Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syuaa Amal

Pelanggaran HAM dalam Pengumpulan DNA di Patani Selatan Thailand

Politik | 2025-02-18 21:37:39

Perlindungan terhadap data pribadi, termasuk informasi DNA, merupakan hak dasar yang dijamin oleh konvensi HAM internasional. Secara sepesifik pemerintah Thailand mengeluarkan undang-undang tersebut. Namun, kewenangan hukum militer (Martial Law) menyebabkan pengambilan DNA secara paksa masih aktif di Patani Selatan Thailand, pengumpulan DNA sering dilakukan dalam situasi yang penuh ketegangan dan konflik. Proses pengumpulan data ini sering kali menimbulkan kekhawatiran terkait pelanggaran HAM, terutama bila pengumpulan dilakukan tanpa transparansi dan tanpa persetujuan yang sah dari individu yang bersangkutan.

DNA sebagai privasi yang tidak bisa ganggu gugat

Proses pengumpulan DNA di Patani Selatan Thailand, semakin menimbulkan kekhawatiran terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah kasus di mana pihak berwenang mengumpulkan DNA tanpa persetujuan eksplisit telah mencuat, memicu protes dari warga dan organisasi HAM. Di tengah ketegangan yang terus berlangsung antara Pejuang Patani dan pemerintah Thailand, tindakan pengumpulan data pribadi ini sering dilakukan dengan cara yang tidak transparan dan terkadang memaksa. Padahal, pengumpulan DNA merupakan informasi pribadi yang sangat sensitif dan harus dilindungi dengan hati-hati sesuai dengan peraturan internasional dan hukum nasional.

Kasus-Kasus Pengumpulan DNA yang Kontroversial

Beberapa kejadian yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan praktik pengumpulan DNA yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum. Salah satunya adalah peristiwa pada 23 Oktober 2019 di Tebok, Setang Nok, di mana pihak berwenang mengumpulkan DNA dari mahasiswa tanpa memberikan alasan yang jelas dan tanpa memberi mereka kesempatan untuk menolak. Banyak yang merasa tindakan ini dilakukan dengan paksaan, yang mengarah pada pelanggaran hak mereka untuk memberikan persetujuan secara bebas dan sadar.

Kasus lain yang memicu protes terjadi pada 14 Juli 2020 di kampung Rai, Than To, di mana warga desa terpaksa memberikan sampel DNA mereka tanpa penjelasan yang memadai mengenai tujuan pengumpulan tersebut. Banyak warga merasa bahwa mereka harus setuju untuk menghindari konsekuensi negatif jika menolak, yang mencerminkan pelanggaran terhadap prinsip persetujuan yang sah.

Lebih memprihatinkan lagi, pada 9 Mei 2020, pihak berwenang di Yala mengumpulkan DNA dari seorang anak berusia 8 tahun tanpa persetujuan orang tua, sebuah pelanggaran berat terhadap hak anak dan orang tua untuk mengontrol informasi pribadi anak mereka.

Perlindungan Data Pribadi dan Hukum di Thailand

Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi Thailand (PDPA) yang diundangkan pada 2019, mengharuskan pengumpulan data pribadi, termasuk DNA, dilakukan dengan persetujuan eksplisit dan tanpa paksaan. Namun, praktik di lapangan menunjukkan adanya ketidaksesuaian dengan prinsip-prinsip ini. Tanpa prosedur yang tepat dan transparansi yang memadai, pengumpulan DNA tanpa persetujuan yang sah dapat dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hak privasi individu.

Peran Organisasi HAM

Organisasi hak asasi manusia, seperti Muslim Attorney Centre Foundation (MAC) dan HAP Patani Human Rights Organization Network, memainkan peran penting dalam memberikan bantuan hukum kepada korban pelanggaran ini. Mereka tidak hanya menyediakan dukungan hukum, tetapi juga bekerja untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak mereka, terutama terkait pengumpulan data pribadi.

“Masyarakat harus diberi pemahaman yang jelas mengenai hak mereka, terutama dalam hal pengumpulan DNA dan data pribadi lainnya. Kami bekerja untuk memastikan bahwa pemerintah dan aparat keamanan mematuhi hukum dan tidak melanggar hak-hak dasar warga,” kata perwakilan dari HAP Patani Human Rights Organization Network.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image