Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sutanto

Cernak: Pantang Menyerah

Sastra | Monday, 24 Jan 2022, 23:36 WIB

Seperti biasanya Nita berjalan dari pekarangan satu ke pekarangan lain untuk mencari buah mlinjo yang jatuh dari pohon dan dikumpulkannya. Gadis manis yang baru berusia 10 tahun itu baru duduk di kelas 5 SD.

Ayahnya sudah meninggal sejak dia berusia 5 tahun karena sakit panas. Nita sekarang hanya tinggal bersama ibunya.

“Kamu tidak malu nduk, memungut buah mlinjo yang jatuh dari pohon?” tanya ibunya di suatu petang.

“Kenapa mesti malu Bu. Bukannya aku hanya mengambil buah yang jatuh, tidak mencuri,” jawab Nita

Ibunya tersenyum, "Alhamdulillah, kalau kamu tidak merasa malu dan rendah diri. Kita memang orang miskin, tetapi kejujuran wajib kita junjung tinggi."

“Iya Bu, pesan ibu selalu kuingat,” sahut Nita sambil memeluk erat ibunya.

Rumah Nita sangat sederhana, hanya terdiri 2 ruangan dan belum ada nyala listrik karena memang benar-benar tidak mampu. Untuk sarana penerangan belajar, Nita hanya mengandalkan lampu teplok berbahan bakar minyak tanah.

Meski fasilitas yang tersedia jauh dari layak, namun gadis kecil itu memiliki semangat belajar yang tinggi. Tak heran bila sejak kelas 1 selalu berada di rangking pertama.

***

Pagi itu suasana SD Kretek sudah ramai karena siswanya mulai berdatangan. Ada yang diantar orangtuanya, ada yang datang sendiri naik sepeda maupun jalan kaki. Suasana sekolah cukup nyaman dan asri, banyak tumbuhan di halaman. Sudut sekolah juga diberi taman bunga, sehingga warga sekolah merasa betah saat berada di lingkungan sekolah.

“Eh teman-teman, kemarin aku lewat rumahnya Nita. Ternyata rumahnya jelek banget lho,” pagi-pagi Silvi Si Tukang Gosip kelas 5 mulai beraksi.

“Aku malah baru tahu, Tapi kok lagaknya penuh percaya diri gitu ya?” sahut Erni tak kalah serunya.

“Kenapa sih kalian. Rumah orang lain kok diributkan, memangnya salah apa Nita kalau rumahnya jelek?” sergah Astuti Si Ketua Kelas.

Belum selesai mereka berbincang bel pelajaran pertama berbunyi, Bu Palupi guru kelas 5 sudah masuk ruangan.

“Anak-anak, ada yang mau ibu sampaikan kepada kalian,” ujar Palupi setelah membuka pelajaran dengan berdoa dan mengecek kehadiran.

Para siswa mulai terdiam, mereka tahu bahwa gurunya akan menyampaikan sesuatu yang penting.

“Tadi saya sempat mendengar ada yang kasak kasuk membicarakan keadaan teman yang rumahnya jelek. Benarkah yang ibu dengar tadi?” sambung Palupi.

Silvi dan Erni yang merasa menjadi tertuduh diam sambil menundukkan wajah. Astuti sebagai ketua kelas yang menjawab, “Benar Bu, tadi memang ada yang seperti ibu katakan.”

“Itu termasuk perilaku tidak terpuji. Sejak kecil dalam diri kalian mesti tertanam sikap terpuji. Ingat sikap buruk harus dijauhi!”

Tetiba pintu kelas diketuk, Pak Sumarto Kepala SD Kretek masuk ruangan sambil membawa dua amplop putih.

“Anak-anakku, hari ini ada kabar yang mengejutkan sekaligus membahagiakan. Salah satu siswa di sekolah kita mendapatkan undangan dari Bapak Bupati untuk menerima hadiah karena berhasil menjadi juara menulis surat dalam bahasa jawa dan mencipta geguritan.”

Semua saling memandang sambil menerka-nerka siapa siswa yang dimaksud oleh kepala sekolah mereka.

“Siswa yang juara tersebut tak lain adalah Nita. Silakan Nita maju disamping saya!” ujar Pak Sumarto membuat para siswa gemuruh menyambut berita itu dengan tepuk tangan.

Nita berjalan dan langsung berdiri di samping kepala sekolah yang langsung menyampaikan undangan sambil mengelus kepala Nita.

“Bapak bangga padamu Nita. Meski kamu hidup dalam keterbatasan ekonomi namun semangat belajar dan prestasimu sungguh luarbiasa.”

“Terimakasih pak,” ucap Nita lirih.

“Nita dapat kalian jadikan contoh, meski dia memiliki dua prestasi tingkat kabupaten sekaligus, namun dia tetap rendah hati.”

Teman-teman sekelas tak sabar menghambur memberi ucapan selamat kepada Nita, tak ketinggalan Silvi dan Erni. Keduanya menyampaikan permohonan maaf atas sikap mereka, Nita tidak memiliki dendam sedikitpun, dia ikhlas dan rela memberi maaf.

Melihat keadaan siswanya yang berprestasi namun terkendala masalah ekonomi, Pak Sumarto yang kebetulan tidak memiliki anak, mengangkat Nita sebagai anak asuh dan siap membiayai pendidikannya sampai kuliah.

Perjuangan Nita memang tak sia-sia, berbekal ketekunan belajar dan semangat pantang menyerah, mendatangkan kemudahan dan berkah bagi dia dan juga ibunya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image