Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image galuh rosmaniar

Marcellus William dan Keadilan Yang Disangsikan

Agama | 2024-09-29 11:01:44

Oleh : Dwi Lestari, Pembina Majelis Taklim Tempel, Sleman Yogyakarta

Marcellus Williams, 55 tahun, telah dieksekusi dengan cara suntik mati pada Selasa (24/09/2024) di penjara negara bagian di Bonne Terre, Francois County sekitar 60 mil barat daya St. Louis.

Williams, yang menjalani 23 tahun terakhirnya di penjara, mencurahkan sebagian besar waktunya memperdalam Islam dan menulis puisi. Dia menjadi imam atau dai bagi para narapidana Muslim di Lapas Potosi.

Selama dipenjara dia menjadi tokoh yang dihormati secara luas di dalam komunitas penjara maupun di luar lantaran sikap terpujinya.

Williams dituduh sebagai pelaku pembunuhan Felicia Gayle dan didakwa hukuman mati pada 2001. Pada 11 Agustus 1998, Gayle, seorang mantan wartawan ditemukan tewas dengan luka tikaman di rumahnya. Pelaku sebenarnya meninggalkan banyak bukti forensik, termasuk sidik jari, jejak kaki, rambut, dan jejak DNA pada senjata pembunuh, sebuah pisau dari dapur korban. Tak satu pun dari bukti forensik ini yang cocok dengan Williams.

Hasil tes DNA kemudian dirilis pada tahun 2016 dan sepenuhnya mengecualikan Williams sebagai pelaku, bertentangan dengan bukti berbasis kesaksian yang digunakan untuk menghukumnya. Meski begitu pengadilan Missouri tetap bersikeras mengeksekusi Williams.

Pesan terakhir yang disampaikan Williams pada tanggal 21 September, adalah “Segala Puji Bagi Allah Dalam Setiap Keadaan!!!”

Dia mendapat kunjungan terakhir dengan Imam Jalahii Kacem dari sekitar pukul 11.00 hingga 12.30 siang.

Dari kasus ini, terdapat diskriminasi ras yang sangat mencolok. Williams berkulit hitam dihukum secara tidak adil karena dituduh membunuh wanita kulit putih. Juri dalam persidangan terdiri dari 11 orang kulit putih dan hanya seorang yang berkulit hitam. Sebuah studi terhadap 400 kasus yang memenuhi syarat untuk hukuman mati di St. Louis County selama periode 27 tahun mengungkapkan kesenjangan rasial dalam penggunaan hukuman mati berdasarkan ras korban. Orang-orang yang dihukum 3,5 kali lebih mungkin menerima hukuman mati jika korban berkulit putih, dibandingkan korban berkulit hitam. (News.republika.co.id, 25/9/24)

Sistem kehidupan saat ini, mengaburkan makna keadilan, karena aturan yang dipakai adalah buatan manusia, dimana standar keadilan berubah-ubah sesuai nafsu para pembuatnya dan perkembangan jaman.

Sangat berbeda dengan aturan islam yang bersumber dari Pencipta, bahwa keadilan tidak dilanggar karena perbedaan warna kulit. Tidak akan dilakukan eksekusi sanksi atas pelanggaran hukum kecuali terdapat bukti yang jelas.

Fakta ketidakadilan semakin banyak akibat meninggalkan aturan Pencipta. Berharap keadilan akan setara dalam sistem buatan manusia sungguh sangat sia-sia. Saatnya kita tinggalkan aturan buatan manusia dan mengganti dengan aturan dari Pencipta. Selama aturan rusak ini dipertahankan, maka akan muncul William-william berikutnya. Segala Puji bagi Alloh dalam setiap keadaan karena Dia tidak pernah tidur, hanya kepadaNya selayaknya manusia bersandar dan memohon keadilan dengan diterapkan aturan Pencipta secara meyeluruh. Wallahu a'lam

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image