Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Diana Rahayu

Tunjangan Rumah Selayaknya untuk Siapa?

Rembuk | 2024-10-15 23:57:08

 

Lagi-lagi ironi terjadi di negeri ini. Di saat rakyat kesulitan memiliki rumah, muncul kebijakan pemberian tunjangan rumah untuk anggota dewan atau para wakil rakyat. Tunjangan tersebut ironis jika dibandingkan dengan realita yang dihadapi rakyat hari ini. Rakyat yang bekerja dengan gaji di atas UMR diwajibkan menjadi peserta Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat. Hal tersebut dituangkan dalam kebijakan PP nomor 21 tahun 2024. Dengan adanya PP tersebut, mereka harus merelakan gajinya dipotong 3% untuk membayar iuran Tapera.

Sungguh tak adil, ketika keputusan anggota dewan yang notabene wakil rakyat justru membuat rakyat makin susah hidupnya. Sudahlah rakyat sulit mendapatkan akses rumah karena beban ekonomi yang tinggi dengan berbagai pajak dan pungutan, mereka masih harus melihat kenyataan bahwa para wakil yang seharusnya membela kepentingannya malah mendapatkan akses rumah dengan sangat mudah dari uang rakyat.

Tunjangan rumah dinas anggota dewan menambah panjang daftar fasilitas yang dterima anggota dewan. Tunjangan ini tentu diharapkan memudahkan peran anggota dewan sebagai wakil rakyat dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur aspirasi rakyat. Dengan sebuah pertimbangan para wakil rakyat bisa menggunakan dana tersebut untuk sewa, beli atau membayar uang muka dari pembelian rumah di sekitar tempat kerjanya. Namun melihat realita sebelumnya, dan realita anggota Dewan periode ini, mungkinkah harapan rakyat dapat terwujud? Optimalkah kerja mereka?

Meski alasan pemberian tunjangan rumah dinas untuk wakil rakyat karena keberadaan rumah dinas sudah tua dan banyak yang rusak dan akan lebih besar biaya perawatannya, namun hal tersebut secara hitungan malah menjadi kran kebocoran dan pemborosan uang negara. Hasil kalkulasi ICW dengan perkiraan tunjangan Rp 50 juta sampai dengan Rp 70 juta untuk 580 anggota DPR selama 60 bulan atau 5 tahun adalah sebesar Rp1,74 triliun sampai Rp2,43 triliun. Jika kebijakan ini diteruskan dalam jangka waktu lima tahun ke depan, terdapat pemborosan uang negara sekitar Rp1,36 triliun hingga Rp2,06 triliun.

Tak salah jika ada anggapan tunjangan ini hanya menjadi strategi untuk memperkaya diri. Dugaan ini diungkapkan oleh peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Seira Tamara, bahwa kepentingan tersebut tidak memiliki perencanaan sehingga patut diduga gagasan pemberian tunjangan hanya untuk memperkaya anggota DPR tanpa memikirkan kepentingan publik. Terlebih dana ditransfer ke rekening masing-masing anggota dewan, melalui komponen pembayaran gaji. Sebab hal tersebut akan menjadikan pengawasan penggunaan dana tunjangan rumah akan sulit dilakukan.

Jamak diketahui bahwa para anggota dewan dalam sistem demokrasi bekerja hanya demi uang, fasilitas, dan tunjangan. Politik transaksional hingga sampai di kursi di Senayan, adalah hal yang biasa dalam sistem ini. Riuh berebut kue kekuasaan dalam berbagai macam bentuk tunjangan sebelum mereka bekerja dan berkorban untuk rakyat adalah indikasi kuat bahwa kinerja DPR tak jauh dari mahar politik.

Sejatinya, rumah sebagai kebutuhan dasar seluruh rakyat memanglah menjadi hak rakyat yang wajib dipenuhi negara, dengan mekanisme tertentu yang memudahkan akses untuk mendapatkannya. Wakil rakyat sebagai bagian dari rakyat pun berhak mendapatkannya. Hanya saja, tak ada keistimewaan wakil rakyat atas rakyat secara umum.

Dalam Islam wakil rakyat yang disebut Majelis Ummah, merupakan wakil rakyat, dengan peran dan fungsi jauh berbeda dari anggota dewan dalam sistem demokrasi. Anggota majelis ummat murni mewakili umat, atas dasar iman dan kesadaran utuh sebagai wakil rakyat yang bertugas untuk menjadi penyambung lidah rakyat. kesadaran ini menjadikan mereka fokus pada fungsi yang harus diwujudkan karena merupakan amanah yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah, dan bukan pada keistimewaan yang diberikan negara.

Wakil rakyat dalam Islam memiliki peran strategis mengawasi jalannya pemerintahan, yang mempunyai kewajiban memberikan nasihat, saran dan kritik atas pemerintahan yang dijalankan khalifah. Majelis umat beranggotakan orang-orang yang mewakili kaum muslim juga menjadi rujukan bagi khalifah untuk meminta masukan/nasihat mereka dalam berbagai urusan.

Majelis umat dalam Islam bukanlah pegawai negara yang berhak menerima gaji. Tetapi jika dibutuhkan anggaran untuk menunjang kinerjanya, maka akan diberikan santunan sesuai jumlah yang secukupnya saja, bukan seperti tunjangan para anggota dewan dalam sistem kapitalis yang nominalnya fantastis.

Anggota Majelis Umat, jika ada dari mereka yang mendapatkan fasilitas dari negara, itu semata bagian dari pemberian negara yang berhak diperoleh tiap individu warga negara yang lainnya. Maka keberadaan tunjangan rumah seharusnya menjadi hak semua rakyat bukan privilege anggota majelis saja. Negara wajib menciptakan berbagai mekanisme kemudahan akses kepemilikan rumah, hingga semua warga negara akan mampu mendapatkan rumah tanpa beban iuran, pajak dan lain-lain beban ekonomi yang menghimpitnya.

Wallahu’alam bishowwab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image