Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rizky Anugrah Perdana, S.H.

Pilkada, Kedewasaan Politik dan Rendahnya Literasi

Politik | 2024-10-15 15:08:35
Sumber: Dokumentasi Pribadi "ilustrasi ketegangan sosial"

Masa kampanye Pilkada Serentak 2024 kini telah dimulai. Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) Nomor 2 Tahun 2024 Tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024, bahwa masa kampanye dimulai dari 25 September hingga 23 November 2024. Pemungutan suara diadwalkan pada 27 November 2024. Sedangkan pelaksanaan penghitungan suara direncanakan rampung pada 16 Desember 2024.

Potensi terjadinya sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK) pasca pilkada tentu menjadi permasalahan yang umum tejadi setelah hasil resmi diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) nantinya. Seperti pada umumnya, akan ada yang menggugat karena sungguh terdapat pelanggaran di dalamnya, ada pula yang menggugat hanya sekedar coba-coba atau untung-untungan karena pada dasarnya tidak mampu menerima kekalahan dalam pemilihan yang berlangsung secara demokratis.

Sengketa hasil pilkada adalah hal yang perlu dikawal oleh semua pihak, terkhusus stakeholder yang memiliki tugas dan fungsi pengamanan serta menyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Sebab, jika terjadi sengketa hasil pilkada, secara langsung dapat berpengaruh pada kondisi ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta berpotensi menyebabkan ketegangan sosial di dalam masyarakat.

Hal ini dapat terjadi karena kondisi masyarakat Indonesia yang belum mampu mencerna dan mengamalkan prinsip-prinsip dasar demokrasi yang baik dan benar. Masyarakat masih bias dalam menerima dan mengelola informasi yang masuk ke dalam pikiran.

Pada tingkat ini, masyarakat dihadapkan dengan berbagai persoalan dan isu-isu ambigu serta tidak benar yang emang pada dasarnya sengaja dibangun oleh sekelompok orang yang bertujuan untuk mendapat dukungan publik dan membangun polarisasi kebencian terhadap lawan-lawan politik.

Kondisi tersebut menciptakan sekelompok golongan fanatik yang terdoktrin untuk selalu memuja tokoh yang didukungnya. Masyarakat akan terpolarisasi dan terpecah menjadi kelompok-kelompok kecil yang saling menyalahkan, bahkan berpotensi besar meningkat kepada konflik yang lebih besar setelah sengketa hasil pilkada selesai diputus di MK.

Kedewasaan politik para kandidat

Kekalahan dan kemenangan dalam pemilihan adalah hal yang biasa terjadi. Namun, kekalahan dalam pilkada seringkali tidak dapat diterima oleh sebagian orang. Kekalahan dinilai sebagai akhir dari segalanya. Sehingga segala daya upaya dilakukan dengan menghalalkan segala cara dalam mempersoalkannya.

Bila kembali mengingat kontestasi pilkada sebelumnya, maka tentu banyak paslon yang tidak mau menerima kekalahan. Mulai saling membuat propaganda kecurangan proses pilkada sehingga berbuntut kepada perpecahan di kalangan masyarakat.

Harus dipahami bahwa mempersoalkan pilkada dengan mengajukan sengketa hasil perselihan memang adalah hak masing-masing kandidat selama memiliki bukti konkrit dan memang tertuang di dalam ketentuan regulasi yang berlaku.

Namun, memanfaatkan keadaan dengan mbuat propaganda melalui media dengan membuat narasi seakan proses pemilihan yang dilakukan terdapat kecurangan bahkan sebelum adanya putusan tentang hasil perselisihan pilkada adalah hal yang tidak patut dilakukan dari sudut pandang etika. Sebagaimana dalam filsafat hukum etika lebih tinggi daripada norma hukum itu sendiri.

Inilah pentingnya kedewasaan politik para kandidat. Menerima apapun hasil konsensus secara lapang dada. Jangan sampai kedaulatan rakyat sengaja hanya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuannya masing-masing.

Opini publik dan rendahnya literasi

Minat membaca orang Indonesia yang rendah menjadi permasalahan yang sangat mudah dimanfaatkan oleh kalangan elit politik yang memiliki kepentingan.

Di tingkat internasional, UNESCO menyebut Indonesia memiliki indeks membaca 0,001. Ini berarti bahwa dalam setiap seribu orang, hanya satu orang yang memiliki minat baca yang tinggi.

(Bustomi, A. (2022), “Minat Baca Warga Indonesia Terendah di Dunia”).

Bahkan berdasarkan survei yang dilakukan oleh Program for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2019 mengatakan bahwa minat baca orang Indonesia sangatlah rendah. Indonesia menduduki urutan ke 62 dari 70 negara.

(DWIJA CENDEKIA: Jurnal Riset Pedagogik Volume 7 Nomor 1 Tahun 2023 “Pengaruh Pembelajaran Proyek Berbasis Konten Video terhadap Minat Baca Generasi Z di Kabupaten Bangkalan oleh Naelur Rohmah, Muhammad Busyro Karim, Sigit Dwi Saputro).

Kemalasan membaca bisa menjadi penyebab mudahnya opini publik digiring ke arah yang negatif. Salah satunya melalui narasi-narasi berita yang tidak benar (hoax), bahkan dapat dimanfaatkan melalui pancingan judul yang tidak sesuai dengan isi pokok informasi yang disampaikan.

Kondisi minat baca yang rendah menjadikan masyarakat Indonesia mudah diprovokasi melalui opini yang belum tentu benar adanya. Ketidakmampuan mengelola informasi yang benar dan salah inilah yang akan menyebabkan ketegangan sosial di masyarakat.

Mengingat kondisi minat baca orang Indonesia yang sangat rendah, Stakeholder terkait wajib melibatkan pers dalam setiap kegiatan yang berhubungan dengan Pilkada kali ini selaku corong penyampaian informasi kepada masyarakat, tidak hanya mengandalkan humas organisasi. Baik itu dari awal masa kampanye sampai selesai penetapan pemenang Pilkada secara resmi. Sehingga opini publik dapat dikontrol secara netral melalui prinsip keseimbangan.

Kegagalan mengontrol opini publik dapat menjadi petaka ketegangan sosial yang berkesinambungan bahkan saat pemerintahan baru sudah berjalan hingga periode 5 tahun yang tentu akan menghambat proses implementasi kebijakan-kebijakan yang dibuat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image