Sepi Sebelum Fajar
Sastra | 2024-11-01 20:00:18
Embun pagi menyelimuti rerumputan di halaman rumah sederhana. Cahaya remang-remang mendekap langit yang perlahan-lahan mulai merekah. Di balik jendela kecil yang berdebu, Marini duduk termenung. Tangannya yang kasar bertumpu pada pipi, matanya menerawang jauh menembus kabut tipis yang menyelimuti perkampungan.
Usia sudah menggerogoti tubuhnya. Tangan yang dulu lincah menenun kain, kini gemetar setiap kali menggenggam benang. Namun, di balik kerut-merut wajahnya, tersimpan kisah perjuangan yang tak terbendung.
Marini adalah perempuan desa yang telah melewati berbagai ujian hidup. Sejak suaminya meninggalkannya dengan tiga anak kecil di usia yang masih belia, ia telah berjuang sendirian. Tak ada yang mudah. Setiap pagi, ia bangun sebelum matahari terbit, menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya, kemudian bergegas ke sawah atau ke pasar untuk mencari nafkah.
Ia masih teringat dengan jelas momen-momen tersulit hidupnya. Dulu, ketika suaminya pergi bersama wanita lain, meninggalkannya dengan tanggungjawab mengasuh tiga anak di bawah umur, dunianya seakan runtuh. Tetangga berbisik-bisik, masyarakat mengucilkan, seakan-akan ia adalah aib yang harus disembunyikan.
Rasa sakit fisik dan batin selalu menemaninya. Sakit ketika punggungnya nyeri membawa karung beras, sakit ketika air mata mencucur di malam hari membayangkan masa depan anak-anaknya, sakit ketika tetangga berbisik-bisik tentang nasibnya. Namun, Marini tak pernah menyerah.
"Rasa sakit ini hanya sementara," bisiknya pada diri sendiri setiap kali keputusasaan hendak membenturnya.
Ia ingat betul malam-malam di mana ia harus menjahit pakaian bekas untuk tambahan penghasilan. Jarinya sering lecet, matanya pedih karena terpaksa menjahit sampai larut malam. Namun, setiap jahitan adalah doa, setiap tusukan benang adalah harapan untuk masa depan anak-anaknya.
Adi, anak pertamanya, pernah hampir putus sekolah karena keterbatasan biaya. Marini rela menjual sapi satu-satunya untuk membiayai pendidikannya. Siti, anak keduanya, harus berjuang keras mendapatkan beasiswa karena ia tahu beban biaya kuliah sangatlah berat. Sedangkan Roni, si bungsu, selalu mendapat prestasi di sekolahnya meskipun ia tahu betapa sederhana kehidupan keluarganya.
Kini, anak pertamanya telah menjadi guru di sekolah kecamatan. Adi tidak sekadar mengajar, ia juga membantu anak-anak dari keluarga kurang mampu, terinspirasi dari perjuangan ibunya. Siti kini sudah kuliah di kota dengan beasiswa yang didapatkannya melalui kerja keras. Ia bahkan sempat menjadi mahasiswi berprestasi dan kini bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat. Adapun Roni, si bungsu, telah duduk di bangku SMA dengan prestasi membanggakan.
Setiap tetes keringat, setiap air mata, setiap helaan napas perjuangannya kini membuahkan hasil. Bukan sekadar materi, melainkan martabat dan pendidikan yang ia berikan pada anak-anaknya.
Pagi ini, ketika embun mulai menguap dan cahaya matahari mulai merekah, Marini tersenyum. Ia teringat akan perjalanan hidupnya. Betapa sulitnya ia melawan ketidakadilan, kemiskinan, dan prasangka masyarakat. Betapa ia harus berkali-kali bangkit dari keterpurukan.
Filosofi hidupnya sederhana: Tidak ada perjuangan tanpa rasa sakit, tetapi percayalah bahwa rasa sakit itu hanya sementara, dan rasa bahagia akan terasa selamanya.
Kenangan akan masa-masa sulit tak lagi membuatnya gemetar. Kini, ia melihatnya sebagai batu ujian yang membangunnya menjadi perempuan tangguh. Setiap luka telah ia jahit dengan benang ketabahan, setiap air mata telah diubahnya menjadi kekuatan.
Ia teringat nasihat yang selalu diberikannya kepada anak-anak: "Hidup ini seperti menenun kain. Setiap benang yang kusut, setiap jahitan yang salah, bukanlah akhir dari segalanya. Kita harus terus memperbaiki, terus belajar, dan terus bergerak maju."
Di luar, ayam-ayam berkokok, pertanda hari mulai siang. Marini beranjak, menyiapkan secangkir teh untuk dirinya sendiri. Tangannya kini tidak gemetar lagi. Ia tersenyum, menyadari bahwa perjuangan tak pernah sia-sia.
Ketika anak-anaknya pulang nanti, mereka akan mendapati ibunya yang sama tegar. Perempuan yang telah mengajarkan mereka bahwa hidup bukan tentang menunggu badai berlalu, melainkan belajar menari di tengah hujan.
Marini percaya, rasa sakit adalah guru terbaik. Ia telah mengajarkan kesabaran, ketangguhan, dan kemampuan untuk terus melangkah maju. Dan kini, saat ia duduk menikmati tehnya, ia tahu bahwa kebahagiaan yang sejati datang dari dalam diri sendiri.
Fajar kini sepenuhnya merekah. Cahaya matahari menembus jendela, menyinari wajah seorang perempuan yang telah mengukir sejarah kecilnya sendiri. Marini tersenyum. Inilah hidupnya. Inilah perjuangannya.
Dalam keheningan pagi, ia berbisik pada dirinya sendiri, "Rasa sakit itu akan berlalu, tapi kenangan indah akan selamanya tertoreh dalam hati."
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.