Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Adeummunasywah Adeummunasywah

Minyak Goreng Langka, Apakah Sawit tidak Berbuah?

Politik | Wednesday, 16 Feb 2022, 06:47 WIB

Minyak goreng langka, apakah sawit tidak berbuah?

Oleh : Heni Nuraeni

Sungguh sangat ironi sekali di tengah masyarakat membutuhkan minyak goreng justru tak mudah didapatkan.Padahal harga minyak goreng mahal, tetapi minyak goreng langka.Biasanya kelangkaan terjadi manakala harga minyak goreng murah. Sehingga menimbulkan Efek panic buying .akibatnya masyarakat berebut membeli dengan jumlah yang melebihi batas maksimal yang seharusnya 2 pouch per orang.

Lantas pada saat ini apa yang menyebabkan minyak goreng menjadi langka??? Padahal harga minyak goreng melambung tinggi. Dalam hal ini ada beberapa faktor penyebab mengapa minyak goreng menjadi mahal. Selama masa pandemi Covid-19, produksi CPO (Crude Palm Oil) ikut menurun drastis, selain itu arus logistik juga ikut terganggu. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Oke Nurwan menyebut turunnya pasokan minyak sawit dunia seiring dengan turunnya produksi sawit Malaysia sebagai salah satu penghasil terbesar (cnbcindonesia.com, 6/1/2022).

Faktor lain adanya dugaan praktek kartel yang dilakukan oleh antar pengusaha. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melihat ada sinyal kartel dibalik mahalnya harga minyak goreng belakangan ini. Kartel sendiri merujuk pada sekelompok produsen yang mendominasi pasar yang bekerja sama satu sama lain untuk meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menaikan harga, sehingga pada akhirnya konsumen yang dirugikan.

Komisioner KPPU Ukay Karyadi mengatakan, kartel tersebut terlihat dari kompaknya para produsen CPO dan minyak goreng yang menaikkan harga minyak goreng walaupun mereka masing-masing memiliki kebun sawit sendiri-sendiri. Dugaan kartel ini berkaitan dengan terintegrasinya produsen CPO yang juga memiliki pabrik minyak goreng. Menurutnya jika CPO-nya milik sendiri, harga minyak goreng tidak naik secara bersama-sama. Alhasil pasar industri minyak goreng di Indonesia cenderung mengarah ke struktur yang oligopoli (money.kompas.com, 20/1/2022).

suatu kewajaran praktik kecurangan yang terjadi adalah akibat dari minimnya pengawasan dari pusat. Akibatnya praktik-praktik curang terjadi. Entah sampai kapan kelangkaan dan panic buying ini berakhir. Meskipun faktanya minyak goreng mahal ataupun murah, namun masyarakat tetap tak bisa ditipu. Ada sebagian penjual yang mencari-cari celah dan kesempatan untuk tidak menyamakan harga yang ditetapkan pemerintah. Di samping juga pembeli yang panic buying sehingga stok minyak goreng menjadi langka tak mampu dihindari. Ditambah adanya kongkalingkong antar pengusaha, semakin menambah deretan masalah di tengah masyarakat.

Semua ini terjadi oleh karena penerapan sistem kapitalisme yang hanya mementingkan keuntungan ketimbang kemaslahatan rakyat. Di tengah himpitan ekonomi, rakyat seolah harus menanggung beratnya beban hidup. Sudahlah membeli mahal, barangnya langka pula. Bagaimana mungkin kelangkaan kebutuhan pokok dapat membuat rakyat hidup tenang? Sistemnya pun tak mampu menghentikan praktik kecurangan yang ada sebab berlandaskan pada sistem ekonomi neoliberal. Maka dalam kondisi ini jelas negara tak kan mampu mengatasi persoalan ini sebab masih bergantungnya negara pada korporasi (kapital).

Terlepas dari harga mahal dari produsen atau harga murah yang ditetapkan pemerintah ketika pengawasan negara berkurang, maka panic buying akan terus dialami masyarakat. Apalagi jika hal ini tak teratasi dengan segera, maka akan memunculkan ketidakpercayaan terhadap pemerintah menangani kelangkaan kebutuhan pokok. Padahal kebutuhan pokok dalam negeri merupakan hal yang wajib dipenuhi negara. Maka masalah ini harus dipecahkan dengan sistem yang sempurna yaitu sistem Islam yang berasal dari Zat yang Mahasempurna, Allah SWT.

Islam memandang bahwa minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi negara. Sejatinya Indonesia yang kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM)-nya yang melimpah sangat mampu memenuhi kebutuhan pokok ini tanpa harus bergantung pada korporasi asing. Sebab hal itu justru akan melemahkan wibawa negara di hadapan negara asing. Negara tidak memiliki kedaulatan penuh menentukan kebijakan pangan dengan mudah. Sebab saat ini ketergantungan pada korporasi asing seperti halnya harga minyak goreng mahal karena mengikuti harga pasar global sehingga tak ada cara lain selain mengikuti kebijakan ini.

Adapun kebijakan negara dengan menentukan harga murah harus diterapkan sama pada setiap penjual bukanlah kebijakan yang tepat. Karena hal itu sama dengan mematok harga. Padahal Islam melarangnya. Mematok harga termasuk perkara yang tidak sesuai dengan syariat Islam termasuk ketidakjujuran, penimbunan barang, yang semuanya itu akan berdampak besar memunculkan tindak kejahatan. Maka perlu dikenai sanksi yang serupa dengan kejahatan yang dilakukan. Hal itu dilakukan adalah untuk menjaga stabilitas harga di pasaran.

Jika negara Islam menemukan adanya ketidakseimbangan harga, maka ada lembaga pengendali atau lembaga pengontrol yang memiliki tugas untuk segera menyeimbangkannya yaitu dengan mendatangkan barang dari daerah lain. Sebab mengatasi kebutuhan pokok rakyat haruslah yang lebih diutamakan. Bukan dengan mematok harga ketika barang langka. Mematok harga hanya akan merugikan pedagang lain. Sebab kondisi pedagang memiliki modal yang tak sama.

Semestinya negara ini menentukan kebijakan yang menguntungkan rakyat. Pengadaan pasar murah di tengah kelangkaan barang dengan berpijak pada sistem kapitalisme tetap tak kan mampu atasi panic buying di masyarakat. Sebaliknya dengan berpijak pada sistem Islam melalui mekanisme pasar yang sesuai syariat akan mampu atasi kelangkaan barang. Pun otomatis sangat mampu atasi panic buying di masyarakat.

Wallahu a'lam bishshawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image