Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yudhi Hertanto

Manusia dan Kebahagiaan dalam Angka

Politik | 2022-01-31 15:28:08
republika.co.id

Manusia adalah angka! Ilmu statistik menempatkan manusia sebagai skala pengukuran. Dalam model kuantitatif, keberadaan individu tidak lebih sebagai satuan numerik.

Ilmu pengetahuan adalah bentuk kemajuan manusia modern, untuk memahami realitas yang melingkupinya. Problem utamanya, ada keterbatasan internal yang terkandung didalamnya.

Keberadaan suatu ilmu pengetahuan, tidak lepas dari situasi yang bersifat saling mempengaruhi di sekitarnya. Netralitas menjadi satu pakem yang seringkali dilangkahi.

Terdapat cara pandang subjektif yang bias kepentingan dalam sebuah ilmu pengetahuan. Phytagoras menyoal mathesis universalis, bahwa yang nyata adalah yang terukur, selain itu mitos.

Di era teknologi digital, manusia terkuantifikasi ke dalam berbagai indikator. Pengukuran kuantitatif menempatkan manusia sebagai objek kebendaan.

Kita memahami, jika sarana ilmu pengetahuan membuat kita mampu mendeskripsikan sebuah realitas, tetapi dibutuhkan daya nalar kritis untuk mengambil kesimpulan terkait.

Bahagia ala Manusia

Salah satu bentuk penilaian itu, terlihat melalui rilis indeks kebahagiaan yang dipublikasikan lembaga statistik nasional.

Tentu menjadi menarik untuk dicermati, terlebih manakala tafsir kebahagiaan dibungkus secara politik. Padahal metodologi kalkulasi indeks kebahagiaan, membuka ruang pertanyaan secara subjektif bagi responden.

Apa maknanya? Terdapat peluang lebar untuk bias dalam memahami kebahagiaan secara agregat. Terdapat jarak antara indeks kebahagiaan (IK) dan indikator indeks pembangunan manusia (IPM).

Sebelumnya, ukuran kebahagiaan serta kesejahteraan, ditetapkan melalui pendekatan bernama product domestic bruto (PDB), sebuah nilai yang mengukur nominal total produksi sebuah negara, yang kemudian diasumsikan sebagai pendapatan per kapita, bila dibagi keseluruhan penduduk.

Indikator itu ditentang, meski tetap digunakan sebagai ukuran awal pemeringkatan negara-negara di dunia. Pilihan untuk berpaling pada penggunaan ukuran IPM dilakukan dengan menimbang faktor utama, pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Pendekatan berbasis riil.

Namun statistik tetaplah metode perhitungan, ada potensi kesalahan pengambilan sampel hingga dimungkinkan pula terjadi kekeliruan dalam melakukan interpretasi, baik yang dilakukan secara disengaja dengan kepentingan tertentu, maupun tidak.

Lalu bagaimana melihat indeks kebahagiaan yang sempat dipublikasikan itu? Pertama: indeks tersebut merupakan metode kombinasi antara ukuran objektif dengan memberikan ruang subjektif, Kedua: sama seperti berbagai indeks lain, terdapat pula potensi error didalamnya.

Meski menimbulkan perdebatan, tetapi upaya untuk melakukan pendekatan realitas dengan menggunakan indeks kebahagiaan perlu mendapat apresiasi. Hal terpenting yang perlu mendapatkan perhatian adalah, apakah kita secara agregat sudah dalam kondisi yang berbahagia?

Pandemi telah bergelayut begitu lama. Bagi mereka yang terhempas karena pandemi, situasi ini jelas menyiksa. Tidak tersisa rona Bahagia. Sementara itu ketimpangan terbuka, media kita diisi dengan berita korupsi dari para pejabat publik. Mengenaskan, bantuan sosial selama pandemi justru jadi incaran.

Kuantitas yang Berkualitas

Hasil kalkulasi yang kuantitatif penuh dengan angka, perlu mendapatkan tafsir kualitatif. Kita menggunakan kedua cara pendekatan tersebut, baik yang kuantitatif maupun kualitatif, untuk mendapatkan gambaran realitas secara utuh.

Apakah kita berbahagia? Benarkah amanat kemerdekaan sudah tercapai? Sudahkah kita terhantarkan pada gerbang kesejahteraan, kecerdasan dan keadilan? Tema-tema dalam preambule UUD tersebut, masih menjadi perdebatan hingga saat ini.

Tentang yang merdeka sekaligus berdaulat, nyatanya masih membutuhkan perjuangan lanjutan. Tidak terhenti diruang proklamasi. Kebahagiaan sebagai imajinasi bersama yang menjadi cita-cita dan penggerak rasa kebersamaan mulai retak.

Kita sibuk larut dalam polarisasi politik elit yang tidak berkesudahan. Sejatinya agenda kepentingan publik justru terpinggirkan. Harga minyak goreng dan berbagai bahan pokok merangkak naik, ditengah lebatnya ribuan kilometer hutan sawit di negeri ini.

Publik hanya menjadi angka. Pelengkap penyerta ilmu statistika. Tidak memiliki nyawa. Begitu pula dalam politik, publik dihitung sebagai suara yang tanpa suara. Sudahkah kita berbahagia hari ini? Mari kita bertanya pada diri sendiri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image