PTM Surga yang Dirindukan
Lomba | 2022-02-10 21:37:24“Nggak Enak Nggak Sekolah” tulis anak saya di buku catatannya ketika menyelesaikan tugas dari sekolah. Beberapa hari lalu pihak sekolah (SD) memutuskan untuk memberlakukan kembali Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) karena salah satu murid terpapar covid-19. Tulisan itu sebentuk ekspresinya setelah mengetahui keputusan sekolah untuk kembali PJJ. Padahal baru satu bulan kebijakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di DKI Jakarta kembali diberlakukan, dan anak saya sangat antusias menyambutnya. PTM seperti surga yang dirindukan setelah terpenjara pandemi dua tahun terakhir.
Bukan hanya anak-anak, orang tua dan guru juga sebetulnya punya keresahan yang sama terhadap kebijakan PJJ. Selama ini berbagai macam keluhan mengemuka di media sosial. Mulai dari persoalan penyediaan kuota internet untuk belajar, peralatan komunikasinya, ketersediaan jaringan, hingga ada orang tua yang stress mengajari anaknya di rumah. Beberapa waktu lalu pernah ada video viral seorang ibu yang stress mengajari anaknya yang sulit memahami pelajaran meskipun ibunya sudah menjelaskan panjang lebar. Video ini mewakili banyak keresahan orang tua di masa PJJ. Sudah capek mengurus rumah tangga, tambah capek karena harus menggantikan peran guru di sekolah.
PJJ menjadi beban tersendiri karena sebagian tugas guru harus dilaksanakan orang tua di rumah. Mereka harus mengajar dan mendampingi anaknya lebih intens untuk menyelesaikan tugas-tugas. Problem yang sama sebetulnya juga ada di PTM. Namun ketika anak bertemu guru dan teman-temannya secara langsung akan terjadi interaksi yang jauh lebih dari sekadar bertemu secara online.
Saya sendiri merasakan perbedaan antara rapat online dengan rapat offline. Meskipun di online hanya dibatasi oleh layar dan kita bebas berdiskusi, tetap saja bertemu muka secara langsung memberikan nuansa berbeda, dan diskusi tidak terhalang oleh screen dan kendala-kendala teknis yang kadang membuyarkan konsentrasi.
Bagi guru, PJJ membuat proses pendidikan tereduksi hanya pada transfer pengetahuan saja. Guru menayangkan video edukasi, menjelaskan melalui zoom meeting, lalu memberi tugas. Guru tidak bisa sepenuhnya mengontrol anak didiknya. Tidak benar-benar tahu apakah mereka mengikuti pembelajaran dengan serius atau tidak. Sementara ketika PTM, guru bukan sekadar kegiatan belajar mengajar, tetapi seluruh energi positif guru sebagai pengajar dan pendidik disalurkan secara langsung dapat berlangsung. Pendidikan menurut UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Usaha ini relatif sulit dicapai dalam sistem PJJ.
Bagi anak, PJJ menjadi beban tersendiri karena mereka dituntut untuk menyelesaikan tugas-tugas sementara harus belajar secara mandiri. Terutama anak usia SD yang tentunya membutuhkan pendampingan lebih. Orang tua harus menjadi guru yang nyaman bagi anak di rumah. Jika orang tua bingung dan stress duluan tentu akan memengaruhi anaknya.
Kebijakan PJJ memang mengganggu proses pendidikan. Tapi kondisi pandemi memaksa pemerintah untuk memberlakukan kebijakan tersebut sebagai solusi terbaik saat ini. Pemerintah tentu juga tidak ingin situasi ini terus berlangsung. Sebagai warga negara yang baik, kita mau tidak mau mengikuti kebijakan pemerintah. Meskipun memang banyak hal yang perlu dikritisi. Namun seperti kata pepatah, daripada mengutuk kegelapan lebih baik menyalakan lilin.
Peran keluarga sangat penting dalam menciptakan suasana kondusif dalam PJJ. Sebagai orang tua kita harus mengatur (set up) mindset berpikir. Bahwa ini adalah kesempatan menguatkan kembali ikatan kita dengan anak. Bahwa ini akan menjadi ladang pahala bagi orang tua. Karena itu kata kuncinya adalah ikhlas menerima apa yang menjadi ketentuanNya. Pandemi ini telah terjadi, dan kita tidak lagi bisa menghindar. Orang tua yang punya mindset ini akan mengalirkan energi positif ke anak sehingga anak akan nyaman menghadapi situasi ini.
Setiap orang tua dituntut untuk mampu menjelaskan kepada anak secara bijak mengapa kebijakan PJJ itu harus ada. Bukan sekadar menjawab bahwa itu kebijakan pemerintah. Sebab anak-anak punya pikiran kritis yang kadang di luar ekspektasi. Karena itu, membuka obrolan tentang pandemi dan kebijakan pembelajaran oleh pemerintah sangat baik dilakukan. Obrolan seperti itu juga akan memantik kemampuan anak untuk menganalisa persoalan.
Karena orang tua ikhlas, maka perlakuan dan respon orang tua terhadap perilaku anak akan lebih bijak. Jika si anak stress dengan tugas, orang tua akan menjadi penyembuh, bukan malah menjadi provokator.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.