Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Husasan Tayeh

Muslim Patani dalam Jerat Rezim Thailand: Dari Santri hingga Wartawan, Semua Dicurigai

Politik | 2025-02-21 04:58:41

PATANIGelombang represi terhadap warga Melayu Patani semakin nyata. Siapa pun yang berani bersuara—baik santri, aktivis, maupun wartawan—bisa menjadi target kriminalisasi oleh negara. Penahanan Abdul-afir Seng atau Pakcu-Ming, seorang jurnalis sukarelawan Wartani, hanyalah satu dari sekian banyak bukti bahwa kebebasan sipil di Patani masih sebatas ilusi.

Foto; Abdul-afir Seng atau Pakcu-Ming, seorang jurnalis sukarelawan Wartani

Kasus ini bukan yang pertama, dan kemungkinan besar bukan yang terakhir. Sebelumnya, sekelompok jurnalis Wartani termasuk Pimred Ruslan-Musa, Direktur Ma-Pakri, serta staf Fais dan Weraa, juga ditahan di Yala tanpa alasan jelas pada 2019 lalu. Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari pihak berwenang mengenai alasan di balik penangkapan tersebut.

“Wartawan selalu didiskriminasi dan terancam dalam kondisi ini di Patani, yang berada dalam dilema atas pergolakan konflik yang telah berlangsung puluhan tahun,” tegas Wartani dalam pernyataannya.

Kasus lainnya menimpa Asmadee Bueheng, Citizen Patani, yang saat ini menghadapi persidangan dengan dakwaan “menghalangi petugas pemerintah.” Tuduhan ini muncul ketika ia sedang meliput seorang ibu yang mengambil jenazah anaknya—korban kekerasan aparat—untuk dimakamkan secara layak.

Polanya selalu sama: jurnalis ditangkap, ditahan dengan dalih keamanan nasional, lalu dijerat dengan pasal “penghasutan” atau Undang-Undang Komputer. Ini adalah strategi lama yang terus dipakai untuk membungkam kebebasan pers di wilayah konflik Patani.

Wartani: Media yang Bertahan di Tengah Ancaman

Wartani, yang berasal dari singkatan Warta-Patani, selama ini menjadi media yang konsisten mengangkat tindakan kekerasan militer dan isu Patani kepada warga sipil. Wartani bukan sekadar media, tetapi suara bagi mereka yang selama ini dikorbankan oleh sistem. Namun, upaya mereka dalam menyuarakan ketidakadilan justru dijadikan alasan untuk membungkam mereka.

Pada tahun 2021, dua wartawan Wartani juga sempat ditangkap dan diinterogasi oleh aparat keamanan, dengan tuduhan yang tidak jelas. Belum lagi serangkaian pemanggilan dan investigasi terhadap jurnalis mereka pada tahun 2023 dan 2024, seperti dalam kasus Nazihah, wartawan wanita yang dipanggil setelah meliput “Pelajar-Bangsa”, sebuah forum akademik di Universitas Prince of Songkla.

“Penahanan ini mencerminkan usaha untuk mengehadkan kebebasan dalam komunikasi dan penyampaian maklumat yang benar kepada masyarakat,” tegas Wartani dalam pernyataan resminya.

Foto; Asmadee Bueheng, Citizen Patani,

Sementara itu, tekanan internasional mulai muncul. Mary Lawlor, Pelapor Khusus PBB untuk Pembela HAM, telah meminta klarifikasi dari pemerintah Thailand mengenai kriminalisasi wartawan di Patani.

“Kami telah meminta klarifikasi dari pemerintah Thailand mengenai kasus Asmadee Bueheng dan perlindungan terhadap wartawan di wilayah konflik. Namun, hingga kini, kami belum menerima jawaban,” ungkapnya.

Santri dan Pemuda Patani: Dari Pendidikan ke Penjara

Bukan hanya wartawan yang menjadi target. Beberapa hari sebelum penahanan Pakcu-Ming, seorang santri bernama Adam ditangkap setelah insiden bom di pos polisi Donyang, Nongchik. Tanpa bukti yang jelas, ia langsung dibawa ke pusat interogasi militer Kem Ingkhayut-Borihan.

Foto; Adam, santri yang ditahan aparat keamanan Thai tanpa sebab.

Setiap kali terjadi insiden keamanan, pemuda Melayu Patani selalu menjadi tersangka pertama. Negara melihat mereka bukan sebagai warga negara, tetapi sebagai ancaman. Pendidikan Islam pun sering dicurigai sebagai bagian dari “radikalisasi,” padahal pondok-pondok pesantren di Patani telah lama menjadi pusat intelektual dan spiritual masyarakat.

“Anak kami hanya belajar agama, tapi sekarang dia ditahan tanpa alasan yang jelas. Kami hanya ingin keadilan,” ujar salah satu keluarga korban penangkapan santri kepada Wartani.

Patani Berhak atas Keadilan?

Jika pemerintah Thailand serius ingin menciptakan perdamaian, maka langkah pertama yang harus diambil adalah menghentikan represi terhadap jurnalis, santri, dan aktivis. Kebijakan represif hanya akan memperdalam ketidakpercayaan masyarakat Melayu Patani terhadap negara.

Namun, hingga kini, yang kita lihat justru sebaliknya. Wartawan dibungkam, santri dicurigai, aktivis dikriminalisasi.

“Mereka menuduh kami menghasut. Tapi sebenarnya, yang kami lakukan hanya melaporkan kebenaran,” ujar seorang jurnalis Wartani yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Apakah ini cara Thailand memperlakukan warganya sendiri? Jika kebijakan ini terus berlanjut, maka jelas bahwa dalam kaca mata pemerintah Thailand, tidak ada ruang bagi warga Melayu Patani.-Johanbudo

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image