Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nindira Aryudhani

Glorifikasi Kata 'Sederhana'

Politik | 2024-09-04 09:52:01

Sederhana mungkin sebuah kata yang mulai langka di tengah-tengah masyarakat kita. Sebab pola hidup mewah, konsumtif, dan hedonistik sudah kadung lekat belakangan ini. Terlebih melihat maraknya gaya hidup para pejabat yang keetulan hobi flexing di media sosial hingga lantas viral, membuat masyarakat jadi terbiasa.

Terkhusus bagi yang tidak mengakses media sosial, kalangan masyarakat ini mungkin memaklumi begitu saja. Toh kondisi ekonomi mereka mustahil bisa disulap dari biasa-biasa saja atau malah kelas bawah menjadi gaya hidup ala raja. Namun pada intinya, mereka konsisten "nrimo ing pandum".

Setelah beberapa waktu lalu viral seorang anak pejabat menaiki pesawat jet pribadi, kata "sederhana" tampaknya kini tengah diglorifikasi demi meredam amarah dan opini publik. Sayang, yang dijadikan simbol kesederhanaan itu adalah seorang tokoh agama (bukan Islam) internasional yang awal September ini berkunjung ke Indonesia. Mulai dari moda transportasi berupa pesawat komersial yang ia gunakan untuk menuju Indonesia, mobil Innova yang digunakan untuk menjemputnya, hingga lokasi menginapnya yang bukan di hotel mewah melainkan di gedung Kedutaan Besar negara asalnya.

Sedangkan di balik momen kunjungan tokoh tersebut, tentunya gaya hidup para pejabat di negeri kita juga tidak lantas auto-sederhana sebombastis glorifikasi yang berkembang. Demikian halnya sederet kebijakan-kebijakan berbiaya fantastis, seperti pembengkakan anggaran negara untuk acara kemerdekaan Agustus lalu, pembangunan kota IKN yang mewah dan katanya juga pintar, serta infrastruktur lain yang konon dibangun secara jor-joran demi memoles reputasi ibu pertiwi.

Meski begitu, dampak kunjungan tokoh agama tadi sejatinya tidak sesederhana pemberitaan di media. Ini karena posisinya sebagai salah satu pemimpin dari negeri Barat, yang tentu oleh-olehnya adalah pemikiran Barat. Namun miris, penyambutannya yang begitu diglorifikasi, sungguh menegaskan betapa sedemikian mudahnya negeri kita menjadi target transfer pemikiran Barat.

Hendaklah kita merenungkan firman Allah Taala, "Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya." (QS Ali Imron [3]: 118).

Narasi toleransi dan keberagaman pun turut menyertai glorifikasi kesederhanaan itu, seolah-olah selama ini negeri kita yang berpenduduk muslim terbesar di dunia ini sering ada konflik horizontal maupun antargolongan dengan faktor pendahulu dari pihak muslim. Sedangkan di negara kita jelas-jelas tidak seperti itu.

Kaum muslim secara umum juga seakan-akan digambarkan bukan sebagai umat yang damai, termasuk di negeri ini, padahal di berbagai belahan dunia umat Islam-lah yang selalu menjadi korban kezaliman, penjajahan, bahkan pembantaian. Polemik hijab bagi di RS Medistra beberapa hari lalu rasanya masih begitu perih mengoyak rasa aman dan nyaman kehidupan kaum muslim di negeri ini. Apakah pelarangan hijab itu wujud toleransi dan menjunjung tinggi keberagaman?

Begitu pula berbagai kasus lain yang menunjukkan bahwa kaum muslim di Indonesia sejatinya justru menjadi pihak yang paling sering menjadi korban intoleransi itu sendiri.

Belum lagi kasus genosida di Palestina yang saat ini masih berlangsung, menunjukkan bahwa perdamaian di sana adalah omong kosong. Juga kaum muslim di India, Rohingya, Syam, Irak, Uighur, serta di daratan Eropa dan Amerika, selalu menjadi korban diskriminasi dan islamofobia. Apakah itu semua menggambarkan realisasi hak asasi manusia (HAM) bagi kaum muslim untuk konsekuen dengan akidah Islamnya?

Untuk itu jelas, kedatangan tokoh agama internasional tadi jelas-jelas tidak sesederhana glorifikasi yang menyertai kedatangannya. Memang benar ia sebuah simbol kesederhanaan secara fisik, tetapi sayang ia mengemban pemikiran yang tidak sederhana. Wallahualam. [Nd].

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image