Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Septian Wahyu Rahmanto

Psychological Check-up sebagai Preventif KDRT dan Permasalahan Pernikahan

Parenting | 2024-09-05 15:33:59
Foto: www.pexels.com

Beberapa minggu ke belakang kita diperlihatkan dengan berita di media sosial tentang kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT yang dialami oleh seorang content creator atau influencer dan juga KDRT yang dialami oleh seorang ibu yang bahkan mengalami siksaan oleh suaminya. Fenomena ini mungkin seperti gunung es yang barangkali masih banyak yang belum terungkap ke permukaan. Efek psikologis dari KDRT tidak bisa dianggap sederhana karena bisa menimbulkan trauma bagi korban, baik itu laki-laki maupun perempuan.

Di Solo, tempat penulis berdomisili, terdapat data 67 kasus KDRT derdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Kota Surakarta (DP3AP2KB) tahun 2023. Jumlah itu meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual hingga penelantaran, yang menjadi korban adalah perempuan sebanyak 38 orang dan 29 lainnya anak-anak. Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (Spek-HAM) menyatakan bahwa tren kasus kekerasan pada 2023 didominasi oleh KDRT, selain kasus lainnya yaitu kekerasan dalam pacaran dan kekerasan seksual. Kasus KDRT sebagai ranah privat ada 69% dari total yang ada, disusul kekerasan seksual ada 8,25%.

Pernikahan merupakan keputusan besar dalam hidup seseorang. Pernikahan menyatukan dua insan dengan latar belakang, kebiasaan, dan nilai-nilai yang berbeda untuk menciptakan hubungan harmonis. Pernikahan tidak hanya cinta dan komitmen, tetapi juga kesulitan yang signifikan dalam hal adaptasi, komunikasi, dan pemahaman antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, persiapan pranikah sangat penting untuk meminimalkan perselisihan atau konflik di masa mendatang.

Persiapan pernikahan bukan hanya medical check-up atau pemeriksaan kesehatan fisik, tetapi psychological check-up atau pemeriksaan psikologis juga penting. Banyak pasangan yang sudah menyadari perlunya pemeriksaan psikologis sebelum menikah. Tujuan psychological check-up tidak hanya mengetahui kondisi mental masing-masing calon pasangan, tetapi juga membantu mereka lebih memahami satu sama lain dan mempersiapkan kehidupan keluarga yang bahagia.

Psychological check-up sebelum menikah dapat diibaratkan sebagai investasi jangka panjang untuk stabilitas kehidupan pernikahan. Ibarat ingin berlayar menggunakan kapal besar dengan tujuan yang jauh, maka penting memahami kapal yang akan digunakan dan seluk-beluknya. Berikut ini beberapa alasan mengapa psychological check-up penting bagi individu atau pasangan yang akan menikah.

1. Mengenali Kepribadian Calon Pasangan

Setiap orang memiliki kepribadian dan perspektif hidup yang unik. Pemeriksaan psikologis membantu memahami karakteristik individu. Mengenali ciri-ciri diri dan calon pasangan memungkinkan mereka untuk lebih memahami pola proses berpikir, emosi/perasaan, perilaku, dan sosial mereka dalam berbagai situasi. Ini akan mempermudah komunikasi dan menghilangkan kesalahpahaman, yang merupakan sumber umum konflik dalam pernikahan.

2. Mengidentifikasi Potensi Permasalahan Psikologis

Pemeriksaan psikologis bertujuan mengidentifikasi potensi permasalahan psikologis yang mungkin dimiliki individu. Potensi permasalahan psikologis seperti depresi, kecemasan, atau gangguan kepribadian bisa berdampak signifikan dalam pernikahan jika tidak ditangani dengan baik sejak awal. Pasangan yang menyadari masalah ini sejak dini dapat mencari bantuan profesional kesehatan mental dan menyusun strategi untuk mengatasinya bersama-sama.

3. Membangun Kepercayaan

Pemeriksaan psikologis mendorong pasangan untuk lebih terbuka satu sama lain. Transparansi ini penting dalam mengembangkan kepercayaan yang kuat dalam pernikahan. Individu yang memiliki kepercayaan pada pasangannya akan terbuka mendiskusikan perasaan, harapan, dan kesulitan-kesulitan, tentu mereka lebih siap untuk bekerja sama dan mengatasi rintangan.

4. Mempersiapkan Adaptasi

Kehidupan pernikahan adalah tentang adaptasi dua individu yang berbeda, dimana mereka harus belajar hidup bersama, berbagi tanggung-jawab, dan menyelesaikan masalah secara kolaboratif. Pemeriksaan psikologis membantu pasangan mempersiapkan diri untuk proses adaptasi. Pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri dan pasangan akan membuat proses adaptasi berjalan lancar dan lebih sedikit konflik.

Pemeriksaan psikologis sebelum menikah terdiri dari beberapa tahapan yang bertujuan untuk menilai proses berpikir, emosi/perasaan, perilaku, dan kepribadian calon pasangan. Proses ini bervariasi berdasarkan kebutuhan dan preferensi individu, biasanya meliputi hal-hal berikut:

1. Wawancara Psikologis

Wawancara ini adalah untuk mempelajari lebih lanjut tentang latar belakang psikologis, pengalaman hidup, dan dinamika individu. Psikolog akan mengajukan pertanyaan untuk mengidentifikasi pola pikir atau keyakinan (belief), emosi atau perasaan, dan sikap yang mungkin mempengaruhi kehidupan pernikahan.

2. Tes Psikologi

Tes psikologis yang digunakan dapat mencakup tes kepribadian, tes kecerdasan emosional, atau tes lain yang berkaitan dengan kondisi pasangan. Hasil tes ini memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang karakteristik psikologis yang dapat memengaruhi hubungan pernikahan, seperti bagaimana pasangan mengatasi stres, berkomunikasi, dan menyelesaikan konflik.

3. Konseling

Berdasarkan hasil wawancara dan tes psikologi, psikolog akan memberikan sesi konseling yang bertujuan membantu pasangan memahami hasil evaluasi dan bagaimana mereka dapat bekerja sama membangun hubungan yang sehat di masa depan. Sesi ini juga digunakan untuk membahas kekhawatiran atau harapan tentang pernikahan.

Pemeriksaan psikologis sebelum menikah memiliki manfaat jangka panjang. Beberapa manfaat tersebut antara lain mengenali calon pasangan. Pemeriksaan psikologis dapat membantu pasangan untuk lebih mengenal satu sama lain, termasuk memahami kebutuhan emosional. Pemahaman yang lebih baik akan mampu memperkuat hubungan emosional dalam kehidupan pernikahan di masa depan, memungkinkan pasangan untuk menangani tantangan bersama-sama.

Pemeriksaan psikologis memiliki manfaat mencegah konflik sepele. Masalah dalam kehidupan pernikahan dapat dihindari jika pasangan memiliki pemahaman yang kuat tentang diri mereka sendiri dan satu sama lain. Pemeriksaan psikologis dapat membantu mengidentifikasi sumber konflik potensial sejak dini dan menanganinya dengan tepat.

Manfaat pemeriksaan psikologis lainnya yaitu meningkatkan kualitas komunikasi. Komunikasi sangat penting dalam semua hubungan, termasuk pernikahan. Pemeriksaan psikologi membantu pasangan dalam mengembangkan keterampilan komunikasi yang lebih efektif, memungkinkan mereka untuk memahami dan mendukung satu sama lain dalam situasi apa pun.

Pemeriksaan psikologis sebelum menikah bukanlah tanda ketidakpastian atau kurangnya kepercayaan pada calon pasangan, melainkan tindakan proaktif untuk memastikan bahwa pernikahan akan berjalan secara adaptif dan saling pengertian. Saat ini banyak kasus yang menunjukkan semakin kompleks permasalahan dalam kehidupan pernikahan dan keluarga, maka mempersiapkan diri secara mental untuk menikah sangatlah penting. Memahami diri sendiri dan calon pasangan melalui pemeriksaan psikologis memungkinkan kedua pasangan untuk meletakkan dasar bagi kehidupan rumah tangga yang berkomitmen dan bahagia, karena pernikahan yang sehat adalah pernikahan yang berkontribusi meningkatkan kesehatan mental.

Pentingnya pemeriksaan psikologi ini menjadi lebih jelas ketika kita mempertimbangkan berapa banyak pernikahan yang berakhir dengan perceraian karena masalah yang sebenarnya dapat dihindari. Oleh karena itu, jangan ragu untuk mendapatkan pemeriksaan psikologis sebelum menikah, karena ini adalah salah satu investasi terbaik yang dapat kamu lakukan untuk pernikahan masa depan yang bahagia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image