Tutorial Cari Sahabat, No Sambat
Dunia islam | 2024-09-08 11:24:29Tutorial cari sahabat, No sambat
Oleh; Virga Firdaus Sanjaya
Memilih sahabat adalah hal yang kerap di anggap sepele, kadangkala kita bisa mencetuskannya gegara dia membawa gelak tawa, atau kita satu frekuensi dengannya. Namun, bukankah kita kerap mendengar kata-kata “Sebaik-baik sahabat adalah yang tak mengharap keuntungan darimu”[1] apakah syarat itu sudah terlaksana, bukankah banyak seseorang yang telah membantu kita, tetapi ujung-ujungnya hanya menginginkan balas budi saja? Lantas seperti apa kriteria memilih sahabat, yang tidak membuat diri kita sambat?
Imam Al-Ghazali dalam Kitab Bidayatul Hidayah menyebutkan ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam mencari sahabat.
1. Akal
"Kalau kamu mau mencari sahabat untuk belajar atau urusan agama dan dunia, pertama-tama perhatikan akalnya. Tidak ada manfaat bersahabat dengan orang yang bodoh. Biasanya, persahabatan dengan orang yang tidak pintar akan berakhir dengan masalah dan perpisahan. Walaupun dia bermaksud baik, kebodohannya seringkali malah merugikanmu. Sebagaimana peribahasa bilang, ‘Musuh yang cerdik lebih baik daripada sahabat yang bodoh.’ Imam Al-Ghazali menempatkan akal sebagai yang pertama karena sahabat yang bodoh bisa lebih berbahaya daripada musuh yang cerdas."[2].
2. akhlak terpuji
“Kedua, akhlak yang baik. Jangan bersahabat dengan orang yang berakhlak buruk, yaitu orang yang tidak sanggup menguasai diri ketika sedang marah atau berkeinginan,”[3].
3. keshalihan
“keshalihan, Jangan bersahabat dengan orang fasik yang terus menerus melakukan dosa besar karena orang yang takut kepada Allah takkan terus menerus berbuat dosa besar. Orang yang tidak takut kepada Allah tidak bisa dipercaya perihal kejahatannya. Ia dapat berubah seketika seiring perubahan situasi dan kondisi.”[4]
Rasululah SAW dalam Surat Al-Kahfi ayat 28 berikut ini:
وَلا تُطِع مَن أَغفَلنا قَلبَهُ عَن ذِكرِنا وَاتَبَعَ هَواهُ وَكانَ أَمرُه فُرُطا
Artinya, “Jangan kau ikuti orang yang Kami lalaikan hatinya untuk mengingat Kami dan orang yang mengikuti hawa nafsu dan adalah keadaannya itu melewati batas.”
4. tingkat keserakahan terhadap dunia
"Keempat, jangan cari sahabat yang serakah. Bersahabat dengan orang yang gila dunia (serakah) bisa berbahaya karena tabiat itu bisa menular. Pergaulan dengan orang yang rakus dapat membuat kita ikut serakah. Sebaliknya, bersahabat dengan orang yang zuhud bisa membuat kita menjadi lebih zuhud juga.”[5]
Persahabatan dengan orang yang rakus dan serakah terhadap dunia dikhawatirkan dapat berpengaruh kepada sahabat. Sebaliknya, kezuhudan orang di sekitar kita diharapkan menular kepada kita. Di sini pentingnya memerhatikan tingkat kezuhudan atau keserakahan seseorang terhadap dunia.
5. kejujuran
“Kelima, kejujuran. Jangan bersahabat dengan orang yang pendusta. Pendusta bisa membuatmu tertipu. Dia seperti fatamorgana, bisa menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh,”[6]
Ada pula keterangan dalam kitab, ar-Risâlatu al-Qusyairiyah fî ‘Ilmi at-Tashawwufi, karya Abil Qasim Abdul Karim bin Hawazan al-Qusyairi an-Naisabury menyebutkan bahwa persahabatan ada tiga macam; pertama, bersahabat dengan orang yang lebih tinggi derajatnya dari kita. Persahabatan ini pada hakikatnya lebih sebagai rasa bakti. Kedua, bersahabat dengan orang yang ada di bawah kita. Persahabatan ini menuntut agar Anda bersikap peduli dan kasih sayang. Sementara yang mengikuti Anda harus selalu serasi dan bersikap hormat. Ketiga, bersahabat dengan mereka yang memiliki kemampuan dan pandangan rohani, yaitu suatu persahabatan yang menuntut sikap memprioritaskan sepenuhnya kepada sahabatnya itu.
Ada sekelumit cerita di kitab Tashfiyatul al-Qulub tentang seorang yang bersahabat dengan Ibrahim bin Adham. Ketika orang tersebut mau berpisah, dia berkata kepada Ibrahim, “Bila engkau melihat diriku ada cacat, maka ingatkanlah diriku.” Mendengar pernyataan sahabatnya, Ibrahim bin Adham berkata, “Aku tidak pernah melihat cacatmu, karena aku melihatmu dengan mata kecintaan, sehingga aku selalu memandangmu dengan mata pandangan kebaikan. Tanyakan saja pada selain diriku tentang cacatmu.”[7]
Dari sini kita bisa belajar, bahwa teman sesungguhnya adalah teman yang selalu ada dalam keadaan apapun juga. Namun, dalam kitab Hikam di jelaskan “Teman sejati ialah dia yang tidak meninggalkanmu saat dia mengetahui keburukanmu (setelah kamu berperilaku buruk kepadanya). Sebaik-baik kawan ialah dia yang mencarimu tanpa mengharapkan sesuatu darimu. Tidak ada seorangpun yang bisa seperti itu kecuali Allah SWT”[8]
[1] Hikam Ibnu Athaillah As-Sakandari, Hal 25
[2] Kitab Bidayatul Hidayah, Hal 37
إذا طلبت رفيقا ليكون شريكك في التعلم، وصاحبك في أمر دينك ودنيا فراع فيه خمس خصال: الأولى: العقل: فلا خير في صحبة الأحمق، فإلى الوحشة والقطيعة يرجع آخرها، وأحسن أحواله أن يضرك وهو يريد أن ينفعك، والعدو العاقل خير من الصديق الأحمق
[3] Kitab Bidayatul Hidayah, Hal 38
الثانية: حسن الخلق: فلا تصحب من ساء خلقه، وهو الذي لا يملك نفسه عند الغضب والشهوة
[4] Kitab Bidayatul Hidayah, Hal 38
الثالثة: الصلاح: فلا تصحب فاسقا مصرا على معصية كبيرة، لأن من يخاف الله لا يصر على كبيرة، ومن لا يخاف الله لا تؤمن غوائله، بل يتغير بتغير الأحوال والأعراض،
[5] Kitab Bidayatul Hidayah, Hal 39
الرابعة: ألا يكون حريصا على الدنيا: فصحبة الحريص على الدنيا سم قاتل؛ لأن الطباع مجبولة على التشبه والاقتداء، بل الطبع يسرق من الطبع من حيث لا يدري فمجالسة الحريص تزيد في حرصك، ومجالسة الزاهد تزيد في زهدك
[6] Kitab Bidayatul Hidayah, Hal 39
الخامسة: الصدق: فلا تصحب كذابا، فإنك منه على غرور، فإنه مثل السراب، يقرب منك البعيد، ويبعد منك القريب.
[7] Tashfiyatul al-qulub, Hal 134
[8] Hikam Ibnu Athaillah as-Sakandari, Hal 17
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.