
Kepemimpinan Perempuan dalam Hukum Islam
Hukum | 2025-02-15 17:15:26Kesempurnaan manusia terletak pada kesempurnaan jiwa. Manusia yang sempurna adalah manusia yang memiliki kedekatan dengan Tuhan dan kesempurnaan ibadah menentukan kualitas kedekatan kepada Tuhannya. Dalam kesempurnaan tersebut tidak ada perbedaan antara pria dan wanita. Setiap manusia bertugas membuat dirinya mulia sehingga menjadi terdidik dan rendah hati termasuk menjadikan dirinya sebagai pemimpin. Seorang pemimpin harus memiliki kecakapan baik aspek intelektualitas maupun aspek integritas tanpa harus mendiskriminasikan jenis kelamin tertentu karena setiap manusia memiliki kesempatan yang sama dalam menduduki jabatan publik.

Salah satu penyebab perempuan terhambat menduduki jabatan publik adalah mengakarnya konstruksi sosial berbasis patriarki dan akumulasi kekesalan yang merupakan kerangka struktural dan ideologis dimana kaum perempuan masa kini harus dimengerti. Gerakan feminis di seluruh dunia tidak lain kecuali menantang kerangka ini bersama dengan pembagian kerja seksual dan internasional yang berjalinan dengannya.
Perempuan sebagai manusia pada umumnya memiliki kedudukan yang setara dengan laki-laki. Jika laki-laki memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin maka perempuan juga demikian. Hak aksesibilitas terhadap sektor ekonomi, sosial, politik, agama, dan budaya harus diberikan berimbang antara laki-laki dengan perempuan. Perempuan boleh menjadi pemimpin baik dalam konteks Kepala Daerah maupun Presiden yang terpenting memenuhi syarat, cakap dan memiliki kapasitas dalam menduduki jabatan tersebut.
Nasaruddin Umar di dalam bukunya Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an menyatakan bahwa dalam masyarakat industri, pola pembagian kerja belum banyak berbeda dengan masyarakat agraris. Status pekerjaan yang lebih tinggi dan kekuasaan politik masih didominasi oleh laki-laki sementara perempuan masih dominan di sektor pekerjaan yang berstatus lebih rendah dan akses untuk mendapatkan pengaruh politik tetap terbatas. Artinya dalam masyarakat industri, pembagian kerja secara seksual cenderung dipertahankan. Masyarakat industri mengacu kepada orientasi produktif. Perempuan dianggap the second class karena fungsi reproduksinya mereduksi fungsi produktivitasnya sehingga relasi jender masih lemah dan perempuan tetap dinomorduakan dalam pekerjaan dan jabatan publik. Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan bukan hanya semata-mata pembagian aktivitas yang mendeterminasi pola asosiasi, pergerakan dan penggunaan ruang akan tetapi pembagian kerja mengarah kepada menanamkan kualitas gender yang oposisional.
Dalam konteks politik, perlu adanya gerakan nilai setara yaitu gerakan yang memaksa masyarakat agar perempuan dipercaya dan didorong untuk menduduki jabatan-jabatan politis seperti Kepala Daerah, Menteri, Hakim atau Presiden berdasarkan bekal naluri kegiatannya sehari-hari di rumah. Ketika seorang perempuan menjadi pemimpin maka naluri mengasuh dan mengayominya sebagai ibu akan terpancar, pintar mengatur keuangan dan melindungi keluarganya (red: rakyatnya) dari kejahatan.
Output seorang pemimpin adalah kebijakan (legacy) yang dikeluarkan apakah pro rakyat atau tidak. Seorang perempuan memiliki kemampuan untuk mengeluarkan kebijakan sebagaimana laki-laki. Rakyat akan menilai pemimpin berdasarkan kebijakan (legacy) yang pro rakyat bukan berdasarkan jenis kelamin. Semakin kebijakan tersebut pro rakyat maka semakin besar dukungan terhadap pemimpin tersebut. Perempuan berhak memilih dan berhak untuk dipilih sebagaimana laki-laki. Dalam konteks pemilihan umum, peran perempuan diharapkan dapat memberi warna dalam kemajuan realitas politik tanah air, bukan malah membungkamnya. Kurangnya akses perempuan terhadap jabatan publik karena konsep-konsep propaganda yang bertubi-tubi diarahkan kepada perempuan seperti peran ganda wanita karier atau kemitraan sejajar antara wanita dan pria. Perempuan didefinisikan dan dibebani identitas sebagai seorang wanita karier yang tidak lupa pada kodratnya sebagai ibu dan istri yang rela melayani suami tanpa berpamrih atau menuntut jatah kekuasaan. Sosok perempuan dalam wacana wanita karier yang menduduki jabatan publik belum dapat terlepas dari narsistik sepenuhnya dan membebaskan dari konstruksi femininitasnya.
Perempuan berkewajiban untuk berpartisipasi membangun peradaban bangsa melalui skil dan kemampuan yang dimilikinya. Produktivitas dan naluri kepemimpinannya wajib disalurkan demi kebaikan bersama. Sentimen seksis harus dikesampingkan dengan berpikir objektif dan rasional semata-mata memberikan peluang bagi perempuan untuk terus mengabdi dan berkarya. Terbatasnya partisipasi perempuan dalam politik berhubungan dengan pembagian kerja. Politik yang dianggap sebagai ranah publik dengan demikian adalah dunia laki-laki yang memiliki posisi istimewa dihadapan subjek eksternal. Selain itu, penyebab perempuan hanya bekerja di ranah domestik rumah tangga karena perempuan terlalu asyik menjaga kecantikan tubuhnya, menjaga berat badan dan penampilannya sehingga lupa untuk bersaing merebut jabatan-jabatan yang berskala lebih luas. Padahal menurut Naomi Wolf kecantikan itu menindas perempuan itu sendiri, cantik itu adalah kelukaan dan penampilan perempuan menjadi sumber komersialisasi bagi laki-laki. Dan agar perempuan menjadi pribadi yang bebas dan merdeka maka perempuan harus memiliki definisi positif tentang seksualitas sehingga mitos kecantikan menjadi hal yang netral bagi perempuan.
Persoalan pemimpin perempuan adalah persoalan moral pemberdayaan. Moral ini bertujuan untuk kebaikan perempuan namun bukan pula untuk menyingkirkan posisi laki-laki dalam konteks jabatan publik. Perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk menduduki jabatan pimpinan. Bio-kekuasaan yang dijustifikasi oleh sebuah hukum akan mengalami reaksi dari berbagai kelompok gender. Batasan-batasan gender dalam menduduki kekuasaan sebagai bentuk distribusi kegunaan bukan distribusi jenis kelamin. Moral pemberdayaan ini dapat mengindari perempuan dari fitnah keji ketika wacana pemimpin perempuan menjadi perbincangan ramai di tengah masyarakat patriarki.
Pemahaman mapan tentang seorang pemimpin harus berjenis kelamin laki-laki adalah berangkat dari pemahaman tekstual terhadap Surat al-Nisa ayat 34 yang artinya:
“Kaum laki-laki adalah pelindung bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.
Menurut Yusuf Ali kata qawwamuna diartikan sebagai pelindung. Ayat ini tidak tepat dijadikan alasan untuk menolak perempuan menjadi pemimpin di dalam masyarakat. Jika dipahami secara sederhana atau tekstual maka ayat ini hanya menjustifikasi seorang pemimpin yang berjenis kelamin laki-laki padahal kita ketahui bahwa dalam konteks keterbatasan bahasa, menurut Peach dapat dipahami bahwa teks al-Qur’an terutama yang terkait dengan sejarah penulisan dan standarisasi al-Qur’an secara eksplisit ditulis dari perspektif laki-laki. Perbedaan linguistik semata-mata merupakan cerminan perbedaan sosial dan selama masyarakat memandang laki-laki dan perempuan berbeda maka perbedaan dalam bahasa laki-laki dan perempuan akan terus ada. Benar apa yang dinyatakan oleh Foucault bahwa agama merupakan ajaran yang tidak dapat dipisahkan dari ruang konteks sosial yang mengitarinya yang merupakan satu kesatuan pergulatan antara politis pengetahuan dan kekuasaan. Hal ini dikuatkan kembali oleh Shereen al Feki yang menyatakan bahwa syariah adalah sebuah teks yang dapat ditafsirkan dalam pengertian kebebasan seksual atau dalam pengertian penindasan seksual.
Harus diakui bahwa memang ‘ulama dan pemikir masa lalu tidak membenarkan perempuan menduduki jabatan kepala negara tetapi hal ini lebih disebabkan oleh situasi dan kondisi masa itu antara lain kondisi perempuan sendiri yang belum siap menduduki jabatan pemimpin. Perubahan fatwa dan pandangan pastilah terjadi akibat perubahan kondisi dan situasi dan tidak relevan lagi melarang perempuan terlibat dalam politik praktis atau memimpin negara.
Oleh karena itu, untuk terjadinya kedamaian, keadilan dan kebersamaan masing-masing individu dapat menghormati antar sesama, yang terpenting adalah bagaimana masyarakat dapat menciptakan setiap individu menjadi pribadi yang positif. Sifat positif inilah yang menyangkut keseimbangan bukan salah satu individu yang dominan. Apabila keseimbangan dalam bernegara sudah tercipta maka setiap individu akan menghormati individu lainnya sekaligus bahu membahu dalam membangun peradaban bangsa.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook