Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image nuril khomsiyati

Tepis Bosan dengan Karya Sastra ketika Pandemi COVID-19

Sastra | Saturday, 05 Feb 2022, 08:46 WIB

Di masa pandemi COVID-19, kita diwajibkan untuk selalu stay di rumah untuk mencegah penularan virus corona. Di rumah hanya melakukan kegiatan itu-itu saja yang merangsang perasaan bosan. Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mengusir rasa bosan salah satunya dengan karya sastra. Bagaimana mungkin?

Di era modern, budaya melestarikan karya sastra semakin luntur. Perkembangan teknologi yang semakin pesat memungkinkan generasi milenial dengan mudah mengakses informasi atau sosial media sepuasnya. Scroll instagram, nonton youtube atau sekadar chatting-an dinilai sebagai kegiatan yang lebih menarik daripada harus membaca novel atau autobiografi. Membaca buku karya sastra dinilai sebagai kegiatan yang hanya duduk lalu membaca lembar demi lembar sampai tamat. Padahal jika kita bisa meluangkan waktu untuk membaca maka akan sangat banyak manfaat yang didapatkan.

Faktanya, menurut Kominfo (2020), Indonesia memiliki 160 juta pengguna aktif sosial media yang 99% penggunanya mengakses melalui smartphone. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh We Are Social 2020 menemukan bahwa rata-rata waktu yang dihabiskan pengguna Indonesia usia 16-64 tahun dalam mengakses sosial media mencapai 3 jam 26 menit dalam sehari. Adapun riset yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara. Artinya tingkat literasi di Indonesia tergolong buruk sekali. Ironi sekali melihat kondisi Indonesia, masyarakatnya telah dibodohi oleh smartphone dan kemampuan literasi pun tidak dapat diandalkan.

Sastra? Sebuah istilah yang tidak asing di telinga kita. Sastra merujuk pada ungkapan atau ekspresi manusia berupa karya tulisan atau lisan berdasarkan pemikiran, pendapat, pengalaman hingga ke perasaan dalam wujud imajinatif, cerminan kenyataan atau data asli yang dibalut dalam kemasan estetis melalui media bahasa. Jenis imajinatif karya sastra biasanya diidentikkan dengan puisi dan prosa fiksi. Stigma inilah yang sering diartikan sebagai “salah kaprah”, karena tulisan non-imajinatif juga banyak diciptakan, hanya saja ketika kita sedang menikmatinya kita tidak merasa sedang membaca karya sastra. Mungkin karya sastra dibalut dengan bahasa yang estetis sehingga dapat melayangkan perasaan bagi pembacanya.

Bahasa merupakan alat komunikasi yang sangat penting. Selain sebagai alat pemersatu bangsa bahasa juga digunakan sebagai seni untuk menulis karya sastra. Modal utama seorang penulis adalah keindahan bahasa atau diksi. Tanpa hadirnya keindahan bahasa maka bisa dipastikan penulis tersebut telah mati. Salah satu cara melestarikan bahasa adalah menulis atau membaca karya sastra. Menulis karya sastra tidak melulu harus menulis puisi dengan bahasa puitis tetapi bisa juga menulis drama, novel, cerpen atau catatan harian. Memang menulis itu membutuhkan ketelatenan dan tidak semua orang tertarik pada bidang menulis.

Banyak genre karya sastra yang bisa dibaca. Contoh karya sastra yang sifatnya imajinatif yaitu puisi, novel, cerita pendek, pantun dan lain-lain. Adapun karya sastra yang sifatnya non-imajinatif seperti esai, opini, biografi, catatan harian dan sebagainya. Membaca karya sastra tidak perlu sampai berlarut-larut sampai 6 jam misalnya. Kalian bisa membaca karya sastra secara rutin misalnya setiap hari meluangkan waktu 2 jam untuk membaca karya sastra. Hari senin membaca cerpen, hari selasa membaca puisi, hari rabu esai dan seterusnya. Selain menambah wawasan, membaca karya sastra juga bisa mengusir rasa bosan. Lebih baik membaca daripada menghabiskan waktu untuk menatap gadget berjam-jam.

Waktu SMA, saya pernah membaca serial novel yang alur ceritanya sangat bagus karya Tere Liye. Novel tersebut bertema tentang petualangan. Baru membaca seperempat buku saya sudah bisa hanyut dalam derasnya konflik yang dialami tokoh utama. Setiap selesai membaca satu sub judul saya pun berimajinasi bagaimana tokoh utama dalam menjalankan peran, menghadapi masalah lalu kecerdikan dalam mengelabuhi lawan. Rasanya sangat asyik dan seru bisa menikmati perjalanan tokoh utama meskipun selalu menebak-nebak peristiwa yang akan terjadi.

Kebiasaan rutin membaca bisa menambah wawasan kita. Selain itu juga bisa memperkaya diksi untuk modal menulis. Menulis bisa dimulai dengan sesuatu yang sederhana, misalnya menulis catatan harian. Orang yang sudah terbiasa membaca dan menulis maka tidak diragukan lagi pasti tulisannya enak dibaca. Berbeda dengan orang yang hanya menulis, menulis dan menulis, biasanya orang dengan tipe ini tulisannya kaku dan sulit dipahami. Ada peribahasa “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang”, lalu manusia mati meninggalkan apa? Sungguh pertanyaan yang menohok palung hati terdalam. Menulis karya sasta berarti kita mengukir keabadian. Meskipun jasad kita telah membusuk tetapi karya kita akan terus dikenang.

Menikmati karya sastra tidak hanya membaca atau menulis tetapi bisa juga dengan melihat pertunjukan musikalisasi puisi, menonton drama atau menonton film hasil adaptasi novel. Tentunya sederet kegiatan tersebut bisa menjadi selingan saat kita bosan berada di rumah. Selain itu, sebagai salah satu apresiasi terhadap karya sastra. Banyak sastrawan yang telah menorehkan karyanya seperti W.S. Rendra, Chairil Anwar, Goenawan Mohammad, Emha Ainun Nadjib, Pramoedya Ananta Toer, Taufik Ismail, Mochtar Lubis dan masih banyak lagi. Setiap sastrawan memiliki gaya khas dalam menuangkan ide atau gagasannya. Ada yang menuangkan gagasan dalam bentuk puisi, novel, opini dan sebagainya.

Karya sastra sebenarnya dapat menyembuhkan diri dari berbagai permasalahan seperti stres, patah hati, bingung, kecewa dan lain-lain. Artinya karya sastra memiliki fungsi hiburan (rekreatif) dimana karya sastra mampu menghibur pembacanya. Menimbulkan tawa dalam cerita yang kocak, memberikan hiburan intelegen melalui kandungan wawasan barunya, membangkitkan sensifitas kemanusiaan melalui kisah tragedi sampai menginspirasi dari kisah seseorang.

Karya sastra juga memiliki fungsi edukatif atau sebagai pembelajaran. Melalui karya inspiratif yang dikemas dalam alur naik-turun tak jarang membuat pembaca “trenyuh” dan hanyut dalam alur cerita. Ketika membaca novel atau cerpen maka pembaca akan dihadapkan pada puncak masalah dan disinilah para pembaca bisa belajar mengembil keputusan yang baik. Ketika keputusan yang diambil oleh tokoh salah maka pembaca juga bisa menentukan sikap yang seharusnya dilakukan oleh tokoh tersebut. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan karya non-imajinatif seperti biografi atau kisah sejarah. Kisah kelam di masa lampau cukup menjadi pembelajaran untuk generasi sekarang.

Fungsi yang tidak kalah penting dari karya sastra adalah fungsi keindahan (estetik). Puisi hadir dengan bahasa puitis yang mampu menghipnotis pembacanya. Pemilihan diksi yang tepat, berbahasa konotatif dan mengandung majas mampu membuat pembaca mengagumi karya sastrawan. Meskipun tidak semua pembaca tahu tentang maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang. Inilah ciri khas dari salah satu karya sastra dengan genre imajinatif.

Dengan demikian karya sastra yang berwujud lisan, tulisan atau film bisa digunakan untuk mengusir rasa bosan ketika masa pandemi melanda negara kita. Berbagai macam karya sastra imajinatif maupun non-imajinatif mampu mempengaruhi pembacanya karena memiliki beberapa fungsi seperti fungsi rekreatif, fungsi edukatif dan fungsi estetik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image