalmu."
Air mata Rani menetes. Tiga tahun perjuangan, ratusan doa, dan ribuan langkah lelah akhirnya membuahkan hasil.
Enam bulan kemudian, "Healthy Bites by Rani" telah memiliki tiga cabang di Jakarta. Bisnis catering sehat yang dirintisnya kini mempekerjakan puluhan orang, termasuk beberapa ibu single parent yang ia prioritaskan dalam rekrutmen.
Suatu malam, Rani duduk di beranda rumahnya yang baru. Memandang langit bertabur bintang, ia teringat kata-kata ayahnya dulu: "Hidup ini adalah perjuangan, Nak. Tapi selama kita mau berusaha dan berdoa, Allah tidak akan pernah mengecewakan."
Rani tersenyum. Ya, hidup memang perjuangan. Tapi setiap tetes keringat, setiap air mata, setiap doa di sepertiga malam terakhir, semua itu patut untuk diperjuangkan. Karena pada akhirnya, kesabaran dan keikhlasan akan berbuah manis pada waktu yang tepat.
Di sampingnya, secangkir teh hangat mengepul, mengingatkannya pada perjalanan panjang yang telah ia lalui. Kini ia paham, kesempurnaan bukanlah tentang hasil akhir, melainkan tentang proses perjuangan yang membentuk dirinya menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijaksana.
"Terima kasih, Ya Allah," bisiknya pelan. "Terima kasih telah mengajarkanku arti kesabaran dan perjuangan."
Malam itu, Rani tidur dengan hati yang damai. Besok adalah hari baru, dengan tantangan baru, dan perjuangan baru. Tapi kini ia tahu: selama ada usaha, doa, dan kesabaran, tidak ada yang tidak mungkin.
Dan di atas segalanya, ia paham bahwa hidup ini akan selalu menjadi sebuah perjuangan yang indah, yang patut untuk terus diperjuangkan sampai akhir.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.