Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Mentari di Ujung Gelap

Sastra | 2024-10-30 19:52:46
Dokumen Paritama

Malam itu hujan turun dengan deras, membasahi jalanan kota yang sepi. Di sebuah sudut gelap di pinggiran kota, duduk seorang pemuda bernama Ilham. Sudah berbulan-bulan ia berkutat dalam kesulitan yang terus menghimpit, sampai ia nyaris merasa tak sanggup lagi untuk bertahan.

Ia kehilangan pekerjaannya sejak perusahaan tempatnya bekerja bangkrut, sedangkan ekonomi keluarganya semakin terpuruk. Dengan segudang masalah yang seakan tak kunjung selesai, Ilham merasa seperti tenggelam dalam arus deras kehidupan yang hanya membawa keputusasaan. Meski begitu, ia selalu berusaha menyembunyikan semua ini di hadapan keluarganya, terutama di depan adik kecilnya, Sari.

Sari yang baru berusia sepuluh tahun tidak tahu seberapa keras perjuangan Ilham. Ia hanya tahu bahwa kakaknya selalu ada untuknya. Ilham adalah satu-satunya sosok yang menjadi tempat bergantung bagi Sari sejak mereka kehilangan orang tua dua tahun lalu. Karena itu, meskipun hatinya terasa sangat rapuh, Ilham terus berusaha bertahan demi adiknya.

Suatu hari, di tengah kegundahan, ia berjalan-jalan di taman yang sering ia kunjungi sewaktu kecil bersama ayahnya. Dalam hening malam itu, Ilham teringat kata-kata ayahnya yang selalu terpatri di benaknya: “Nak, hidup ini tidak selalu mudah. Terkadang kita harus melalui masa-masa gelap, tetapi jangan pernah menyerah, karena di ujung sana pasti akan ada cahaya.”

Kata-kata ayahnya terngiang dalam benaknya, memberikan sedikit harapan di tengah duka yang ia rasakan. Namun, Ilham tetap sulit menerima bahwa suatu hari semua akan menjadi lebih baik. Baginya, semua jalan terasa buntu, dan masa depannya hanya penuh dengan ketidakpastian.

Beberapa hari kemudian, Ilham memutuskan untuk mencari pekerjaan ke berbagai tempat, namun hasilnya nihil. Dalam kebingungannya, ia menemukan selebaran kecil di depan toko kelontong yang berbunyi, “Dibutuhkan pegawai untuk mengurus kebun sayur.” Meski pekerjaan itu sederhana, Ilham memutuskan untuk mencoba.

Setelah melalui serangkaian wawancara singkat, Ilham diterima bekerja di kebun tersebut. Setiap hari, ia menghabiskan waktu di tengah tanaman, mengurus sayur-sayuran yang tumbuh di sana. Awalnya ia merasa pekerjaan ini terlalu berat, karena setiap hari ia harus berjuang di bawah terik matahari. Namun seiring waktu, ia mulai menemukan ketenangan dalam merawat tanaman-tanaman itu.

Di sela-sela pekerjaannya, ia bertemu dengan seorang lelaki tua bernama Pak Haris, pemilik kebun yang selalu penuh semangat. Pak Haris selalu mengatakan bahwa tanaman membutuhkan kasih sayang agar bisa tumbuh dengan baik. Suatu hari, Pak Haris berkata padanya, “Ilham, dalam hidup ini, kita seperti menanam tanaman. Kadang ada badai yang datang, ada hama yang menyerang, tapi dengan kesabaran dan ketekunan, tanaman itu akan tetap tumbuh dan memberikan hasil.”

Ilham mendengarkan dengan seksama kata-kata Pak Haris. Ia menyadari bahwa setiap tanaman di kebun itu tidak tumbuh dengan mudah. Mereka menghadapi panas matahari, hujan, dan serangan hama, tetapi tetap tumbuh dengan kokoh dan berbuah pada waktunya. Kata-kata Pak Haris mulai membuka pikirannya bahwa dalam hidupnya yang terasa sulit ini, ada makna yang bisa ia temukan, hanya jika ia bersabar dan tidak menyerah.

Hari demi hari berlalu, Ilham mulai mengerti arti dari setiap usahanya. Walaupun gajinya tidak besar, ia merasa lebih tenang. Setiap kali ia melihat tanaman-tanaman itu tumbuh, ia merasa seakan menemukan dirinya sendiri yang sedang bangkit dari keterpurukan. Kehidupannya memang belum membaik sepenuhnya, tetapi ia mulai bisa menghadapi hari-harinya dengan lebih kuat dan penuh harapan.

Suatu malam, ketika ia pulang ke rumah, ia melihat Sari tertidur di atas meja dengan buku-buku yang berserakan. Melihat wajah adiknya yang polos, Ilham teringat akan tanggung jawab yang ia pikul. Dalam hatinya, ia bertekad untuk terus berjuang, bukan hanya demi dirinya, tetapi juga demi masa depan Sari.

Bulan demi bulan berlalu, dan hasil jerih payah Ilham mulai terlihat. Pak Haris yang melihat kerja keras Ilham, mulai mempercayakan kebun itu sepenuhnya padanya. Ilham yang dulu merasa tak berdaya kini menjadi sosok yang lebih kuat dan mandiri. Ia bahkan mulai merintis usaha kecil-kecilan dengan menjual hasil panen kebun itu ke pasar, yang perlahan-lahan mulai memberikan penghasilan tambahan.

Di tengah kesibukannya, Ilham tak pernah melupakan nasihat Pak Haris dan ayahnya, bahwa kesabaran adalah kunci untuk melewati segala duka. Ia mulai merasakan bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dalam bentuk besar. Terkadang kebahagiaan hadir dalam hal-hal kecil, seperti melihat tanaman yang subur atau melihat senyum Sari yang bahagia saat ia pulang membawa makanan yang lebih enak.
Dalam perjalanan ini, Ilham belajar bahwa duka dan suka adalah bagian dari kehidupan yang selalu datang silih berganti. Setiap kali ia merasa lelah, ia selalu ingat bahwa menyerah hanya akan membuatnya menjadi pecundang yang tak mampu memberikan masa depan baik untuk dirinya dan Sari. Dan kini, dalam setiap langkahnya, Ilham merasa lebih yakin bahwa hidup ini memang berat, tetapi selama ia tetap berjuang dan tidak menyerah, suatu hari cahaya kebahagiaan pasti akan datang.
Di penghujung malam yang tenang itu, Ilham menatap bintang-bintang di langit, tersenyum kecil sambil berbisik pelan pada dirinya sendiri, “Terima kasih, Ayah. Aku mengerti sekarang. Dalam duka, selalu ada suka. Aku tidak akan menyerah, karena di ujung sana, aku percaya ada kebahagiaan yang menanti.”
Ilham telah menemukan jawabannya sendiri, bahwa setiap duka yang ia rasakan adalah bagian dari perjalanan menuju kebahagiaan yang sejati. Ia tak lagi merasa takut pada gelap, sebab ia tahu, mentari akan selalu terbit di ujung malam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image