Ketika Berita Buruk Menjadi Candu: Mengurai Fenomena Doomscrolling
Info Terkini | 2025-11-18 20:45:14Di tengah era kemajuan digital, muncul sebuah perilaku baru yang secara perlahan mengikis kesehatan mental kita disebut doomscrolling. Doomscrolling adalah tindakan obsesi menghabiskan waktu berlebihan di gawai untuk terus-menerus mencari dan mengonsumsi kabar buruk.
Fenomena ini memuncak saat pandemi COVID-19 melanda, membuat layar gawai seperti jendela tanpa akhir. Kita terus melihat berita tentang jumlah korban, kejadian yang menakutkan, dan situasi yang tidak pasti. Sebenarnya, kebiasaan mencari berita buruk sudah ada sejak lama, tetapi saat pandemi, kebiasaan itu semakin banyak dan makin sering terjadi. Banyak orang mulai terbiasa mencari berita negatif terus-menerus yang menjadi candu, walau membuat hati cemas dan pikiran lelah.
Mencari Informasi, Menemukan Kecemasan
Menurut psikolog, perilaku ini muncul karena manusia ingin merasa aman. Saat ada ancaman atau hal yang tidak pasti, kita cenderung mencari informasi sebanyak mungkin agar merasa lebih tenang atau bisa melakukan pencegahan. Namun lama kelamaan, kebiasaan mencari informasi ini bisa berubah menjadi kebiasaan tanpa akhir.
Awalnya kita hanya ingin tahu keadaan, tapi akhirnya malah terus menggulir berita sampai larut malam, tertarik oleh judul yang menegangkan. Banyak orang bahkan ikut membaca komentar, seolah ingin mencari teman yang merasa takut atau cemas seperti mereka.
Masalahnya, terlalu banyak membaca berita negatif dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik. Doomscrolling yang berlebihan bisa memicu kecemasan yang terus-menerus (GAD), membuat tubuh tegang, cepat lelah, sulit tidur, bahkan bisa berujung ke depresi. Pada tahap ini, doomscrolling bukan lagi untuk kewaspadaan tetapi sudah menjadi kecanduan yang merugikan diri sendiri.
Solusi: Menerapkan "Diet Informasi"
Lalu, bagaimana cara melepaskan diri dari kebiasaan doomscrolling yang melelahkan? Para ahli menyarankan sebuah langkah penting yang disebut “diet informasi”. Bukan untuk tubuh, tetapi untuk kesehatan pikiran. Langkah pertama adalah menyadari bahwa kita memang sedang terjebak. Seperti orang yang mencatat makanan saat diet, kita juga bisa mencatat berapa lama waktu yang habis untuk menggulir berita buruk dan mulai bertekad untuk menguranginya.
Setelah itu, kita perlu membuat batas yang jelas antara diri kita dan layar gawai. Atur screen time, matikan notifikasi yang tidak penting, dan buat jam bebas gawai, terutama sebelum tidur. Malam hari adalah waktu paling berisiko, karena pikiran yang lelah cenderung lebih mudah merasa cemas.
Namun diet informasi bukan berarti menutup mata dari dunia. Justru, kita diminta untuk mengganti pola pikir: dari doomscrolling menuju hopescrolling. Artinya, kita tetap mencari informasi, tetapi fokus pada hal-hal yang memberi harapan berita tentang kesembuhan, inovasi, atau kisah inspiratif yang membuat kita merasa dunia tidak seburuk yang terlihat di layar.
Langkah terakhir adalah kembali ke dunia nyata. Isi waktu dengan kegiatan yang membuat kita hadir secara fisik: memasak, merawat tanaman, berolahraga, atau sekadar berbincang dengan orang terdekat. Saat kita mulai bergerak dan berinteraksi, kita akan sadar bahwa hidup jauh lebih berarti daripada sekadar terpaku pada pusaran berita gelap di layar yang tidak pernah berhenti.
Doomscrolling mungkin terasa sulit dihentikan, tetapi saat kita mulai mengatur apa yang masuk ke pikiran, kita sedang mengambil kembali kendali atas hidup satu guliran demi satu.
Penulis: Sinta Lailatur Rizkyah dari mahasiswa Universitas Airlangga yang percaya bahwa tulisan mampu mengubah cara kita memandang dunia digital.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.
