Kado Pahit Ramadan
Gaya Hidup | 2022-04-03 06:47:20Marhaban ya Ramadan. Telah datang bulan mulia, bulan yang diisi dengan berjuta kebaikan. Bulan yang diberkahi dari pagi hingga malam. Bulan yang dirindukan setiap insan.
Kado Pahit
Dalam menyambut sesuatu yang menggembirakan biasanya kita akan mempersiapkan dengan yang terbaik pula. Sayangnya, rakyat kini tak bisa sepenuh hati bergembira. Pasalnya menjelang Ramadan, rakyat disuguhi kado pahit yang membuat nyelekit.
Dilansir dari laman republika (1/4/2022), Tarif PPN naik menjadi 11% per 1 April 2022. Itu artinya, beberapa barang dan jasa semakin mahal karena mengalami penyesuaian harga. Tak hanya PPN, tarif pertamax pun ikut naik dari Rp 9000-an, menjadi Rp 12.500 per liternya.
Pihak pertamina menyebutkan mereka 'terpaksa' menaikkan harga karena naiknya harga minyak mentah dunia. Mereka pun menyampaikan bahwa kenaikan tarif ini sudah lama tidak dilakukan, padahal biasanya dilakukan penyesuaian per tiga bulan. Parahnya, kenaikan harga pertamax ini pun ditemani dengan kelangkaan pertalite. Pasokan pertalite di SPBU dibatasi menurut info di lapangan.
Setelah sebelumnya rakyat dibuat pusing dengan kelangkaan minyak goreng, kini bahan bakar yang terjangkau malah langka, yang tersedia naik tak terkira, PPN pun ikut naik. Kedepannya, gas LPG 3 kg yang akan naik. Dengan keadaan seperti ini, wajar jika para pencari nafkah menjerit, para ibu pusing, memikirkan bagaimana mencukupi kebutuhan sehari-hari jika kondisinya runyam begini. Pemasukan tak jua bertambah, sementara pengeluaran kian membengkak bak gajah.
Kacamata Bisnis
Dalam ilmu ekonomi bisnis kita diajarkan oleh sistem kapitalisme untuk mengeluarkan modal yang sekecilnya demi mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Tak hanya itu, ilmu bisnis juga mengajarkan untuk berstrategi canggih agar bisa menaikan omset. Tentu tetap dengan landasan bahwa modal yang dikeluarkan harus lebih kecil dari pendapatan.
Dengan kata lain, untung harus didapatkan. Walau itu sedang bertransaksi dengan rakyat sendiri. Inilah wajah ekonomi kapitalisme. Syarat akan kacamata bisnis, tak melihat bertransaksi dengan siapa. Meski rakyat harus megap-megap tak kuat, kapitalis akan melayangkan beribu alasan logis bisnisnya. Harus ada keuntungan yang bisa diambil dalam setiap transaksinya.
Kacamata Ri'ayah
Coba kita perhatikan para orangtua yang berjualan makanan. Kala anaknya lapar, apakah sang anak dipaksa oleh orangtuanya untuk membeli dagangan orangtuanya? Tentu tidak. Orangtua punya kewajiban memberi makan anaknya. Memang benar orangtuanya berjualan, tapi bagi anaknya, merekalah tempat sandaran, tempat berlindung.
Begitu pun dengan kacamata negara dan rakyat. Negara punya kewajiban dan tanggung jawab untuk memenuhi setiap kebutuhan rakyatnya. Kebutuhan pokok yang berupa sandang, pangan, dan papan bagi setiap insan harus dipenuhi. Bisa jadi rakyat tetap harus membelinya tapi dengan harga yang sangat terjangkau. Atau bisa jadi digratiskan.
Rugikah negara kalau begini? Jika dihitung dengan hitung-hitungan ala kapitalisme, ya ini rugi. Tapi, jika dihitung dengan kacamata Islam, ini bukan kerugian. Inilah yang seharusnya dilakukan negara. Lantas negara dapat untung darimana? Dalam islam, negara bukan mencari keuntungan. Negara tegak dengan tujuan meri'ayah (mengurusi) setiap insan. Ya, jiwa pengabdian yang diperlukan, bukan jiwa bisnis dengan nafas mencari untung.
Abdi Negara
Abdi negara atau pelayan umat adalah panggilan bagi para penguasa. Tugasnya bukan mencari celah demi celah demi mendapatkan laba. Melainkan mengabdi demi terpenuhinya setiap kebutuhan rakyatnya.
Dengan kacamata ini maka kita dapati penguasa yang justru hidup sederhana saat menjabat, sebagaimana Umar bin Khattab, Abu Ubaidah dan lainnya.
Dikisahkan suatu saat, Umar terlambat hadir untuk menyampaikan khutbah salat Jumat. Ketika hendak naik mimbar, Umar menyampaikan permohonan maaf atas keterlambatannya kepada para jemaah. Ia datang terlambat karena harus menjahit satu-satunya pakaian yang ia miliki. Pakaiannya bukan pakaian mahal, bahkan pakaiannya memiliki dua belas tambalan. Padahal, saat itu ia sudah menjabat sebagai khalifah, bisa saja ia membeli baju bagus yang baru, namun Umar memilih tetap memakai pakaian yang masih bisa ia pakai.
Begitulah amirul mukminin, tak berbeda dengan walinya, Abu Ubaidah. Abu Ubaidah bin Jarrah dikenal sebagai panglima pasukan muslim. Ia termasuk sepuluh sahabat yang dijanjikan surga. Saat masa kepemimpinan Umar bin Khattab, ia ditunjuk sebagai wali (gubernur) di Syam.
Seperti kita ketahui, Umar dikenal dengan inspeksinya yang tiba-tiba. Suatu saat, Umar datang ke Syam mengunjungi Abu Ubaidah yang menjabat sebagai wali. Saat ini mungkin akan kita bayangkan rumah yang megah, lengkap dengan perabotan mewah, juga para penjaga yang berjaga di depan rumah sang gubernur. Namun, pemandangan yang sangat jauh justru didapati Amirul Mukminin.
Tempat tinggal Abu Ubaidah sangat sederhana, tak ada satu perabotan pun di dalamnya. Melihat hal ini membuat Umar tak kuasa meneteskan air matanya. Sang panglima pasukan yang harum namanya kini hidup amat sederhana.
Potret Pemimpin
Beginilah potret pemimpin yang dilahirkan dari rahim penerapan islam. Mereka sukarela hidup sederhana, fokus terhadap pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Mereka ingat senantiasa bahwa hisab berat menanti di akhirat sana. Cukuplah sabda Rasulullah sebagai pengingat, "Ya Allah, barangsiapa yang diberi tanggung jawab untuk menangani urusan umatku, lalu ia mempersulit mereka, maka persulitlah hidupnya. Dan barangsiapa yang diberi tanggung jawab untuk mengurusi umatku, lalu ia memudahkan urusan mereka, maka mudahkanlah hidupnya.” (HR Muslim)
Tidakkah kita rindu akan pemimpin seperti Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah? Sudah saatnya kita kembali pada islam kaffah yang akan melahirkan para pemimpin seperti mereka nantinya, insyaallah.
Wallahua'lam bish shawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.